Mohon tunggu...
Aprilia Nurlaili
Aprilia Nurlaili Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sebelas Maret

Hobi saya adalah membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Perjuangan Tiada Akhir

26 Desember 2022   22:30 Diperbarui: 26 Desember 2022   23:00 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cita-cita seorang anak pasti hidup dengan keluarga dalam suasana damai, bahagia dan selalu terpenuhi keinginan sehari-harinya. Keluarga yang bahagia tidaklah harus keluarga kaya raya selalu bergelimang harta, tampilan rumah mewah dengan sederet mobil mewah, semua kebutuhan sehari-hari tinggal perintah sebab sudah ada yang melayaninya. Secara sederhana kemegahan rumah, harta berlimpah, kebutuhan terpenuhi begitu mudah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kebahagian anak-anaknya. Kemegahan yang luar biasa dan harta benda yang tak bisa dihitung jumlahnya seakan sampah apabila hanya membuat derita anak-anaknya. Kemegahan dan kemewahan serta tumpukan kekayaan juga tak mungkin di bawa ke liang lahat tempat tersepi di akhir hidup dunia.

Berbagai cara orangtua terutama ayah, berusaha sekuat tenaga dan sekeras baja usaha mewujudkan impian keluarga bahagia. Sederet usaha bisa ditempuhnya, dan salah satu adalah merantau meninggalkan tempat tinggal, kampung halaman, keluarga, dan meninggalkan anak-anaknya demi mewujudkan harapan hidup bahagia. Meninggalkan sejenak hanya beberapa tahun saja tetapi untuk meraih bahagia keluarga daripada tetap bersama keluarga di kampung halamannya hanya derita, jauh lebih mulia, itu mungkin prinsipnya.

Tanah rantauan yang merupakan harapan, ternyata tak seindah imajinasi pikiran, rupanya hambatan, derita bisa juga mendera menjadi bagian hidup sehari-hari. Anak yang ditinggalkan maupun dititipkan pada kakek neneknya belum tentu jiwa, raga, batin dan sanubari tersenyum tanpa air mata luka dan derita. Apalagi anak usia sekolah tingkat SMP yang kematangan jiwa masih labil. Anak seusia ini secara umum sangat mendapatkan perhatian dan kasih sayang langsung dari ayah dan ibunya, bukan kakek atau neneknya. Mereka pasti tetap merasa bahwa dirinya merupakan anak dari ayah ibunya bukan kakeknya.

Harapan orang tua yang meninggalkan anaknya untuk merantau, kakek dan neneknya bisa memberikan perhatian, kasih sayang dan dorongan seperti layaknya ayah ibunya. Kakek dan nenek merupakan sosok penyayang terlihat dari kehidupan sehari-harinya. Namun, seiring berjalan waktu, beliau mulai sakit, lemah dan tak berdaya. Hal ini akan terjadi bukan lagi kakek neneknya merawat cucunya namun berbalik arah cucu harus mengurus dan merawatnya. Banyak anak yang ditinggalkan atau dititipkan kepada kakek neneknya karena dengan harapan bisa memberikan kasih sayang dan kebahagian berubah menjadi penderitaan. Bakal terjadi di suatu waktu cucu atau anak mengalami putus sekolah karena harus merawat kakeknya, dan harus putus sekolah karena beban derita.

Muncul tragedi anak atau cucu tadi bisa tetap sekolah dengan beban berat merawat, menafkahi semua kebutuhan diri sendiri dan kakek neneknya. Sepedih apapun tragedi tentu ada sosok anak atau cucu yang tetap bisa mengatasi masalah sendiri, tetap menjadi insan hebat membagi waktu untuk belajar atau sekolah walau dengan tumpuan beban mencari nafkah dan merawat kakek neneknya.

Kehebatan orangtua yang bertekad meninggalkan segalanya terutama anak-anaknya demi meraih bahagia merupakan jalan mulia yang harus dilalui walau diiringi kesedihan berpisah dengan buah hatinya. Banyak orangtua meninggalkan anak tercintanya dan menitipkan kepada kakek neneknya bisa berharap tidak ada masalah, semuanya berjalan baik-baik saja. Namun jangan lupa tantangan dan hambatan untuk menuju bahagia menggapai cita-cita tak sesuai harapan. Di tanah rantau satu, dua bulan, satu tahun dan dua tahun tercapai kesuksesan, dengan bisa memberikan kiriman uang ke kampung halaman untuk memberikan segala kebutuhan keluarga yang ditinggalkan dapat mengalami fakta kepahitan. Kata singkatnya untuk membiayai kehidupan sehari-hari di tanah rantau saja galau apalagi mengirimkan angpao. Sungguh menjadikan anak-anak di kampungnya menjadi pedih karena beban hidup ditanggung sendiri.

Memang ada satu langkah positif bagi anak-anak yang ditinggalkan kedua orang tuanya, mereka menjadi lebih mandiri, bijaksana, tangguh hati dan jiwa menghadapi derita. Ada anak-anak yang ditinggalkan kedua orang tua memiliki jiwa merdeka mampu mengusir derita, tetap bahagia dengan derita, dan mampu terus sekolah dengan berbagai cara, daya dan upaya. Ada memang mereka tetap berotak cerdas menyelesaikan bangku sekolah dengan beasiswa karena prestasinya. Sungguh luar biasa mereka benar-benar generasi yang mampu mengukir prestasi walau tragedi memedihkan hati mengiringi.

Prestasi memang bukan hak monopoli bagi anak orangtua berada, kesuksesan di bangku sekolah juga bukan kavling eksklusif kaum borjuis, namun siapapun dan apapun latar belakang yang menyertainya. Bagi sebagian anak yang ditinggalkan orangtua atau dititipkan kepada kakek neneknya dapat menyelesaikan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sekuat tenaga dan setangguh batu karang merupakan senjata andalan menghadapi setiap badai yang menghadang kehidupan. Keperkasaan jiwa, semangat juang anak-anak yang dalam tanda kutip terlantar ternyata mampu mengungguli anak normal lainnya yang pernah bersinggungan dengan derita. Jiwa hebat dan bermartabat kadang singgah pada anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya. Mereka mampu menyelesaikan sekolah terus ke jenjang yang lebih tinggi, dengan bekerja dan tetap kuliah, atau dengan padanan kata kuliah sambil bekerja. Sukses meraih hidup memang suatu perjuangan yang terus terjadi dari ke hari-hari, perjuangan meraih kesuksesan seakan tiada akhir. Meraih kesuksesan seseorang dalam kehidupan memang Tuhan berikan kepada siapapun hingga mencapai hidup dalam kesuksesan dan sukses dalam kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun