Kasus Investasi GCG Asia 2019
      Kasus GCG Asia 2019 merupakan salah satu kasus penipuan investasi berbasis syariah yang melibatkan perusahaan GCG Asia. Perusahaan ini menawarkan investasi dengan embel-embel syariah kepada masyarakat, namun ternyata melakukan praktik yang melanggar prinsip-prinsip syariah dan hukum umum, serta diduga kuat sebagai bagian dari skema Ponzi. GCG Asia atau Global Crypto Offering Exchange (GCOX) mengklaim sebagai platform investasi berbasis syariah yang berfokus pada perdagangan mata uang digital (cryptocurrency) dan komoditas lainnya. Para investor diminta untuk menyetorkan uang mereka ke dalam skema investasi yang diklaim berbasis forex trading dan cryptocurrency. Mereka menjanjikan keuntungan yang konsisten dan tinggi, misalnya sebesar 1-3% per hari, yang jauh di atas standar keuntungan normal dalam investasi pada umumnya.
      Pada tahun 2019, otoritas di beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, mulai menyelidiki perusahaan ini setelah menerima banyak keluhan dari para korban. Investigasi yang dilakukan oleh pihak berwenang menunjukkan bahwa perusahaan ini tidak memiliki izin operasional resmi dari lembaga keuangan manapun, dan bahwa banyak investor yang tidak dapat menarik kembali dana mereka. Seiring dengan meningkatnya jumlah korban, perusahaan ini dihentikan operasinya oleh beberapa regulator keuangan di berbagai negara. Para petinggi perusahaan termasuk CEO-nya juga ditangkap dan diadili atas tuduhan penipuan.
      Kasus ini berdampak luas, terutama di Indonesia dan Malaysia, di mana banyak investor yang mengalami kerugian besar akibat penipuan ini. Banyak dari korban adalah masyarakat biasa yang tertarik dengan janji keuntungan besar dan tawaran investasi syariah. Selain itu, kasus ini juga memperburuk citra investasi berbasis syariah, terutama di kalangan masyarakat yang kurang memahami seluk-beluk investasi dan cenderung percaya pada janji keuntungan instan.
Kaidah Hukum Yang Terkait Dengan Kasus Tersebut
- Larangan Riba
Dalam konteks investasi syariah, segala bentuk riba dilarang. Penawaran keuntungan yang dijamin, seperti 1-3% per hari yang ditawarkan GCG Asia, dapat dianggap sebagai bentuk riba jika tidak berdasarkan pada usaha nyata dan justru berupa janji keuntungan tetap tanpa risiko yang jelas. - Larangan Gharar (Ketidakpastian)
Dalam kasus GCG Asia, banyak investor mungkin tidak diberi informasi yang cukup jelas mengenai cara kerja investasi dan risiko yang terlibat, yang mengakibatkan ketidakpastian (gharar). Investasi syariah haruslah transparan dan terbebas dari gharar, terutama dalam hal bagaimana keuntungan diperoleh dan potensi risikonya. - Amanah dan Transparansi dalam Muamalah
GCG Asia diduga melakukan penipuan dengan tidak transparan mengenai izin operasional dan kegagalan dalam menjelaskan secara rinci mekanisme investasi yang sebenarnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip amanah dan kepercayaan yang harus dijaga dalam muamalah (interaksi sosial dan bisnis) syariah.
Norma Hukum yang Terkait dengan Kasus Tersebut
      Kasus GCG Asia pada 2019 yang melibatkan penipuan investasi berbasis syariah dapat dianalisis melalui pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini menitikberatkan pada kajian terhadap norma hukum yang berlaku, baik dalam hukum pidana, perdata, maupun hukum ekonomi syariah. Dalam hukum pidana, tindakan perusahaan ini dapat dikategorikan sebagai penipuan yang merugikan banyak investor, sementara dalam hukum ekonomi syariah, praktiknya melanggar prinsip muamalah karena mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan janji keuntungan tetap yang tidak sesuai dengan konsep syariah. Selain itu, GCG Asia juga melanggar regulasi tentang lembaga keuangan, karena beroperasi tanpa izin resmi dari otoritas terkait seperti OJK.
Aturan Hukum yang Terkait dengan Kasus Tersebut
Beberapa aturan hukum yang terkait dengan kasus GCG Asia adalah:
- Fatwa DSN MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
Fatwa ini menetapkan syarat-syarat transaksi jual beli mata uang asing (forex) yang sesuai dengan syariah. Jika GCG Asia tidak mengikuti syarat ini, maka transaksinya tidak syariah compliant. - Fatwa DSN MUI No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek
Fatwa ini mengatur perdagangan efek yang sesuai dengan prinsip syariah, yang termasuk melarang gharar, maysir, dan riba. - Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) OJK memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan. GCG Asia tidak terdaftar atau diawasi oleh OJK, sehingga mereka melanggar aturan ini.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 378 tentang Penipuan
Pasal ini mengatur tindakan penipuan yang dapat dikenakan sanksi pidana jika seseorang dengan sengaja menipu orang lain untuk mendapatkan keuntungan dari tindakannya.
Pandangan Positivisme Hukum
       Dalam konteks kasus GCG Asia, positivisme hukum akan fokus pada fakta bahwa tindakan investasi GCG Asia melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku (seperti UU Perdagangan Berjangka dan KUHP). Oleh karena itu, para pelaku harus ditindak tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Positivisme hukum tidak mempermasalahkan alasan moral atau sosial di balik tindakan tersebut, melainkan hanya melihat apakah aturan hukum telah dilanggar atau tidak.