Demokrasi dan Syura dalam islam merupakan istilah yang sering dianggap sama. Namun, konsep Syura itu sendiri memiliki beberapa makna berbeda dalam pandangan mufassir klasik dan kontemporer.
Mufassir klasik cenderung menganggap Syura tidak berkaitan sama sekali dengan konsep pemerintahan dan politik. Mereka justru memahami Syura sebagai perintah Tuhan yang hanya berkaitan dengan peperangan dan perintah bermusyawarah kepada Nabi Muhammad Saw. 1
Di sisi lain, penafsiran modern memandang Syura lebih dari sekedar perintah dalam bermusyawarah kepada Nabi Muhammad saja melainkan memiliki nilai-nilai yang masuk ke berbagai tatanan sosial masyarakat muslim terutama jika dikaitkan dengan keadaan modern seperti saat ini.
Perdebatan terkait makna syura yang terjadi diantara para mufasir klasik dan kontemporer muncul dari salah satu ayat yang membahasnya yaitu Qs. ali-Imran: 159. ِ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Konteks turunnya ayat tersebut bertepatan dengan perintah musyawarah kepada nabi Muhammad Saw ketika sedang terjadi perang Uhud. Namun, dalam penafsirannya para Mufassir masih memperdebatkan konsep musyawarah yang di maksud ayat tersebut.
Perdebatan itu muncul dari ulama klasik dan modern. Mufassir klasik cenderung menafsirkan ayat tersebut sebatas perintah bermusyawarah kepada Nabi dan para Sahabat dalam perihal peperangan. Diantara Mufassir yang menafsirkan demikian ialah Ibnu Katsir.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan keterlibatan para Sahabat dalam bermusyawarah dan menyampaikan pendapatnya kepada Nabi dalam urusan peperangan. Sedangkan salah satu Mufassir modern yang lebih kritis memaknai perintah Syura berbeda dengan pandangan mufassir klasik ialah Imam al-Qurthubi.
Di dalamnya ia memberikan gagasan meluas terkait musyawarah dan bersifat lebih lentur dibandingkan Mufassir sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari tafsirnya yang memaparkan bahwa musyawarah merupakan bentuk ijtihad terhadap semua perkara dan menentukan perkiraan bersama para Sahabat yang di anjurkan oleh islam karena Allah Swt pun membolehkan hal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H