Tepat pada 3 November 2021 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melahirkan suatu keputusan yang terbilang "baru" dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan sebagian pengujian formil suatu Undang-Undang. Sebagiamana proses kelahiran dari manusia yang dinanti keluarganya, lahirnya putusan ini sangat ditunggu-tunggu oleh khalayak umum. Apabila merefleksi ke belakang mengenai pengesahan RUU Cipte Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tenang Cipta Kerja (UU CIPTA KERJA), banyak terjadi penolakan dari masyarakat luas. Hal ini dibuktikan dengan adanya demo besar- besaran yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan pada saat pembuatan RUU tersebut dengan waktu yang sangat singkat ditambah dengan kesan tertutup membuat penyusunan RUU ini disinyalir terdapat kecacatan formil bahkan terindikasi juga cacat secara materiil. Dengan alih-alih mengubah pendekatan, pemerintah justru merespon dengan memposisikan kelompok pengkritik sebagai pihak yang menolak terciptanya kemudahan berusaha di Indonesia.
Selain itu juga, hadirnya UU Cipta Kerja mendapatkan sorotan tajam karena menggunakan metode baru dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, yakni metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law ini merupakan sebuah metode dalam pembuatan regulasi yang mengandung lebih dari satu muatan pengauran yang dimana bertujuan untuk menciptakan sebuah peraturan mandiri tanpa terkait (atau setidaknya dapat menegasian) dengan peraturan lain. Dalam isi rumusan UU Cipta Kerja, terdapat 11 klaster kebijakan strategis dan peleburan 78 Undang-Undang untuk diringkas dan disederhanakan.
Nasib UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Dalam perjalanannya, UU Cipta Kerja telah mengalami hantaman keras oleh sebagian masyarakat Indonesia. Selain demonstrasi, terdapat juga warga secara perseorangan atau tergabung dalam afiliasi kelompok masyarakat yang telah menggugat UU Cipta Kerja ini secara formil kepada Mahkamah Konstitusi. Sehingga pada  akhirnya MK memutuskan dengan syarat bahwa UU Cipta Kerja tersebut telah inkonstitusional. MK merupakan lembaga peradilan yang lahir setelah amandemen UUD NRI 1945, memiliki tanggung jawab yang sangat berat. MK merupakan lembaga peradilan yang putusannya bersifat final and binding. Salah satu peran Mahkamah Konstitusi adalah sebagai "The Guardian Of Consitution", sehingga MK dalam setiap perkara yang akan diputus harus mengambil keputusan yang tegas demi menjaga tegaknya Konstitusi.
Pada putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020, terdapat hal yang menurut masyarakat awam akan menimbulkan ambiguitas dalam putusannya. Hal ini cukup beralasan karena sebagian masyarakat mengatakan bahwa MK dalam amar putusannya, mengatakan inkonstitusional namun tidak mencabut UU Cipta Kerja tersebut, tetapi hanya memerintahkan DPR untuk megubah dan memperbaiki UU Cipta Kerja dengan waktu 2 tahun. Dua hari pasca putusan tersebut dipublikasi di media massa, portal online banyak menyoroti putusan MK yang pada intinya menyatakan apabila pengujian formil diterima oleh MK, maka idealnya MK membatalkan berlakunya UU CIPTAKER tersebut. Hal ini barang tentu sudah menjadi konsekuensi logis dan pada tataran hukum.
Apabila salah satu dari sekian prosedur yang pengaturannya ada pada UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dilakukan, seharusnya batal demi hukum. Namun, yang perlu diperhatikan adalah rasio pertimbangan MK pada setiap keputusannya. MK tidak saja terpaku pada pertimbangan hukum yang bersifat legalistik, tetapi juga memperhatikan aspek publiknya. Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 merupakan putusan yang paling fenomenal dalam ketatanegaraan di Indonesia. Ini dikarenakan MK mengabulkan sebagian permohonan dan menyatakan inkonstitusional namun tidak mencabutnya.
Apabila penulis cermat, putusan MK ini merupakan keputusan yang sangat bijak karena MK juga mempertimbangkan dampat akan kekosongan hukum yang terjadi di kemudian hari apabila UU Cipta Kerja dibatalkan. Dapat disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional setelah 2 tahun tidak ada perbaikan yang dilakukan oleh DPR sebagaimana yang diperintahkan oleh MK. Artinya, sebelum 2 tahun sesuai dengan waktu yang diberikan oleh MK, UU tersbeut tetap sah berlaku dan secara otomatis batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) apabila 2 tahun tidak ada perbaikan oleh DPR. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa Putusan MK terdapt dua putusan yaitu, Pertama, menyatakan inkonstitusional namun tetap berlaku atau dengan syarat. Kedua, langsung dinyatakan tidak berlaku baik keseluruhan ataupun sebagian.
REFERENSI TULISAN:
- Asshiddiqie, Jimly. The Constitutional Law of Indonesia. Sweet & Maxwell Asia, 2009.
- Soelistyo, Liem Tony Dwi. "PERKEMBANGAN BARU TENTANG KONSTITUSI DSN KONSTITUSIONALISME DALAM TEORI DAN PRAKTIK." Mimbar Keadilan 12.2 (2019): 272-277.
- Supena, Nana. Konstitusional dan inkonstitusional bersyarat dalam perspektif Mahkamah konstitusi (analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015). BS thesis. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
- Sofanudin, Aji. "Polemik UU Ciptakerja." (2020).
- Amin, Rizal Irvan. "Omnibus Law Antara Desiderata Dan Realita." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 15.2 (2020): 190-209.
- Prastyo, Agung Budi. "Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Lampunng 2021 UU Cipta Kerja dan Peran BUMN dalam Akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional." (2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H