Dalam konteks ketentuan penggunaan Pasal 4 dan Pasal 8 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pada Pasal 8 itu ada suatu bentuk "persekongkolan untuk membuat satu konten pornografi" dimana si model "sengaja menyetujui" untuk menjadi objek. Jadi perbuatan "sengaja membuat persetujuan" untuk menjadi objek dalam konteks konten pornografi sudah bisa dikatakan terjerat ketentuan Pasal 8, kenapa? karena menurut saya ini sudah masuk delik formil secara teoritis.Â
Tapi jika berbicara Pasal 4 menurut saya ada yang menarik, seperti kasus Ariel tahun 2010 lalu. Jadi, ada satu unsur dalam Pasal 4 kata "membuat", sehingga jika saya artikan "setiap orang yang membuat suatu konten pornografi",tapi menurut saya harus diingat bahwasanya dalam konteks memberikan satu pertanggungjawaban pidana kepada seseorang yang membuat seperti case ini ternyata ada syarat "tambahan" juga.
Bisa dilihat pada Pasal 30 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi, disana dikatakan bahwa "setiap org yang menyediakan jasa pornografi". Jadi 'membuat' untuk kemudian menjadi satu bentuk produk dalam konteks penyelenggaraan pornografi. Ini juga terkait dengan penjelasan Pasal 4, yang mana dikatakan "membuat untuk dirinya sendiri itu bukan membuat seperti yang dimaksud ketentuan pasal tersebut". Jadi memang ada 2(dua) keadaan yang harus dilihat dalam konteks ini.Â
Apakah yang bersangkutan (Gisel dan MYD) tau bahwa dibuatnya konten ini adalah untuk 'penyelenggaraan jasa pornografi" yang di atur dalam ketentuan UU atau tidak. Dan sampai sekarang memang belum ada penjelasan rinci mengenai hal ini. Dan menurut saya juga ada satu celah, misal mereka ingin lepas dari pasal itu ya saat di pelimpahan berkas penuntutan. Tetapi menurut saya ada polemik juga sebenarnya, seperti kasus Ariel dulu. Makanya tidak bisa hanya membaca Pasal 4 saja, banyak orang-orang di media sosial saya lihat memberikan opini mengatakan "masa cmn buat aja di jerat pidana?".
Jadi begini, ini kemudian yang menjadi beban jaksa tentang pengetahuan dari model ini. Jika kemudian si model itu membuat konten pornografi itu bersama dengan si pembuatnya, apakah dia "sadar", bahwa ini diselenggarakan untuk dalam rangka penyelenggaraan pornografi atau tidak, atau hanya dibuat untuk dirinya sendiri. Dan saya lihat juga di putusan kasus Ariel, ternyata Pasal 30 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini diabaikan. Sehingga kemudian kelihatannya hakim dalam memutus hanya menginterprestasikan saja, kata "membuat" saja sudah menjadi perbuatan dilarang dalam ketentuan perundang-undangan. Tanpa melihat Pasal 30 itu.Â
Menurut saya juga kasus seperti ini harus jadi perhatian publik, kenapa? karena kita bicara tentang orang yang menyelenggarakan jasa pornografi atau interprestasi penyelenggaraan pornografi itu seperti apa. Karena memang UU pun tidak memberi penjelasan rinci mengenai hal ini.Â
Apakah kemudian itu dibuat dalam bentuk film, harus diproduksi dulu baru bisa dikatakan penyelenggaraan jasa pornografi atau bagaimana. Artinya kata 'membuat' itu tidak bisa berdiri sendiri, sementara dalam kasus-kasus yang pernah ada, malah kata 'membuat' itu diartikan dengan berdiri sendiri. Sehingganya orang yang bikin saja, tersebar, itu sudah bisa dipidana. Tanpa mengaitkannya dengan konteks bagaimana kemudian menerjemahkan bahwa 'membuat' untuk menyelenggarakan jasa pornografi.Â
Kalau saya pribadi mengartikan 'jasa pornografi' itu lebih pada konteks komersil. Dan juga misal mereka ingin mengadakan pra pradilan menurut saya ini brilian option, karena nanti disini mereka bakal memberikan bukti-bukti (jika memang mereka tidak terima). Apakah persyaratan bukti-bukti itu sudah masuk ke Pasal 30 dan Pasal 34 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi itu atau tidak. Dan pada Pasal 4 itu juga bisa saya katakan sudah masuk ke ranah privat.Â
Memang ranah privat sangat di jaga pada Pasal 4 "membuat untuk dirinya sendiri" itu menurut saya ada ranah privasi yg dijaga jg sih dari uu pornografi ini. Sementara syarat pada Pasal 30 itu melengkapi ketentuan Pasal 4 bahwa membacanya "membuat untuk memproduksi menyediakan jasa pornografi/ untuk menyebarluaskan penyediaan jasa pornografi". Jadi bacanya full jangan setengah-setengah, sehingga memaknainya juga setengah-setengah.
Dan juga jika berbicara mengenai sanksinya, dijelaskan oleh penyidik minimum 6 bulan dan paling lama 6 tahun. Tapi di KUHAP, ancaman maksimalnya, jadi jika kita lihat dari tindak pidana yg diancamkan dan ancaman pidana diatas 5 tahun kebanyakan di dalam pasal-pasal ataupun KUHP atau UU diluar KUHP, adalah ancaman maksimal khusus, jadi menurut saya ya mengacu pada ancaman 6 tahun yang perlu menjadi perhatian,bukan yang 6 bulan. Yang artinya sangat berpotensi di tahan oleh penyidik.
Referensi Bacaan:
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
- KUHP
- KUHAP
- Putusan MA Nomor: 68/Pid/2011/PT.Bdg (Putusan Kasus Ariel Tahun 2010)
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MulawarmanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H