Mohon tunggu...
Lisa Aprilia Gusreyna
Lisa Aprilia Gusreyna Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Pembelajar Ilmu Hukum. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesadaran Hukum dan Terwujudnya Suatu Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia

9 Januari 2021   09:46 Diperbarui: 29 Januari 2021   06:46 1937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: staiindo

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, dimana di dalamnya tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of law. Oleh karena itu maka Negara Hukum Indonesia memiliki elemen yang terkandung dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law.

Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan kenegaraan (de grondslag van statelijk gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan dalam segala bentuknya ditempat dibawah kekuasaan hukum. Rechtsstaat mengandung unsur-unsur persamaan di depan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama bagi warga negara yang berhak untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi bagi warga negara.

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup 4 elemen penting, yaitu: (1) Perlindungan HAM; (2) Pembagian kekuasaan; (3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; (4) Peradilan TUN. Sedangkan ‘Rule of law’ sejak awal telah membedakan formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakuan nilai keadilan yang dikandungnya. Bahkan di Inggris berkembang istilah “the rule of law and not of a man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”.

Dalam istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan juga istilah “the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai instrumen kekuasaan belaka. A.V. Dicey menguraikan adanya 3 ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

  1. Supremacy of Law
  2. Equality before the Law
  3. Due Process of Law

Dari kedua konsep ini terlihat bahwa terdapat persamaan dan perbedaan konsep rechtsstat dengan konsup rule of law. Persamaan tersebut adalah menurut saya pada dasarnya kedua konsep ini mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama, yakni pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Indonesia mengakomodir kedua konsep ini dan melahirkan sebuah konsep Negara Hukum tersendiri.

Negara hukum Indonesia memiliki ciri-cri khas Indonesia karena ‘Pancasila’ harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu maka negara hukum Indonesia bisa pula dinamakan negara hukum Pancasila. Dari pandangan saya diatas, terlihat bahwa meskipun dalam penjelasan UUD NRI 1945 digunakan istilah rechtsstaat, tapi konsep rechtsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan juga kosep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum Pancasila.

Ciri khas Negara Hukum Pancasila adaah dibandingkan dengan rechtsstaat maupun rule of law adalah terdapat elemen (1) Berketuhanan YME; (2) Gotong Royong; (3) Bhineka Tunggal Ika; serta (4) Demokrasi. Pembangunan hukum sebagai salah satu katalisator pembangunan bangsa perlu ditopang dengan sistem hukum nasional yang mantap dengan bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam pelaksanaannya prinsip negara hukum Pancasila dijabarkan dalam bentuk: (1) Jaminan perlindungan HAM; (2) Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; dan (3) Legalitas hukum dalam segala bentuknya (setiap tindakan negara/pemerintah dan masyarakat harus berdasar atas dan melalui hukum). Disamping itu menurut saya juga ada elemen budaya hukum seperti konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianut) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari).

Budaya hukum ini perlu dibangun selaras dengan nilai-nilai yang dikandung Pancasila sehingga bisa kokoh menopang implementasi prinsip-prinsip negara hukum. Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari upaya nation characterbuilding. Membangun sikap dan mengubah mental bangsa, yang selama ini saya rasa ‘terlanjur’ dibebani stigma-stigma negatif sebagai bangsa yang cenderung masih toleran terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum. Budaya hukum juga perlu dibangun di kalangan aparat penegak hukum. Hal ini saya kira sangatlah penting mengingat bahwa penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, sangat bergantung pada seberapa kuatnya etika, integritas, dan komitmen aparat penegak hukum itu sendiri. Disinilah kemudian kita melihat bahwa hukum dan etika adalah hal yang terkait erat satu dengan yang lain.

Sofian Effendi, mantan rektor UGM, pernah mengemukakan bahwa salah satu persoalan mendasar di bidang hukum adalah insan hukum tidak diajari dan dibekali ilmu dengan baik. Sistem pembelajaran yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan hukum yang ada sekarang ini adalah masih bersifat transfer pengetahuan belaka dan beroorientasi positivistik, sehingga cenderung hanya mencetak tukang (legal mechanics) dan tidak membentuk perilaku calon insan-insan hukum yang memiliki integritas diri yang adi, jujur dan humanis. Geery Spence seorang advokat senior Amerika Serikat mengatakan bahwa sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia berbudi luhur (evolved person) lebih dulu. Jika tidak dilakukan maka para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong dalam advokasi hukum dan HAM.

Membangun Kesadaran Hukum

Ketika manusia sepakat atas eksistensi keadilan, maka mau tidak mau keadilan harus mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan sesama individu, dengan masyarakat, dengan pemerintah, dengan alam, dan dengan makluk ciptaan Tuhan lainnya. Keadilan harus terwujud di semua lingkup kehidupan, dan setiap produk manusia haruslah mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan produk yang tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang berakibat kerusakan, baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta. Keadilan harus diwujudkan, agar mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan imparsialitas hukum dan tetap pada entitas keadilan.

Sangat menusuk hati kecil saya, ketika media terutama pengguna media sosial Twitter sering memberitakan konflik antar warga. Dihadapan mata terlihat pengendara roda dua ugal-ugalan begitu lihai dijalanan tanpa menggunakan helm. Ada juga tidak memiliki surat izin mengemudi. Selain itu, perkelahian, demo yang dilakukan mahasiswa juga pelajar,pembunuhan demi membela satu pihak, pencurian, pelaku dan pengedar narkoba. Hingga aksi kriminal lainnya seperti penculikan anak dan organ tubuh (Human Trafficking) yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat. Hal-hal tersebut diatas bisa saya katakan akan sangat berpengaruh terhadap rusaknya tatanan rasa keadilan didalam masyarakat oleh karena itu perlu dan sangat penting untuk membangun kesadaran hukum di masyarakat.

Kesadaran hukum (legal awareness) adalah sikap sadar yang lahir dalam diri manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, sesuatu yang timbul dari dalam hati melalui penjiwaan dan sikap batin terhadap apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Salah satu indikator mengenai tingkat kesadaran hukum dalam masyarakat, adalah pengetahuan terhadap hukum. Sebagai mahkluk beragama tentu memahami ajaran agamanya. Setiap ajaran agama adalah bentuk dari hukum Tuhan. Dalam agama islam disebut Taqwa. Taqwa diartikan sebagai sikap menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Semua agama tentunya mengajarkan konsep ‘Ketaqwaan’ terhadap ketuhanan. Sehingga hukum positif secara penjiwaan dan melalui hati harus diartikan sebagai hukum Tuhan juga, dengan demikian ketaqwaan dan kepatuhan dapat menjadi pondasi bagi terbentuknya kesadaran hukum.

Dalam kondisi tersebut, eksistensi hukum sebagai sosial kontrol akan menemukan momentumnya. Realitas hukum menjadi lebih baik karena setiap individu melalui penyerapan akan dan perenungan hati mampu menyadari bahwa setiap perilaku kehidupannya maupun institusi tidak lepas dari aturan-aturan yang berlaku, dan wajib dipatuhi sepenuhnya.

Sekiranya, esensi ‘Taqwa’ bagi umat beragama harus diaplikasikan melalui ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku sebagai wujud keterwakilan Tuhan dalam kehidupan berbangsa, niscahya akan mampu menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang berkarakter. Melihat paradigma pembangunan terus mengalami suatu perubahan ke arah yang lebih baik dengan menerapkan konsep pembangunan masyarakat (community development). penerapan konsep perencanaan partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin peran masyarakat.

Salah satu faktor tercapainya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan adalah dengan membentuk masyarakat yang berbudaya hukum. Budaya hukum masyarakat harus dibangun paralel dengan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dan birokrasi. Karena profesionalisme ini akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Kesadaran hukum, tentu menjadi hal yang penting dan harus ditingkatkan. Peningkatannya dengan mempelajari pengetahuan tentang hukum secara umum. Baik terhadap peraturan yang tertulis (terkodifikasi), maupun peraturan-peraturan yang tidak terkodifikasi (Hukum Adat).

Dalam pelaksanaan hukum (law enforecement or law in action) oleh institut penegak hukum harus dimaksimalkan. Begitu juga dengan pentingnya pemberian pengetahuan tentang hukum, bantuan hukum dan penanaman nilai-nilai budaya hukum sebagai pembentukan moral, serta peningkatan kualitas maupun non formal. Semua hal tersebut diatas adalah tanggung jawab Negara dan Negara wajib hadir dalam mewujudkan dan menciptakan kesadaran hukum dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut saya adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan pemerintah sehingga pada akhirnya penegakan prinsip-prinsip negara hukum bisa berjalan dengan baik dan benar, yaitu: (1) Melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat secara menyeluruh dan berkesinambungan; (2) Melakukan pembaharuan hukum; (3) Proses hukum tidak boleh didasarkan pada motivasi politik; (4) Menjunjung tinggi HAM serta tidak diskriminatif; serta (5) Melakukan pembenahan dalam rangka memperkuat institusi pemerintahan yang menghadirkan lembaga-lembaga penegak hukum yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.

Esensinya adalah kemampuan memberikan pemahaman tentang hukum dapat mengembangkan sikap yang secara substansial sadar akan hukum. Karena Dosen saya Bapak Dr. Mahendra Putra Kurnia S.H., M.H saat mengajarkan PIH pernah berkata “Masyarakat Indonesia ini lebih dominan patuh karena takut bukan patuh karena sadar”. Sehingga outputnya bisa membedakan mana yang bisa diperbuat dan mana yang tidak bisa diperbuat. Inilah mengapa kemajuan suatu bangsa menurut saya bisa dilihat dari tingkat kesadaran hukum dan tingkat kepatuhan masyarakatnya terhadap hukum itu sendiri. Jika tingkat kesadaran hukum penduduk suatu Negara meningkat, maka akan semakin tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang dengan sendirinya keadilan dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai.

Bantuan Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan

Konsep negara hukum memberikan jaminan terhadap tegaknya supremasi hukum, dalam konteks ini tidak boleh terjadi kesewenang-wenangan. Terlebih lagi penzoliman terhadap hak-hak kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu. Negara harus menjamin setiap orang berkedudukan sama di hadapan hukum (the equality before the law). Siapapun orangnya, baik rakyat biasa, buruh ataupun pejabat, jika menghadapi masalah hukum sudah seharusnya diperlakukan sama. Bagi masyarakat miskin atau kelompok marginal, agar tidak mengalami kesulitan atau dipersulit jika berhadapan dengan hukum, maka perlu diberikan pendampingan hukum.

Melalui pendampingan inilah mereka akan mendapatkan putusan yang berkeadilan sebagaimana yang seharusnya. Program pendampingan hukum ini dilakukan pemerintah kepada kelompok miskin atau marginal, sebagai wujud kehadilan negara sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. ketentuan konstitusi ini merupakan pijakan dasar yang menjamin hak setiap warga negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka diaku, dijamin, dan dilindungi secara adil. Dengan demikian mereka juga akan mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Penutup

Hukum dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya hukum dan keadilan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi pintu masuk terhadap berbagai perilaku koruptif dan penyelewengan dari nilai-nilai dan cita-cita bangsa yang telah digariskan oleh Pancasila.

Guna membendung perilaku yang demikian, maka diperlukan pola pikir dan cara pandang yang profesional serta kesadaran untuk mengubah menuju pengembangan praktik pemerintahan yang baik dengan dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika yang bersumber pada Pancasila, termasuk dalam pembentukan dan penegakan hukum.

Hukum yang berjiwa pancasila akan menjadi refleksi sekaligus penguat nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari dan karenanya akan menarik Pancasila dari tataran ide menjadi tataran implementasi yang nyata bagi masyarakat. Dalam perspektif Negara hukum Pancasila, maka harus dipahami pula bahwa Pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law), akan tetapi Pancasila juga sebagai sumber moral dan etika (source of ethics). Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Pancasila yang mengandung nilai-nilai universa inkusif tersebut dapat mempersatukan semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan sistem ideologi, falsafah, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha membangun demokrasi yang ditopang oleh semangat the rule of law and rule of ethics secara berkesinambungan.

Konsep negara hukum Pancasila memberikan jaminan terhadap tegaknya supremasi hukum, dalam konteks ini tidak boleh terjadi kesewenang-wenangan. Terlebih lagi penzoliman terhadap hak-hak kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu. Negara harus menjamin setia orang berkedudukan sama dihadapan hukum (the equality before the law). Siapapun orangnya, baik rakyat biasa, buruh ataupun pejabat, jika menghadapi masalah hukum sudah seharusnya diperlakukan sama. Tanpa ada intervensi dari negara terhadap kelompok orang miskin atau marginal maka akan sangat sulit bagi mereka untuk merasakan makna equality before the law.

Referensi Bacaan:

  1. Buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Prof.Dr.Sajipto Rahadrjo, SH
  2. Buku Ilmu Hukum, Prof.Dr.Sajipto Rahardjo, S.H
  3. Buku Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Eriyantouw Wahid
  4. Buku A Theory Of Justice Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, John Rawls
  5. Buku Teori-Teori Keadilan (Six Theories of Justice), Widya Ananda Solo
  6. Jurnal: Keadilan Sebagai Prinsip Negar aHukum: Tinjauan Teoritis dalam Konsep Demokrasi
  7. Jurnal: Justice As Fairness

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun