Sengketa teritorial Laut China Selatan (LCS) telah menjadi salah satu masalah keamanan terpenting di Indonesia dan juga dapat memicu konflik besar antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Perselisihan mulai meningkat setelah Tiongkok merilis peta yang dibuat berdasarkan sejarahnya. Peta tersebut menunjukkan nine-dash line (NDL) di sekitar LCS, yang menandai klaim Tiongkok atas wilayah tersebut.
Indonesia memang bukanlah pihak yang terlibat secara langsung dalam sengketa LCS namun mempunyai kepentingan strategis dan ekonomi dalam menjaga perdamaian dan stabilitas karena zona ekonomi eksklusifnya tumpang tindih dengan beberapa negara tetangga, terutama dengan nine-dash line tersebut.
Indonesia tidak hanya harus memikirkan dirinya sendiri tetapi juga memikirkan peran yang lebih besar dalam membantu kawasan menghindari eskalasi dan konflik yang dapat menyebabkan ketidakstabilan regional dan perekonomian. Kemampuan militer saja tidak akan cukup dalam menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah yang disengketakan, namun juga diperlukan kesabaran secara strategis untuk meminimalkan faktor-faktor yang mengganggu stabilitas di LCS.Â
Sengketa TeritorialÂ
Suatu wilayah selalu dapat dibagi secara fisik, dan seringkali terdapat sumber daya di dalam atau di sekitar wilayah yang disengketakan. Bahkan kedaulatan pun bisa dibagi-bagi.Â
Terdapat sejarah panjang negara-negara yang berbagi kedaulatan atas wilayah atau mengusulkan pengaturan yang layak untuk berbagi kedaulatan dan sumber daya, sehingga dapat hidup saling berdampingan dalam jangka waktu yang lama. Permasalahan sengketa teritorial itu sendiri meliputi lokasi ujung batas daratan, penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dalam dan luar 200 mil laut.
Di LCS, sejak tahun 1947, Tiongkok mengeluarkan peta dengan sebelas garis putus-putus (direvisi menjadi nine-dash line oleh Tiongkok pada tahun 1952) yang menguraikan klaimnya atas Laut China Selatan, meliputi Kepulauan Spratly dan Paracel. Peta ini menandai awal dari penegasan formal kedaulatan Tiongkok atas pulau-pulau ini dan sebagian besar Laut China Selatan, yang mencakup sekitar 90% dari wilayah seluas 3 juta kilometer persegi.
Perselisihan di LCS memainkan peranan penting tidak hanya dalam hubungan antar negara penggugat tetapi juga dalam kebijakan luar negeri negara-negara seperti Jepang dan Amerika Serikat.Â
Keterlibatan negara-negara tersebut berangkat dari kepentingan strategis keduanya dalam menjaga kebebasan navigasi di Laut China Selatan dan menegakkan hukum internasional. Sengketa tersebut juga melibatkan tumpang tindih hak dan klaim maritim, teritorial, dan penangkapan ikan oleh Tiongkok, Taiwan, Brunei, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
Bagi indonesia, permasalahan utamanya adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut China Selatan, yang membentang di utara Kepulauan Natuna, bersinggungan dengan NDL dari Tiongkok.Â
Konflik Laut Natuna Utara diperkirakan akan menjadi isu keamanan domestik dan nasional terpenting bagi Indonesia dimasa depan. Perairan yang disengketakan tersebut memiliki kepentingan strategis bagi Indonesia karena mengandung sumber daya alam yang berharga dan berfungsi sebagai jalur perdagangan maritim.Â