Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi sebuah gerakan massa islam yang cenderung damai dengan sebuah tuntutan tertentu akibat dari lisan seorang Gubernur yang kebetulan non-muslim. Kita dapat memaklumi bahwa sebagian umat muslim (bukan seluruhnya) merasa terganggu dengan slentingan tersebut sehingga harus menyuarakannya dibeberapa jalan ibukota. Sebagai negara demokrasi yang memberi kesempatan luas kebebasan berpendapat dan berekspresi selama tidak melakukan kegiatan yang melanggar hukum ataupun aturan yang ada, kegiatan aksi tersebut shahih dilakukan dinegeri Pancasila ini.
Pancasila merupakan ideologi dasar negara dimana nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila menjadi cita-cita normatif di dalam penyelenggaraan negara. Secara luas Pancasila adalah visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yakni terwujudnya kehidupan yang menjunjung tinggi ketuhanan, nilai kemanusiaan, kesadaran akan kesatuan, berkerakyatan serta menjunjung tinggi nilai keadilan.
Pancasila telah menjadi perisai yang kokoh bagi persatuan dan kesatuan NKRI, para pendiri bangsa ini sadar bahwa negeri ini mempunyai bermacam-macam keaneka-ragaman, ada islam, nasrani, hindu, budha, ada Jawa, Batak, Bugis, Tionghoa, Papua memerlukan ideologi pemersatu yakni Pancasila. Semua elemen bangsa ini digerakkan untuk membangun dan membela bangsa.
Aksi damai dari ratusan ribu umat muslim yang menuntut untuk dipenjarakannya petahana Gubernur DKI Jakarta dimulai pada bulan Oktober kemudian berlanjut yang kedua tanggal 4 November serta bersambung pada 2 Desember ditahun 2016 ini semakin memperkuat kedudukan Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya beragama muslim mampu berjalan beriringan dengan suara demokrasi. Pihak-pihak yang mendompleng ketulusan hati umat islam dengan agenda tertentu dibaliknya termasuk mereka yang menyuarakan ideologi khilafah dengan ancaman makar tidak mampu berbuat banyak.
Panggung Demokrasi
Demokrasi direpublik ini yang bernafaskan musyawarah untuk mufakat sebenarnya telah lama diajarkan oleh islam diawal zaman kekalifahan. Sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat nabi yang telah dididik langsung dibawah nabi semasa hidup, yakni Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali terkenal dengan sebutan Khulafa Ar-Rasyidin islam berdiri berdasarkan atas musyawarah. Mereka menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat yang terdiri dari beraneka ragam suku dan agama leluhur dengan cara demokrasi yang baik untuk menghindarkan dari perpecahan.
Abu Bakar yang bergelar As Shidiq diangkat sebagai khalifah sepeninggal nabi dalam kepemimpinan diawal islam pernah berkata “ janganlah kalian memilihku, karena aku bukanlah yang terbaik diantara kalian” sehingga terjadi silang pendapat dan hampir menjadikan perpecahan waktu itu. Untuk itu dilakukanlah pemungutan suara (baiat) ditempat yang bersejarah bernama Saqifah dan sebagian besar yang hadir saat itu memilih Abu Bakr diantara sahabat yang lain. Demikian juga saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, dimana Umar yang menjadi khalifah waktu itu membentuk dewan syuro yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah dan Usman mendapat suara terbanyak waktu itu. Pemilihan khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pun malah lebih semarak dalam musyawarah, dimana saat itu sebanyak kurang lebih 120 ribu umat yang hadir memberikan suara (baiat) kepada Ali untuk dijadikan khalifah sepeninggal Usman.
Sistem demokrasi telah diajarkan oleh para sahabat diawal kedatangan islam pasca meninggalnya nabi dalam tata kelola pemerintahan dan bernegara. Sistem demokrasi itupun telah menjadi bagian dalam nilai-nilai Pancasila, sehingga Pancasila secara tidak langsung telah mengandung nilai-nilai islam yang sangat kental.
Dan ketika aksi damai umat muslim yang terjadi pada tanggal 2 Desember ini, menandakan bahwa demokrasi merupakan jalan tengah bagi umat islam dan negara dalam hal ini pemerintah. Ketika demokrasi sudah berjalan dengan baik dan mampu memberikan tempat serta suara para muslimin, tentu aksi damai 2 Desember ini telah menutup rapat-rapat bagi pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Pancasila dan menggantinya dengan Ideologi Khilafah, dengan begitu serpihan-serpihan Daulah Islamiyyah (ISIS dan seangkatannya) tidak akan mampu menjadikan Indonesia sebagai panggung peperangan.
Dalam sejarah, kekuasaan berdasarkan kekhalifahan sejatinya tidaklah berjalan mulus. Dalam beberapa literatur yang ada disebutkan bahwa masa-masa kecermelangan kekhalifahan baik bani Umayyah maupun bani Abbasiyyah telah merenggut jutaan nyawa umat islam diawal-awal berdirinya, bahkan kala itu seorang cucu Nabi Sayyidina Husain beserta keluarga dan 72 sahabatnya terbunuh oleh umat islam sendiri dijaman kekhalifahan bani Umayyah. Dan tragedi perang saudara sesama umat muslim masih saja terjadi hingga saat ini, tragedi Libya, Mesir, Tunisia, Suriah, dan perang pendudukan dinegeri Hadramaut Yaman seharusnya menjadi pelajaran bagi kita agar tidak mudah terjebak dalam mindset kekhalifahan yang sebenarnya belum tentu cocok jika diterapkan di Indonesia.
Persiden Sebagai Makmum Shalat Jumat
Keikut-sertaan Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, beberapa menteri dan pembantu pemerintahan lain menjadi bukti jawaban isu-isu belakangan yakni, Presiden dan aparatur negara lainnya bukanlah pemimpin umat agama tertentu. Para aparatur negara tersebut dalam tata negara demokrasi sejatinya adalah “pelayan” publik dari semua golongan, dipilih secara langsung oleh rakyat untuk memperbaiki taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini berlaku bukan hanya Presiden saja sebagai kepala negara, tetapi juga berlaku bagi kepala daerah diseluruh wilayah Indonesia yang berada dialam demokrasi. Contoh lain adalah Bu Risma sebagai walikota Surabaya, dalam lingkup suatu agama tertentu laki-laki adalah pemimpin bagi wanita atau wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau didaerah lainnya seorang dengan agama minoritas (non-muslim) tidak boleh memimpin umat mayoritas dalam konteks keagamaan. Tetapi dalam konteks bernegara Pancasila semua kalangan baik muslim, non-muslim, Jawa, Sunda, Tionghoa, Batak, Papua dan banyak suku lainnya berhak ikut serta mengelola dan membangun negeri.
Konsep dinegeri ini berbeda dengan Republik Islam Iran yang menganut paham Wilayatul Faqih dimana seorang rahbaratau pemimpin besar revolusi Sayyid Ali Khamenei selain sebagai pemimpin negara juga menjadi pemimpin dalam beragama sehingga seringkali beliau hadir sebagai imam shalat.
Sukesnya aksi damai umat islam ini memberikan sebuah harapan Indonesia sebagai negeri muslim terbesar didunia kepada seluruh dunia selain islam mampu berjalan berdampingan dengan demokrasi, bahwa islam rahmatan lil alamin itu ada disini. Tersampaikannya aspirasi umat muslim dalam wadah demokrasi semakin meruntuhkan ideologi khilafah dan memperkokoh hadirnya Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Semoga kita semua mampu belajar dari peristiwa sejarah guna menjadikan kita semua sebagai bangsa yang besar, bangsa yang dewasa dalam berpikir dan bertindak demi keutuhan Pancasila dan Bhineka tunggal Ika dinegeri ini, negeri yang kita cintai bersama.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H