Mohon tunggu...
Apridhan Arga Khairi
Apridhan Arga Khairi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bercita-cita menjadi musisi, penulis, dan budayawan, namun tak cukup peka dan cerdas dalam merasakan dan menerjemahkan sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesengajaan Semesta (I)

21 Desember 2012   22:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I

Segala sesuatu di alam raya ini bukanlah suatu kebetulan belaka. Tidak ada yang namanya kemunculan tiba-tibatanpa alasan. Tidak ada maksud kosong dari segala perbuatan, bahkan atom yang meledak hingga menciptakan bumi sekalipun mempunyai cerita yang panjang dan penuh sebab dan alasan.

*****

Peluhku sesak di balik kaos oblong hitam yang kupakai. Berjejalan mereka bersipanggil menghimpun massa tak mau tersiksa sendiri dikempit ketiakku dan tergoncang kian kemari oleh lemak. Kulit putihku memerah, wajahku, bahkan telingaku. Berjalan mondar-mandir menemani Adri berkeliling Malioboro, naik turun Beringharjo, dan tawar-menawar alotnya di pinggir jalan, sudah cukup membakar kalori, sudah cukup kuanggap sebagai olahraga.

Beginilah rutinitas bagi kebanyakan orang yang tinggal di Jogja yang kedatangan tamu dari luar kota, terlebih yang datangnya hanya ribuan tahun sekali seperti Adri, harus rela mengantar dan menemani kesana-kemari berbelanja oleh-oleh yang sebenarnya setelah dua kali bolak-balik pun belum ada satu kantong pun yang kami tenteng.

Aku capek,” keluhku.

“Ya sudah, kamu istirahat saja. Masih banyak yang harus kubeli. Aku ngajak kamu ke sini biar sedikit berguna, jadi tukang nawar. Ternyata percuma. Ujung-ujungnya aku juga,” sungut Adri.

‘Masih banyak’? Hey! Aku gak bisa terima kata itu. Karena memang dari tadi dia belum juga beli apa-apa karena terlalu berpatok sama harga yang dia dapat dari sepupunya yang liburan ke sini saat bukan musim liburan. Dan ‘aku ngajak’? Apa-apaan itu?! Tapi aku menyerah untuk berdebat. “Aku tunggu di angkringan sebelah sana ya,” sambil kutunjuk angkringan yang berada di gang persis di sebelah selatan Malioboro Plaza, tak jauh dari tempat kami berdiri. “Kalau ada apa-apa, telpon saja.”

Okay,” katanya santai. Dan dengan semangat yang sama seperti 3 jam yang lalu, dari wajahnya terlihat simpul yang mengatakan bahwa dia tak akan lagi kalah dalam tawar-menawar dengan para pedagang. Menarik sekali, pikirku.

Aku memesan satu gelas es teh dan meminta tiga buah mendoanku dibakar. Ditambah dua bungkus nasi kucing, lumayan untuk menahan lapar hingga beberapa jam ke depan. Es teh baru kuhabiskan setengah, sudah cukup meredakan amukan peluh, setidaknya badanku mulai terasa sejuk. Kukibas-kibaskan kerah bajuku, mengangkatnya sedikit kemudian meniup dadaku.

Dan seperti kebiasaanku sehabis menambah kalori, mulai kukeluarkan rokok dari saku kananku, membuka bungkusnya, mengambil satu batang, dan dengan cekatan pemantik kunyalakan di ujung rokokku, menghisap pelan sampai ujungnya memerah, dan selesai. Akan kunikmati batang ini hingga ujung terakhir tembakau bertemu lapisan filternya, hingga tak ada lagi tembakau tersisa.

“Pak, es teh siji.”

Aku tertegun mendengar suara manis itu.

“Bungkus po mriki,Mbak?”

Mriki mawon, Pak.”

Aku mulai memandangnya, mencuri pandang tepatnya. Tidak terlalu menarik, pikirku. Segera kualihkan perhatianku kepada koran yang  telah selesai dibaca oleh pelanggan di sebelahku.

Sekian lama membaca, tapi masih ada yang tersisa dari benakku. Aku masih terusik dengan ketidakmenarikan cewek di depanku ini. Dari pengalamanku, ketidakmenarikan yang mampu mengusik adalah kemenarikan tulen, kemenarikan yang mampu melewati berbagai macam waktu dan keadaan. Dan aku tak mau mencoba mengacuhkan ketidakmenarikan yang satu ini, siapa tahu dialah kemenarikan sesungguhnya itu.

Kuperhatikan lagi secara seksama cewek yang sedang asik menyeruput es tehnya ini. Rambut, dahi, alis, mata, hidung, bibir, ke bawah lagi, dan mentok di kerah kaosnya. Tidak terlalu buruk. Rambutnya paling kusuka, lurus, hitam, dan tebal. Alisnya sedikit lebih tebal kira-kira dari alisku, matanya bulat cerah, hidungnya standar Melayu, dan bibirnya juga standar Melayu. Bila diperhatikan satu persatu bagiannya, pastilah tidak terlalu menarik. Namun dari keseluruhan wajah itu, ditambah kulitnya yang putih –ah tidak terlalu putih, namun tidak pula menjadi sawo matang–, menimbulkan kesan kemenarikan tersendiri bagiku. Ada kesan terpelajar,  ada kesan damai, ada pula kesan seksi  yang tak bisa kudefinisikan. Aku tak menyesal untuk mengikuti keterusikanku.

“Ada apa, Mas?” Dia memelototiku curiga. Sungguh mengerikan.

Maaf, Mbak. Tadi aku melamun,” kataku terbata. Matanya, aduhai, menyeramkan.

“Kalau melamun jangan hadap sini, Mas. Ntar kesambet.”

“Hahaha.” Aku tak tahu maksudnya apa, tapi aku tertawa karena kurasa itu lucu. “Aku Bima.” Segera kusodorkan tanganku yang gemetar. Walau begitu, aku tak mau kesempatan untuk sekedar mengetahui namanya hilang begitu saja.

Kini dia memandangku lebih curiga. Namun mungkin karena ini Jogja yang berhati nyaman, akhirnya kami bersalaman. Alasan bodoh untuk menepis kegugupanku, tentunya. Aku tak ambil peduli. “Kirana,” balasnya. Datar.

Baiklah. Satu tahap sudah kulewati. Ini bagus, bisikku dalam hati. Aku pasti bisa mengajaknya berbincang. Aku menguatkan diri. Rokok yang kuselipkan di jari-jari kiriku kubuang. Jangan sampai asap rokok menganggu percakapan ini. Oke, Bima. Kamu bisa. Buat dia senyaman mungkin. Cari tahu apa bahan obrolan kesukaannya dan kemudian jaga dia untuk bertahan terus untuk mengobrol denganmu. Kamu pasti bisa. Pembukaan, “Jalan-jalan, Mbak?”

“Iya.”

Oke. Jawaban singkat yang menyebalkan. Mungkin salah langkah, tapi masih bisa diperbaiki. Es tehnya masih banyak. “Oh. Bukan asli Jogja ya?”

“Asli Jogja, kok.”

Lagi, aku mengeluh. “Pantas saja kayaknya asik-asik aja nongkrong di angkringan,” kataku sambil tersenyum. Gugup.

Kali ini dia tersenyum. Aku lega. “Memangnya semua orang Jogja identik dengan angkringan ya?”

Sekarang ia yang bertanya. Syukurlah, akhirnya menjadi dialog, bukan wawancara. “Sepertinya sih begitu, Mbak. Aku yang bukan orang Jogja saja nyaman banget nongkrong di angkringan,” kataku sambil mengulas senyum.

“Lah, Masnya orang mana?”

“Bima, Mbak.”

Dan muncullah pertanyaan klasik, “Bima itu di mana?”

Secara singkat kujabarkan letak Bima di Galaksi Bima Sakti ini di mana. Dia hanya melongo. “Yang sering rusuh itu ya, Mas? Kalau gak salah kemarin-kemarin aku nonton di tv orang-orangnya tawuran gitu.” Duh, pertanyaan menyebalkan. Kadang berita-berita semacam itu membuat malu para perantau, terutama perantau sepertiku yang sekarang ini sedang mencoba berakraban dengan seorang cewek.

Dan aku pun mengeluarkan jawaban klasik, “Yang sering rusuh itu orang pedalaman, Mbak.”

“Perang antarsuku gitu ya?”

“Bukan. Cuma semacam tawuran antarkampung, seperti di Jakarta. Di sana sukunya masih satu, kok, suku Bima.”

“Oh, begitu.” Kirana hanya mangut-mangut, mencoba sok paham. Sayangnya aku sudah hapal gestur yang seperti itu.

“Mbaknya kuliah ya?” Aku mencoba mengorek informasi lebih.

“Iya.”

“Di mana?”

“UNY.”

“Oh ya? Sama, dong. Aku jurusan sastra, seharusnya. Tapi terdampar di Fakultas Ilmu Sosial.”

Kok bisa?”

Ah, curiosity! Aku tersenyum. “Kami  yang di Ilmu Sejarah itu gelarnya S.S, Sarjana Sastra. Tapi entah kami malah di FIS. Mbaknya jurusan apa?”

“Aku di FE.”

“Tetanggaan, dong,” sahutku. Sedikit gembira.

“Hai, Tetangga,” dia tersenyum sambil melambaikan tangannya.

“Hai juga,” kubalas tak kalah seriusnya untuk bercanda.

Baiklah, langkah bagus, Bim. Orangnya supel, cantik pula. Kalau obrolan ini bisa dijaga intensitasnya, kamu bisa berteman dengannya. Tak ada ruginya. Otakku menyemangati. Jantungku terus berdegup, turut memberi dukungan dengan mengalirkan darah ke otak, agar pikiranku tetap jernih dan mampu membuat obrolan ini terasa mengasikkan. Memang, dengan rekam jejakku dalam berkenalan dengan cewek, otakku membutuhkan suplai oksigen yang berlebih untuk mendukung kinerjanya yang sudah sangat maksimal ini.

“Aku pergi dulu ya, temenku udah mau balik, tuh,” ia menunjuk temannya, cewek juga untungnya, yang menunggu di mulut gang.

Hey! HEY! “Oke, hati-hati,” basa-basiku sambil tersenyum. Kecewa.

Dan Kirana pun pergi, seperti juga matahari yang meninggalkan Jogja. Tapi aku serasa masih diselimuti cahaya. Bibirku masih tersenyum, jantungku masih berdegup cepat, gugup.

Masih berdegup, gugup.

Berdegup, gugup.

Tanganku pun ikut gemetar, sedikit.

Aku tak tahu mengapa begitu gugup. Meskipun pengalamanku berkenalan tidaklah banyak, namun kali ini begitu berbeda. Kegugupanku, keberdegupan janutungku, di ambang batas kewajaran yang masih bisa ditolerir. Adakah alasan yang bisa kuucap?

Berdegup, gugup.

Degup, gugup, degup, gugup degup, gugup.

Hey, berhenti, dong! Orangnya sudah pergi dari tadi, perintahku.

******

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun