Mohon tunggu...
Apriasong Apui
Apriasong Apui Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STFT Jakarta

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Agama dalam Polemik Identitas dan Ekspresi Gender Transpuan

23 April 2024   11:00 Diperbarui: 23 April 2024   11:21 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengaruh Agama dalam Polemik Identitas dan Ekspresi Gender Transpuan

Para transpuan atau yang umum dikenal dengan sebutan bencong atau waria, kerap kali dianggap mengkhianati kodrat kelaminnya. Pemahaman itu tampaknya adalah hal yang keliru, sebab gender manusia bukan hanya sekadar laki-laki dan perempuan ataupun maskulis dan feminin. Lebih daripada itu, manusia telah diciptakan dengan keberagaman gender dan seksualitas. Namun, kesadaran akan keberagaman ini masih sangat rendah di kalangan masyarakat Indonesia. Tak jarang keberagaman tersebut menimbulkan perdebatan yang berujung stigma terhadap mereka yang dianggap 'berbeda'.

Pembahasan mengenai gender transpuan mesti dimulai dengan pemahaman dasar tentang SOGIE (Sex Orientation, Gender Identity, dan Gender Expression). Pemikiran Judith Butler terkait free-floating attributes, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Samuel Killermann akan membantu kita memahami SOGIE (Killermann 2013, 67). Di bawah ini akan dipaparkan dengan singkat dan jelas tentang SOGI, penulis akan mengurutnya mulai dari bagian yang paling akrab atau mudah untuk dipahami. Berikut penjelasannya:

 

  • Karakteristik seksual merupakan kondisi biologis yang ditetapkan secara medis terhadap seorang manusia. Misalnya pada laki-laki terdapat penis, pada perempuan terdapat vagina, dan kombinasi keduanya pada interseks.
  • Identitas gender mengarah pada cara manusia memahami dan memikirkan pribadinya. Identitas gender dapat saja berbeda dengan karakteristik seksualnya. Seseorang dengan identitas gender yang sesuai dengan karakteristik seksualnya disebut cisgender, sementara yang berbeda disebut trasgender, dan seseorang yang merasa dirinya gabungan dari laki-laki dan permepuan disebut queer. Misalnya seorang manusia merasa bahwa gendernya sebagai perempuan sekalipun karakteristik seksualnya laki-laki, inilah yang disebut dengan transpuan, kebalikan dari transpuan disebut transpria.
  • Ekspresi gender merupakan cara seseorang mendemonstrasikan atau memperlihatkan gendernya melalui tindakan, pakaian, dan berinteraksi baik secara intensional maupun tanpa tujuan. Secara tradisional, orang memahami laki-laki mempergunakan celana (pants), kemeja, atau T-shirt. Sedangkan perempuan memakai rok atau gaun. Namun, ekspresi gender ini bisa berubah dari waktu ke waktu, tergantung bagaimana seseorang tersebut berkeinginan mengekspresikan dirinya. Ada yang mengekspresikan dirinya maskulin sekalipun identitas gendernya adalah perempuan, begitu juga sebaliknya. Namun, ada juga yang mengekspresikan kedua-duanya: laki-laki dan perempuan. Ini yang disebut androgynous.
  • Orientasi seksual menunjukkan ketertarikan seserorang secara psikis, emosional, dan spiritual kepada orang lain dengan gender yang sejenis maupun berbeda. Disinilah muncul heteroseksual, homoseksual, dan biseksual (Killermann 2013,62-64).

 

Pemaparan singkat tentang SOGIE di atas bila disimpulkan hendak mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan beragam gender dan seksualitas. Hal ini mestinya menjadi bagian dalam edukasi terhadap masyarakat, sehingga keberagaman itu tidak menjadi perdebatan yang merugikan. Salah satu kerugiannya adalah pengingkaran hak-hak sipil terhadap para transpuan, mereka tidak mendapat kesetaraan dalam kehidupan sosial seperti kebebasan berekspresi, berpendapat, dan akses layanan publik.  Namun, hingga kini edukasi mengenai SOGIE masih menjadi PR karena belum mendapat dukungan dari para penganut agama.

 

Pengaruh agama sangat kuat dalam kehidupan masyarakat yang tampak pada norma-norma yang mereka jalankan. Norma-norma itu dibuat berdasarkan tesk-teks Kitab Suci. Norma-norma inilah yang kemudian menentukan moralitas penganutnya, benar atau salah, dan mengatur hal-hal terkait gender dan seksualitas. Gender dan seksualitas yang benar adalah yang sesuai dengan Kitab Suci.

Dalam agama Kristen, tak jarang khotbah di gereja-gereja menekankan bahwa hanya ada dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Pengalaman T, seorang transman, ketika datang beribadah ke gereja, pengkhotbahnya menyatakan dari atas mimbar: "Laki-laki bergaya layaknya laki-laki dan perempuan bergaya layaknya perempuan". Dengan demikian, agama memberikan standar yang baku tentang gender yang binari, yakni laki-laki dan perempuan (Purba 2021, 112). 

              Dalam Agama Islam ditegaskan bahwa manusia hanya mempunyai dua jenis kelamin, yaitu pria dengan penis dan wanita dengan vagina. Identitas manusia tidak dapat ditentukan dari pengakuannya, melainkan sesuai dengan karakteristik seksualnya. Hal ini direspons oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mengeluarkan fatwa yang mengatakan waria adalah pria dan tidak dapat dipandang sebagai jenis kelamin tersendiri. Maka, segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus dikembalikan pada kodratnya (Milandria dan Abidin 2016, 216-222.).

 

              Polemik identitas gender dan seksualitas para transpuan sangat dipengaruhi oleh norma-norma berlandaskan ajaran agama. Sementara perdebatan itu berlangsung, para transpuan ini dibiarkan berada dalam ruang diskriminasi di lingkup sosial. Terjadilah pengabaian hak-haknya sebagai seorang manusia hanya karena identitas dan ekspresi gender yang tak sesuai dengan kemauan norma-norma masyarakat. Tidak sedikit juga kaum transpuan yang tidak dapat beribadah bersama sesama agamanya, karena terhalang oleh ekspresi gendernya. Betapa berpengaruhnya tafsiran ajaran agama dalam kehidupan masyarakat.

              Di atas semua perdebatan soal identitas dan ekspresi gender, perlu diingat bahwa semua manusia mempunyai hak-hak asasi yang berlandaskan martabat manusia. Martabat manusia tidak dapat dijual kepada pihak manapun. Dalam hal ini, para transpuan adalah manusia yang juga punya berhak untuk pemenuhan hak-hak asasinya. Gender transpuan mungkin telah ditentang penganut agama, namun tidak dapat dipungkiri bahwa transpuan adalah manusia yang menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Apabila penganut agama belum dapat menerima gender transpuan, paling tidak mereka masih punya negara untuk menjamin hak-hak mereka. Apalagi negara kita Indonesia adalah negara hukum bukan negara agama, sekalipun ia berlandaskan Pancasila.

 

Daftar Pustaka

 

Killermann, Samuel. The Social Justice Advicate's Handbook: A Guide to Gender. Austin: Impetus Books, 2013.

Purba, Darwita. Seksualitas Queer & Gereja: Eklesialogi Yang Membebaskan Dan Mentrasformasikan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021.

Milandria, N. F., & Abidin, Z. "SPIRITUALITAS PADA WARIA (Sebuah Pendekatan Kualitatif Fenomenologi)". Jurnal Empati, 5(2), (2016) 216-222.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun