Mohon tunggu...
Apriani
Apriani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang guru sebuah madrasah aliyah dengan basic pendidikan keguruan. Suka novel dan film. Tertarik dengan dunia menulis sebagai ajang ekspresi diri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Santri (1)

4 November 2022   20:03 Diperbarui: 4 November 2022   20:07 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                             Santri  (1)

Sore ini sendiri lagi, ditemani  hujan yang turun dari langit. Aku terpaksa tidak keluar kamar, tetap terpaku di depan jendela kamar, sendirian. Terlihat banyak anak laki-laki bermain dalam derasnya hujan, dengan benda bulat sebagai pemeran utama. 

Niatnya sih sore ini akan mengaji, namun ketika akan keluar kamar hujan keburu turun, dan sialnya hanya aku sendiri yang tidak ikut mengaji. Aku masih duduk di situ, sembari ingatanku kembali kepada dua hari yang lalu. Membayangkan kejadian yang tidak akan pernah kulupakan.

Dua hari yang lalu aku akan keluar pondok untuk sekedar melepas penat yang selama dua bulan ini semakin membuatku berkeluh kesah. Dan syarat untuk dapat keluar dari pondok adalah harus mempunyai setidaknya surat izin dari pihak keamanan pondok, namun entah mengapa hari itu aku disuruh Pak Salim yang menjabat sebagai lurah pondok untuk menghadap Bu Nyai dahulu agar bisa keluar pondok.

"Sampeankan tau sendiri kang, bahwasanya Bu Nyai baru saja sembuh dari gerahnya, jadi beliau kangen sama santrinya, termasuk sampean. Untuk itu nanti sebelum keluar pondok saya harap sampean dapat sowan ke beliau dahulu..." Begitulah kira-kira percakapan hari itu. Dan akua hanya bilang "enggeh" tanpa banyak tanya.

Jam sembilan lebih sedikit setelah mendapatkan surat izin aku langsung menuju ke ndalem untuk sowan. 

Dengan sarung dan kopiah berwarna gelap serta sandal jepit dan baju koko khas santri yang selalu setia menemaninya,  aku berjalan menyusuri kamar-kamar santri yang sepi, karena hari ini adalah hari Jum'at, yang merupakan hari wajib libur bagi santri. Jadi sangatlah sia-sia menghabiskan hari yang panjang ini dengan berdiam diri dalam kamar, mereka semua keluar bermain di belakang komplek. 

Tidak lebih dari lima menit aku sampai di depan pintu ndalem, dan jantungku semakin berdebar kencang. Namun perilaku ini tetaplah perilaku normal bagi santri yang setiap kali sowan, apalagi kalau yang dihadapi adalah seorang pengasuh Ponpes, pastilah dag dig dug rasanya. Rasa ini timbul kerena adanya bentuk ta'dim para santri yang mengharapkan barokah dari beliau.

            Aku mulai merapikan baju dan sarungku, seandainya masih ada yang kurang sopan dihadapan beliau, tidak lupa juga meluruskan kopiah hitamku. 

            "Assalamualaikum...."

            "Assalamualaikum..." Satu kali, dua kali, tiga kali aku mengucapkannya, namun tidak juga mendapat jawaban dari dalam.

            "Apa Bu Nyai lagi tinda'an ya.....?" Aku mulai bimbang untuk sowan."Ah nggak mungkin, buktinya tadi Pak Salim nyuruh aku untuk sowan, pastilah Bu Nyai masih menerima sorogan hapalan Al-Qur'an para mbak santri di dalam." Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa Mbah pasti masih di ndalem. 

Sambil menunggu akhirnya aku memutuskan untuk duduk-duduk di kursi yang  memang telah disiapkan untuk para tamu yang akan sowan kepada beliau.

            Akua merasa sangat beruntung dapat menuntut ilmu di pondok ini. Karena melihat realita sekarang ini akua merasa sangat miris melihatnya. Banyak wanita yang rela dibonceng laki-laki tanpa ikatan yang jelas. 

Aku mengucapkan berkali-kali rasa syukur karena telah ditakdirkan berada disini. Kalau memang mereka laki-laki jantan, alangkah baiknya kalau mereka langsung saja meminta izin kepada orang tuanya untuk mempersunting putrinya, kalau begitukan enak dilihat, dan tidak menimbulkan fitnah dunia. 

Dan sayangnya semua laki-laki kebanyakan ciut nyalinya ketika ditantang untuk menikahi seorang perempuan.  Beraninya hanya di belakang, membawa ke sana kemari anak orang. Tidak punya malu.

            "Eh lihat tuh ada kang santri...."

            "Mana sih.....?"

            "Itu tuh yang di depan ndalem, emangnya dia mau ngapain ya...?"

            "Manis ya....?"

            "Huss...!!!."

 
            Aku hanya bisa tersenyum mendengar percakapan mereka. Aku berpendapat maklumlah mereka berkata seperti itu, karena memang mereka jarang sekali melihat laki-laki.

            Ah sudah lima belas menit lebih. Akhirnya kucoba sekali lagi, siapa tau Bu Nyai sudah selesai menerima sorogannya.

            "Assalamualaikum..."  

            "Walaaikumsalam..."

            Akhirnya kudengar suara lembut Bu Nyai. Rasa lega kembali menghiasi hatiku, begitu juga rasa gugup yang  kembali menyerangku.

            Bunyi krek pelan terdengar keluar dari pintu yang ditarik dari dalam.

            Degg..

bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun