Bagian Dua
****
Aku dan lelaki sampan dengan sorot mata tajam meniti batang kayu besar yang telah tumbang. Sambil berjalan aku terus berpegangan pada tangan kirinya. Jujur saja aku takut ada binatang buas yang tiba-tiba saja bisa muncul, saat ini aku begitu pasrah mau dibawa kemana oleh lelaki sampan ini.
Karena melihat aku begitu kerepotan dengan menjinjing sepatu yang aku lepas, lelaki sampan berinisiatif membawakan tas kerjaku dengan tangan kanannya, sambil berjalan kurasakan tangan kirinya memegang tangan kananku dengan erat sekali, seolah meyakinkan aku untuk tetap tenang karena ada dirinya ada disebelahku, rasa takutku sedikit berkurang. Tapi aku tak kuat dengan hawa dingin yang aku rasakan saat ini  sampai badanku menggigil kedinginan. Â
Langit masih mencurahkan hujannya, saat lelaki sampan secara perlahan menyibak ranting dan dedaunan yang menutupi langkah kami untuk memasuki hutan larangan ini. Jalanan setapak ini terasa begitu licin dan lembab sekali, sambil berjalan aku  berusaha untuk menahan hawa yang terasa begitu dingin, lelaki sampan memegang erat tanganku yang terasa beku. di bawah langit yang menghitam aku dan lelaki sampan terus berjalan meninggalkan sampan di tepi hutan.
Kami berjalan dengan penuh  hati-hati, lelaki sampan berusaha melindungiku padahal aku tahu lelaki sampan sudah terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini, tapi ia dengan sabar berusaha menyesuaikan langkahku yang pelan dan sering terpeleset  karena jujur saja aku tidak terbiasa jalan tanpa mengenakan alas kaki. Hutan larangan yang kami masuki ternyata masih perawan, karena belum ada manusia yang sampai ke tengah hutan larangan ini, biasanya mereka hanya berani sampai pinggir hutan.
Semakin masuk ke dalam Hutan larangan, aku merasakan suasana terasa begitu mencekam dan membuatku merinding, aku melihat lelaki sampan begitu tenang tak terlihat rasa takut atau khawatir. Â Sepertinya baru kami yang memasuki hutan ini, aku lihat batang-batang pohon besar dengan akar-akar kayu terlihat bergelantungan di sepanjang jalan yang kami lalui.Â
Banyak lumut di sana-sini yang  menandakan bahwa di sepanjang kawasan hutan yang begitu lembab ini jarang sekali terkena cahaya matahari. Sambil mengiringi langkah kakinya aku terus menggenggam tangan kirinya sambil sesekali menatap wajahnya, karena aku merasa takut berada di tengah hutan ini, dan entah kapan langkah kaki ini akan terhenti, aku merasa sangat lelah dan aku ingin mengatakan itu  pada lelaki sampan tapi mulut terkunci karena  aku merasa malu dan gengsi.
Semakin dalam memasuki Hutan larangan, suasana semakin  gelap karena banyak pepohonan yang menutupi sinar matahari, apalagi saat cuaca seperti sekarang ini otomatis pandangan kami terbatas juga. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya dalam keremangan kami melihat sebuah pondok yang terbuat dari kayu. Aku semakin erat memegang tangan kiri lelaki sampan itu. Aku  dan lelaki sampan mempercepat langkah kaki menuju ke arah pondok kayu di tengah hutan itu.
Belum  seberapa jauh kami berjalan, aku yang merasa begitu lelah ditambah jalanan yang sangat licin, serta lelaki sampan mempercepat langkah kakinya sambil menggenggam erat jemari tanganku,  membuat aku terpeleset, sambil tanganku tetap memegang tangannya.Â