Mohon tunggu...
Apriani puri
Apriani puri Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Jika ingin mengetahui sesuatu, masuklah ke dalam jangan hanya menilai dari luar

Berlomba-lombalah dalam kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan Terakhir Ibu

10 Juli 2021   16:04 Diperbarui: 10 Juli 2021   16:24 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mempunyai keluarga yang harmonis memang impian semua orang, termasuk impian aku sendiri. Sedari kecil aku selalu berkhayal mempunyai rumah yang isinya lengkap ada Bapak, Ibu, dan saudara saudariku, tapi itu semua memang nyata dan memang terjadi dalam hidupku, bukan hanya sekedar khayalan. 

Tetapi, kenyataan itu tidak berlangsung lama, saat aku kelas 3 SD, Ibu meninggalkan kami semua dan sudah tenang di alam barunya. Tentu saja itu kejadian yang sangat membuat kami terpuruk dalam kesedihan. Kakak pertama dan kedua berhenti sekolah, aku tidak tahu saat itu kenapa mereka sampai berhenti sekolah, aku yang saat itu masih belum bisa memaknai perasaan mereka. Adik kecilku juga putus sekolah, sisa aku yang melanjutkan sekolah, di pikiranku saat itu kalau aku tidak ke sekolah, aku tidak akan bertemu dan bermain bersama teman-temanku, tidak akan bertemu bapak dan ibu guru. Hanya itulah alasanku sekolah pada saat itu. 

Sejak kepergian Almarhuma ibu, kami tinggal bersama kakek, dan Alhamdulillah kakek sangat sayang kepada kami. Ayahku pergi merantau di Kota Kaimana, dan setiap bulan rutin mengirimkan kami uang jajan. Saat itu aku belum merasakan betapa susahnya hidup jika ibu tidak ada di samping kami.

Sampai pada saat aku mengalami sakit kulit di tanganku selama 6 bulan, setiap hari yang aku lakukan hanya menangis karena tidak bisa makan sendiri, selalu bergantung kepada orang lain. Saat itu aku sangat membutuhkan sosok seoarang ibu dalam hidupku. Aku tidak masuk sekolah selama 5 bulan, karena tidak bisa menulis. Kakek aku langsung berinisiatif untuk membawaku ke Puskesmas untuk berobat, dan tidak menunggu lama Alhamdulillah aku sembuh. 

Sejak kejadian itu, aku langsung tinggal dan menetap bersama bibiku (saudari dari ibuku). Bibiku sudah menganggap ku sebagai anak sendiri, jadi aku betah tinggal bersamanya. Aku tinggal bersama bibiku sampai sekarang. Menjadi anak yang tumbuh besar tanpa sosok seorang ibu menjadikanku anak yang suka kebebasan, dan paling susah diatur. Suka jalan dan suka bolos mata pelajaran saat di sekolah. 

Sampai ada yang bilang "kamu berhenti sekolah saja, mau jadi apa kamu nanti. Kerjaan hanya jalan tanpa tujuan". Saat itu aku sempat down dan hilang semangat, karena di patahkan dan di buat down oleh orang dari terdekat kita. Sampai punya pikiran mau putus sekolah. Tapi aku bukan anak yang gampang menyerah, yang mudah di patahkan semangatnya. Saat itu yang ku pikirkan hanyalah kalimat ibuku, sebelum pergi ibuku berpesan "kamu harus selalu sekolah, harus pintar di sekolah, setidaknya jadilah pegawai, dan buat ibu serta keluarga bangga punya kamu", ternyata itu kalimat yang sangat berharga, dan pesan terakhirnya untukku. 

Sejak saat itu, aku selalu berjuang dan mencoba hal-hal baru agar bisa menjadi kebanggaan kelurga, dan membanggakan Almarhuma Ibuku, karena aku percaya walaupun aku tidak melihatnya tetapi aku tidak melihatnya. 

Saat kuliah pun, jika aku sedang terbebani dengan tugas kampus dan masalah yang selalu ada, aku selalu memikirkan pesan ibuku, hebatnya saat aku mengingat ibuku, semangatku bertambah. Kadang aku suka lupa, kalau ibu sudah tidak ada, kadang aku keceplosan jika ada sesuatu yang aku dapatkan dan membanggakan keluarga, aku ingin dan selalu berpikir untuk menelpon ibu, seperti anak-anak yang lain, yang kalau dapat prestasi selalu menelpon ibu mereka. 

Pesan terakhir inilah, yang membuatku semangat berjuang sampai saat ini, sampai saya memperoleh gelar S.KM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun