"Loh, kok kamu bisa ada di sini, Mar?" kata Deli sembari menatapku sinis, "Kenapa lagi kamu?"
"Slow down, Del. Lakik juga merespon sesuatu dengan menggunakan perasaan tidak serta-merta menggunakan logika saja," kataku nyolot
"Iya iya, maaf. Terus, kamu kenapa?" tanyanya.
"Iya. Yah, karena secara kebetulan kita bertemu di tempat ini. Del, aku mau melanjutkan soal kemarin itu."
"Oh begitu. Mar, baca buku kumpulan puisi ini dulu," Deli memberikan sebuah buku berwarna putih dan penulisnya bernama Sinna.
Aku hanya membaca buku kumpulan puisi ini sampai halaman 15 dan masih ada sekitar 80 halaman lagi yang belum aku baca. Sejauh ini, aku sudah merasa cukup dengan tulisan-tulisan puisi yang indah itu sehingga aku sedikit melayang-melayang ketika membacanya.
"Bagaimana, puisi-puisinya membuatmu nyaman, bukan?" tanya Deli serius.
"Iya, Del."
"Kamu tahu Sinna itu siapa?"
"Tidaklah," jawabku penuh keyakinan.
"Kumpulan puisi yang kamu baca itu, karya dari Stefani dan Sinna adalah nama penanya. Semuanya itu dia lakukan dengan penuh kesengajaan, agar isi hatinya dapat tersampaikan dengan baik dan agar kau Marrt... tidak mudah menemui karya tulisannya, karena Stefani tahu kalau kau suka membaca dan membeli buku puisi. Dan buku itu adalah kenangan-kenangan darinya. Stefani sudah lanjut studi di Paris, entah kapan dia kembali ke Indonesia. Pertemuan ini memang kita tidak rencanakan sebelumnya, tapi Tuhan sudah mengaturnya. Dan ini waktunya aku sampaikan sama kamu Marrt, bahwa Stefani mencintaimu dan karya puisinya adalah bukti keseriusannya."