"Deli, dengarkan dulu...," teriakku sembari mengejar Deli yang berlari sangat cepat.
"Masih ada wanita lain, jangan sama aku," teriaknya dari kejauhan.
Larinya secepat kilat. Sedangkan aku berhenti berlari. Sungguh, ucapan Deli barusan sangat menusuk hatiku dan jelas itu sebuah jawaban dari pertanyaanku. Aku harus menerima jawaban itu dengan lapang dada, walaupun aku tak tahu apa alasannya, namun itu cukup menyakitkan.
Aku menyadarkan badan di tembok dinding berwarna merah sembari kedua bola mataku menatap langit yang kehitam-hitaman. Kemudian secara refleks aku menghembuskan napas. Rasanya mengatur napas kali ini sangat berbeda dari hari sebelumnya. Aku juga masih sibuk berurusan dengan detak jantungku yang semakin cepat. Apakah rasa ini salah? Apakah aku yang goblok? Salahkah kalau aku ingin mengutarakan rasa ini? Salahkah kalau aku mencintaimu, Deli? Mengapa kau menyuruhku dengan wanita lain? Itu artinya sebuah penolakan secara tidak langsung kan, Deli? Apa karena aku adalah juniormu? Apa karena aku perokok dan peminum? Apa karena banyak orang menganggapku playboy? Atau apa?
Aku berusaha menenangkan diri. Tetapi hati dan pikiranku masih meronta-meronta. Emosiku mulai naik kembali. Untung aku teringat dengan kejadian tadi bersama Deli, ketika tangan kananku untuk pertama kalinya berada di atas pundak kirinya. Aku tersenyum malu mengingat hal itu sehingga langkah kakiku terbata-bata menuju kearah mobil.
Aku pulang ke rumah dengan menahan kekecawaan yang begitu mendera. Kukira dia akan menerimaku menjadi kekasihnya. Selama ini aku mencintainya dalam diam adalah sebuah kesia-sian. Ternyata aku memang tolol. Sepersen pun ia tak mencintaiku.
Malam ini, hujan tampaknya akan segera menderas. Bintang dan bulan sudah enggan menemaniku di sini. Tetapi aku tak merasa sepi karena sudah dari tadi Deli berdiam di benakku, matanya bersinar terang, senyumannya yang manis, dan rambut panjangnya yang indah. Andaikan aku kekasihnya Deli, andaikan aku sehidup dan mati bersama Deli. Sial, aku terjebak dalam lamunan lagi.
Mengapa Deli, Deli, dan Deli yang ada di kepalaku terus, dia terus meracuniku dengan namanya. Bayangan dirinya tak mau pergi dalam benakku. Kali ini merenungkannya semakin dalam. Entah mengapa, ingin rasanya bercengkerama dengan Deli saat ini. Aku sangat yakin, jika bersamanya malam ini pasti hujan tak datang hanya bintang dan bulan yang terus bersinar.
***
Di sebuah coffee shop tanpa sengaja aku menemui Deli yang sedang sendirian sembari membaca buku. Dengan modal keberanian aku mencoba menghampirinya di sana. Tempat ini sangat ramai tapi di sini tidak ribut, suasananya tenang apalagi ditemani dengan alunan musik instrumen.
"Del," sapaku lembut.