Sungai Alas, salah satu ikon geografis Aceh Tenggara, kembali menjadi saksi bisu dari tragedi yang melibatkan nyawa manusia. Kali ini, sebuah perahu kayu bermesin ( Robin ) terbalik, menelan korban jiwa dan menorehkan luka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Banyak nyawa melayang, hilang, dan belasan penumpang lainnya selamat, meskipun membawa trauma yang tak akan pernah hilang.
Namun, di balik tragedi ini, ada pertanyaan yang lebih besar dan menggantung: apakah ini murni musibah, ataukah ada sistem yang gagal? Dan mengapa selalu ada pihak yang dikorbankan setelah semuanya terjadi?
Mari kita mulai dari perahu itu sendiri. Sebuah perahu kayu bermesin ( Robin ) , membawa 29 orang, dua motor, dan sejumlah barang sembako. Sebuah kombinasi yang dari awal saja sudah mengundang tanda tanya. Bukankah ini menunjukkan pelanggaran kapasitas dan keselamatan? Namun, di Aceh Tenggara, pemandangan seperti ini adalah hal biasa. Transportasi air yang tidak layak, minim pengawasan, dan terbatasnya akses infrastruktur menjadi paduan sempurna untuk bencana.
Dua orang kini menjadi tersangka: pengemudi dan kernet perahu. Pasal demi pasal disematkan untuk mendakwa mereka atas "kelalaian" yang berujung maut. Tapi mari kita tanyakan hal ini secara jujur: apakah mereka benar-benar sepenuhnya bersalah? Atau mereka hanya korban dari sistem yang tak pernah peduli?
Lalu, di mana pemerintah daerah dalam cerita ini? Selama bertahun-tahun, kondisi transportasi sungai seperti ini telah berlangsung. Sungai Alas, yang menjadi salah satu urat nadi masyarakat untuk berpindah antar wilayah, seolah menjadi "lahan bebas" tanpa regulasi yang jelas. Pemerintah hanya muncul ketika tragedi terjadi, menawarkan belasungkawa, dan memberikan vonis. Tidak lebih dari itu.
Dalam sejarah transportasi di dunia, tragedi selalu menjadi pembelajaran yang mahal. Tengoklah kisah Titanic yang karam di tahun 1912. Dari sana, dunia menciptakan peraturan keselamatan laut internasional yang hingga kini diterapkan. Atau lihatlah Jepang, negara yang terus memperbarui sistem transportasi mereka pasca gempa Kobe 1995 yang memutus jalur logistik penting.
Namun, di sini, kita justru terjebak dalam lingkaran setan: musibah terjadi, korban jatuh, pihak tertentu dihukum, masyarakat berduka, lalu lupa, hingga semuanya terulang. Tak ada kebijakan proaktif, hanya reaksi sesaat yang tidak pernah menyelesaikan akar masalah.
Apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat Aceh Tenggara? Infrastruktur yang layak dan regulasi keselamatan yang tegas. Sungai Alas adalah jalur transportasi vital, bukan sekadar tempat rekreasi. Harus ada investasi serius untuk menyediakan moda transportasi yang aman, layak, dan terjangkau. Pemerintah daerah harus mengambil tanggung jawab untuk memberikan edukasi tentang keselamatan, mengatur kapasitas angkutan sungai, dan memastikan perahu-perahu yang beroperasi memenuhi standar keamanan.
Lebih dari itu, perlu ada kebijakan yang berpihak pada pengemudi dan operator transportasi tradisional. Mereka tidak perlu dipersalahkan atas sistem yang sejak awal tidak mendukung mereka. Pemerintah harus menjadi pembina, bukan sekadar hakim.
Tragedi ini adalah panggilan keras bagi semua pihak. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Kita perlu menuntut adanya langkah konkret untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi. Jangan biarkan Sungai Alas terus menjadi arena tragedi berulang.