Arief, bergegas melewati jalan di depan Lembaga Wali Nanggroe Aceh, Lamblang Manyang. Sejak pagi tadi, kami telah menjalani ujian SKD CPNS 2024 dengan penuh ketegangan. Dalam perjalanan pulang, kami memutuskan untuk mampir ke tempat peristirahatan terakhir para korban tsunami di Aceh. Rasanya ada panggilan batin yang memandu kami ke sana, mengingatkan akan rasa syukur dan kilas balik masa lalu yang sarat perjuangan.
Senja mulai memudar saat aku dan adikku,Namun, perjalanan yang tenang itu tiba-tiba terhenti saat kami melihat sekumpulan polisi dengan rompi hijau neon. "Operasi Zebra Seulawah 2024," gumam Arief, sedikit gelisah. Kebetulan kami memang sedang melewati kawasan operasi, dan beberapa kendaraan tampak berhenti di hadapan polisi yang berdiri tegak, memeriksa setiap pengemudi dengan seksama.
Salah satu petugas melambaikan tangan, memberi tanda agar kami berhenti. "Permisi, Pak, ada apa ya?" tanyaku, mencoba tetap tenang.
"Bisa lihat surat-surat kendaraannya, Dik?" ujar seorang petugas dengan nada tegas.
Aku menatap Arief, yang saat itu tengah duduk di kursi kemudi motor. Kami memang memakai motor milik adik perempuan kami, dan ternyata Arief lupa membawa STNK motor yang tertinggal di rumah. "Aduh, Pak... sepertinya STNK-nya ketinggalan di rumah. Tapi kami lengkap, kok, dengan SIM dan helm," jawabku penuh harap.
Petugas itu tak langsung merespon. Sejenak dia memandang kami, lalu berkata, "Kalau begitu, silakan tunggu dulu. Mungkin bisa minta keluarga untuk membawa STNK-nya."
Kami segera menelepon adik perempuan kami yang berada di Kajhu, Baitussalam, berharap dia bisa membawa surat yang ketinggalan. Sembari menunggu, aku menatap wajah Arief yang tampak gelisah. Ia menghela napas panjang, mungkin menyesali kecerobohannya. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif. Toh, kami hanya lupa membawa surat, dan ini bisa segera diselesaikan.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, adik kami datang dengan membawa STNK yang tertinggal. Aku menyerahkan surat itu kepada petugas. Namun, bukan rasa lega yang kami dapatkan.
"Ini dek, mau disidang di sini atau di pengadilan?" tanya polisi itu, dengan nada setengah meledek yang membuat kami tersentak.
"Memangnya bisa ya, Pak, sidang di tempat?" tanyaku dengan nada tak percaya.
Petugas itu hanya menyeringai kecil tanpa menjelaskan lebih lanjut. Rasa penasaran mulai mengusik pikiranku, lalu aku membuka internet untuk mencari informasi lebih lanjut. Ternyata, tak ada aturan yang menyatakan bahwa tilang bisa diselesaikan di tempat. Ketidakjelasan ini membuatku bingung, bahkan sedikit takut.
Saat aku tenggelam dalam pencarian, petugas lain mendekati kami dan berkata dengan nada setengah berbisik, "Gimana kalau selesai di sini aja, bayar seratus ribu aja, Dek?"
Sontak, Arief langsung menjawab dengan nada tegas, "Maaf, Pak, tapi kami sedang tidak ada uang. Tanggal tua, lagi pula saya ini mahasiswa."
Polisi itu tampak menghela napas, lalu menurunkan tawarannya. "Ya sudahlah, lima puluh ribu aja, buat uang rokok," katanya sembari melirik ke arah teman-temannya yang sedang memeriksa pengendara lain.
Aku hanya bisa menatap, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Di sekitarku, ada beberapa pengendara lain yang tampaknya memilih untuk membayar di tempat. Aku melihat mereka menyerahkan uang kepada petugas, yang langsung memasukkannya ke dalam sebuah kantong kain kecil. Rasa kecewa dan heran memenuhi hatiku.
Di satu sisi, aku ingin sekali merekam kejadian ini untuk dijadikan bukti. Namun, aku juga merasa takut, takut kalau hal ini akan berujung pada hal yang lebih rumit bagi kami. Akhirnya, kami hanya bisa menerima surat tilang, memilih untuk menjalani sidang di pengadilan daripada menyelesaikannya di tempat.
Sore itu, harapan kami untuk berziarah ke makam para korban tsunami harus pupus. Kami memutuskan untuk pulang, membawa segumpal perasaan pahit di hati. Di perjalanan, aku dan Arief tak banyak berbicara. Rasa kecewa begitu mendalam; bukan hanya karena STNK yang tertinggal atau uang yang harus kami keluarkan, tetapi lebih karena kesadaran bahwa hukum bisa begitu mudahnya dipermainkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung.
Sesampainya di rumah, aku dan Arief terdiam. Pandanganku jatuh pada ponsel yang tadi kupakai untuk mencari informasi. Pikiran melayang pada ribuan pertanyaan, tentang keadilan yang tak selalu berpihak pada mereka yang benar dan tentang ketidakberdayaan kami sebagai rakyat kecil di hadapan oknum berseragam.
Namun, aku tahu bahwa kami bukan satu-satunya yang merasakan ini. Di luar sana, ada banyak orang yang mungkin pernah berada di posisi kami, terjebak dalam ketidakadilan yang sama, merasa tak berdaya saat kejujuran mereka dipandang sebelah mata. Perasaan itu, perasaan tertindas dalam sistem yang seharusnya melindungi, membekas dalam benakku, membawa aku pada satu pemikiran bahwa perjuangan bukan hanya soal melawan musuh yang kasat mata, tetapi juga melawan sistem yang terkadang berpihak pada yang salah.
Dan, entah kenapa, meskipun perjalanan ziarah kami terhenti, aku merasa bahwa kami baru saja menziarahi sisi lain dari negeri ini. Sisi yang mungkin tak kasat mata, tetapi nyata bagi mereka yang pernah merasakan getirnya.
Cerita ini berakhir dengan sebuah refleksi. Keadilan seharusnya tak perlu diminta, namun untuk sebagian orang, terkadang keadilan adalah sebuah perjuangan yang tak henti-hentinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H