Kehilangan Marwah Mahasiswa, Antara Kebuntuan dan Perlawanan
Indonesia, negara yang kaya akan sejarah perjuangan, telah lama dikenal dengan semangat mahasiswa yang tak gentar dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran. Di balik setiap pergolakan besar, ada mahasiswa yang berdiri di garda terdepan, membawa harapan untuk perubahan yang lebih baik. Namun, belakangan ini, semangat itu tampak memudar. Marwah mahasiswa, yang selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, mulai terkikis oleh kenyataan pahit. Kasus demi kasus yang melibatkan keputusan-keputusan besar di Indonesia seolah-olah menjadi bukti bahwa suara mahasiswa tak lagi bermakna.
Mari kita tengok sederet peristiwa yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Demo mahasiswa yang menolak RUU dan RUU yang melemahkan KPK, demo Omnibus Law, demo menolak UU Cipta Kerja, hingga demo terkait pelanggaran etik Ketua MK dan KPU, dan terkait Peringatan Darurat Putusan MK Soal Pilkada. Semua ini adalah upaya mahasiswa dan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan, namun pada akhirnya, keputusan tetap disahkan. Seolah-olah, suara mahasiswa hanya dianggap angin lalu, tidak lebih dari sekadar riak kecil di tengah samudra kekuasaan.
Pertanyaannya, mengapa hal ini terjadi? Mengapa perjuangan yang begitu keras dan penuh pengorbanan tidak membuahkan hasil? Apakah ini berarti penguasa terlalu pintar, atau justru kita yang terlalu bodoh? Apa yang salah dalam perlawanan ini, sehingga semua usaha yang dilakukan terasa sia-sia?
Banyak yang mengatakan bahwa aksi-aksi yang dilakukan selama ini tidak efektif karena kurangnya dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Dalam demokrasi, suara rakyat seharusnya menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Namun, ketika suara itu hanya datang dari segelintir mahasiswa dan aktivis, penguasa mungkin saja merasa tidak perlu menggubrisnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merenungkan kembali strategi perlawanan yang dilakukan. Apakah sudah saatnya melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dari setiap kabupaten hingga pelosok desa, untuk turun tangan dalam memperjuangkan keadilan?
Namun, bahkan jika semua elemen masyarakat sudah bersatu, masih ada kemungkinan bahwa suara kita tetap diabaikan. Inilah yang membuat sebagian orang mulai berpikir bahwa jalan damai sudah tidak lagi efektif. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan yang lebih besar: Apakah kita harus memilih jalan anarkis untuk mendapatkan perhatian? Apakah membakar gedung DPRD atau melakukan tindakan kekerasan lainnya akan membuat penguasa mendengarkan? Ini adalah dilema moral yang tidak mudah dijawab.
Di satu sisi, tindakan anarkis bisa jadi merupakan satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa rakyat benar-benar marah dan tidak bisa lagi ditahan. Sejarah dunia mencatat bahwa banyak revolusi besar dimulai dengan tindakan-tindakan kekerasan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang sistematis. Namun, di sisi lain, kekerasan seringkali membawa dampak yang lebih buruk, bukan hanya bagi para pelaku, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Kekerasan bisa merusak tatanan sosial, menimbulkan trauma, dan menciptakan lingkaran setan kekerasan yang sulit diputus.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini menunjukkan betapa sulitnya perjuangan untuk keadilan. Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk menyalurkan aspirasi rakyat, justru sering kali menjadi alat bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan untuk mempertahankan status quo. Ketika hukum dan peraturan bisa diubah sesuka hati demi kepentingan segelintir elit, maka di mana letak keadilan bagi rakyat biasa? Apakah kita benar-benar hidup dalam demokrasi, atau hanya dalam ilusi demokrasi?
Di tengah kebuntuan ini, sangat penting bagi mahasiswa, aktivis dan seluruh Masyarakat untuk merenungkan kembali tujuan dari setiap perjuangan. Perjuangan bukan hanya soal menggulingkan penguasa atau merubah aturan. Perjuangan adalah soal memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu strategi yang lebih matang, yang tidak hanya bergantung pada aksi-aksi jalanan, tetapi juga pada pengorganisasian yang lebih baik, pendidikan politik yang lebih dalam, dan advokasi yang lebih kuat.
Mungkin sudah saatnya kita kembali ke akar perjuangan, melihat kembali sejarah gerakan mahasiswa di masa lalu, dan belajar dari keberhasilan dan kegagalan mereka. Kita harus ingat bahwa perubahan besar tidak terjadi dalam semalam, dan seringkali membutuhkan proses yang panjang dan penuh tantangan. Mahasiswa adalah agen perubahan, tetapi mereka tidak bisa bekerja sendirian. Dukungan dari seluruh masyarakat, serta kesadaran akan pentingnya solidaritas, adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang berarti.
Namun, jika semua usaha sudah dilakukan dan tetap tidak ada perubahan, maka mungkin kita perlu mempertimbangkan kembali apa arti perjuangan itu sendiri. Apakah kita siap untuk mengambil risiko yang lebih besar? Apakah kita siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan-tindakan yang lebih radikal? Ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh mereka yang benar-benar terlibat dalam perjuangan ini.
Di akhir, marilah kita semua merenungkan satu hal: Perjuangan adalah tentang memperjuangkan masa depan yang lebih baik, bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, setiap langkah yang kita ambil harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam siklus kekerasan yang bisa menghancurkan segalanya, termasuk nilai-nilai yang kita perjuangkan.