Mohon tunggu...
Apriadi Rama Putra
Apriadi Rama Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayangan Keadilan, Melawan Tuduhan Tak Berbukti dalam Balik Kekejaman Sistem

30 Maret 2024   12:12 Diperbarui: 30 Maret 2024   12:35 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam tekanan yang menyengat, Kang Ono terus berjuang mempertahankan diri. Namun, tuduhan itu semakin melekat padanya, menjadikan situasi semakin genting. Bahkan, di depan toko elektronik, ancaman fisik hampir saja terjadi, ketika seorang tukang becak menggeram dengan penuh kemarahan.

Kang Ono kembali dituduh menjual barang curian tanpa bukti yang jelas. Meskipun polisi dan orang-orang di sekitarnya semakin keras dalam tindakan mereka, Kang Ono tidak menyerah pada desakan untuk mengakui kesalahannya. Dia hanya terdiam, dengan hatinya yang gemetar dan pikirannya yang dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan.

Dibawa ke tempat lain, Kang Ono terus ditekan untuk mengaku melakukan sesuatu yang tak pernah dia lakukan. Namun, dia memegang teguh kebenarannya, meskipun harus menerima perlakuan kasar yang melukai hati dan tubuhnya.

Dalam perjalanan yang penuh tekanan itu, Kang Ono tidak diperlakukan sebagai manusia. Dia dianggap sebagai pelaku tanpa bukti yang cukup, tanpa hak untuk membela diri. Bahkan ketika dia ditelanjangi oleh kekerasan fisik dan mental, dia tetap bertahan dengan keyakinan bahwa dia tidak bersalah.

Setelah berbagai interogasi yang kasar, Kang Ono akhirnya dibawa ke kantor polisi setempat. Di sana, dia masih harus berurusan dengan tuduhan yang sama, namun kebenarannya tetap tak tergoyahkan. Bahkan, saksi yang mengenalnya pun tak mampu memberikan bukti yang cukup untuk membantunya.

Dalam sel yang gelap dan dingin, Kang Ono duduk dengan kesedihan yang mendalam, memikirkan bagaimana hidupnya bisa berubah dalam sekejap. Dia bertanya-tanya, mengapa ia harus menjadi korban dari keadilan yang tak berpihak?

Saat malam menjelang, Kang Ono keluar dari sel polisi dengan tubuh lemah dan hati hancur. Namun, di tengah kegelapan, masih ada harapan. Harapan untuk keadilan yang hakiki, yang bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem yang rusak.

Bahkan ketika dijemput oleh kepala desa dan anaknya, Kang Ono masih merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Perlakuan kasar dan sikap merendahkan tetap menghampirinya, meskipun beberapa orang berusaha membela dan memahaminya.

Pertanyaan-pertanyaan pun terus bergulir di benaknya. Apakah prosedur yang dilakukan oleh pihak kepolisian sudah sesuai? Apakah adil jika kasus ini dianggap selesai tanpa adanya bukti yang kuat? Dan apakah perlakuan kasar yang dia terima adalah akibat dari pandangannya yang meremehkan?

Ketika Kang Ono mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, ia merenungkan tentang adanya kemungkinan diskriminasi dalam perlakuan yang dia terima. Dia bertanya-tanya, apakah ia dihukum karena asal suku atau latar belakangnya? Dan apakah ini bisa terjadi pada siapapun?

Yang lebih menyedihkan lagi, dia mengetahui bahwa anaknya juga harus membayar mahal untuk menyelesaikan masalah ini. Baginya, itu adalah pukulan yang paling menyakitkan, mengingat kerugian besar yang telah dia tanggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun