Mohon tunggu...
Apriadi Rama Putra
Apriadi Rama Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Lahir di Banda Aceh, 23 April 1998.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Mengintip Politik Kompromi KIP dan Lemahnya Pers di Aceh Tenggara

4 Maret 2024   17:25 Diperbarui: 4 Maret 2024   17:25 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Apriadi Rama Putra

Praktisi Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara

 

Kabar panas yang mencuat di tengah masyarakat Aceh Tenggara hari ini adalah mengenai salah satu pejabat APH (Aparat Penegak Hukum) yang tersandung dalam proses pengrekrutan Komisi Independent Pemilihan (KIP) di Kabupaten Aceh Tenggara. Hal ini memunculkan kekhawatiran yang mendalam. Kabaranya bahwa dalam proses tersebut, terjadi deal politik dengan salah satu calon anggota KIP yang disyaratkan untuk memenangkan salah satu kandidat calon presiden. Dalihnya, menambahkan 5 suara dari setiap TPS di Kabupaten Aceh Tenggara. Apakah ini hanya sebatas humor politik yang tak berdasar atau memang benar-benar terjadi, menjadi pertanyaan yang menggelitik di kalangan masyarakat.

Jika benar adanya, maka hal ini menunjukkan cacat serius proses demokrasi yang seharusnya menjadi panggung keadilan dan kesetaraan akan menjadi sekadar sandiwara politik. Bagaimana mungkin kita percaya pada proses demokrasi yang seharusnya adil dan transparan, jika fakta ini adalah hasil dari manipulasi yang terstruktur dari pusat hingga daerah? Tindakan seperti ini merusak struktur demokrasi dan mengancam integritas pemilihan. ini menggambarkan bahwa proses tersebut sudah diatur dan dengan struktur yang terencana secara masif. Mengutip dari salah satu media, inakor.id (03/03/2024), yang menyoroti kasus dugaan gratifikasi terkait rekrutmen anggota KIP, memperlihatkan betapa seriusnya isu ini.

Langkah LPRI Aceh yang mendesak aparat penegak hukum setempat untuk menyelidiki kasus ini, serta ancaman akan membawa masalah ini ke tingkat nasional, menjadi sorotan utama. Namun, muncul pertanyaan yang krusial: bagaimana APH akan menyelidiki kasus ini ketika salah satu pihak yang diduga terlibat adalah pejabat APH itu sendiri? Apakah kehadiran 5 Komisioner KIP yang sudah dilantik akan terancam digantikan oleh 5 Komisioner lainnya yang berada di cadangan? Atau malah proses pengrekrutan ulang yang sama-sama dipenuhi oleh agenda politik tersembunyi?

Tetapi, keberadaan oknum-oknum yang korup dan menjalankan praktek-praktek yang tidak etis dalam proses pemilihan bukanlah hal yang baru. Jika memang terjadi, dapat dipastikan bahwa langkah-langkah untuk menutupi kejahatan tersebut akan dilakukan dengan cermat, bahkan sampai ke tingkat pusat. Mereka yang terlibat mungkin telah mengamankan jaringan yang kuat dan saling melindungi.

Maka, kemungkinan seperti itu kelihatannya sangat tipis. Mengapa demikian? Karena jika benar-benar terjadi seperti yang diperbincangkan, tidak mungkin bagi 5 Komisioner KIP yang telah dilantik untuk tinggal diam. Isu yang tengah mencuat, bahwa menjadi komisioner KIP membutuhkan biaya hingga miliaran rupiah untuk memperoleh kursi, menunjukkan bahwa praktik korupsi dan gratifikasi telah merajalela hingga ke lapisan terdalam lembaga penyelenggara pemilihan.

Ini bukan hanya masalah lokal. Hal ini melibatkan banyak oknum pejabat tinggi di Aceh Tenggara, dan bisa saja merambah hingga ke tingkat pusat. Sebuah indikasi bahwa uang dapat merajalela di mana pun dan dengan siapa pun. Namun, ada harapan. Ketika isu ini mencuat ke permukaan dan mendapatkan perhatian dari media, termasuk insan pers yang berani mengangkatnya, harapan muncul untuk memperjuangkan keadilan. Masyarakat berharap agar jika kasus ini terbukti, proses penegakan hukum akan dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa pandang bulu.

Insan pers memiliki peran penting dalam menjaga kemerdekaan pers dan mengawal tegaknya demokrasi. Keterlibatan mereka dalam mengungkap skandal seperti ini menjadi bukti bahwa masih ada yang peduli terhadap integritas demokrasi. Mereka yang kritis dan berani mengusik kekuasaan, adalah pilar penting dalam menjaga tegaknya prinsip-prinsip demokrasi.

Maka dari itu, masyarakat perlu memberikan dukungan penuh terhadap upaya pers dalam mengungkap kebenaran dan memerangi praktik korupsi di berbagai lapisan pemerintahan. Hindari merendahkan profesi jurnalis dengan sebutan yang merendahkan seperti LSM "Lembaga Suka Mengejut", karena hal ini justru menghambat mereka dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka adalah garda terdepan dalam memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai dengan aturan dan prinsip yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun