Mohon tunggu...
Apriyanto
Apriyanto Mohon Tunggu... -

Saat ini saya bekerja di Yayasan Buddha Tzu Chi sebagai jurnalis. status : menikah, 1 anak Agama : Buddha Pendidikan terakhir: S1 Psikologi Universitas Persada Indonesia Y.A.I

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tangguh Mengatasi Krisis Air

27 September 2011   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:35 1739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lama telah diketahui bahwa air merupakan sumber kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Bahkan bagi para petani air tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sebagai sumber kemakmuran.

Namun di selatan Yogyakarta, tepatnya di daerah Gunung Kidul krisis air merupakan momok yang begitu menakutkan. Wilayah Gunung Kidul yang dipenuhi oleh bebatuan kars membuat daerah itu selalu dilanda kesulitan air bersih dan perekonomian.

Sejak beberapa tahun yang lalu pergantian musim di Indonesia mengalami ketidak teraturan yang dipengaruhi oleh kerusakan alam secara global. Akhir tahun yang semestinya menjadi awal musim penghujan justru menjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Bagi petani tadah hujan, ketidakteraturan cuaca bagaikan pertaruhan di meja judi. Banyak cara untuk menang atau kalah dipertaruhan ini. Bila di musim penghujan, hujan tak kunjung turun, maka bibit padi yang ditanam akan mati kekeringan. Sebaliknya, bila hujan tiba-tiba turun tiada henti di musim kemarau, tembakau-tembakau yang mereka tanam juga akan mati terendam air. Sebuah dilema yang mengharuskan para petani Gunung Kidul bekerja lebih keras melawan nasibnya sebagai petani tadah hujan.

Selain itu, serangan hama tikus, ulat, wereng, sampai angin lesus (angin topan setempat) menjadi pertanda bahwa alam telah memberikan keterbatasan dan membelit masyarakat Gunung Kidul hingga sekarang. Kondisi-kondisi inilah yang sering terjadi di Desa Giriasih, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Desa yang terdiri dari 580 kepala keluarga ini terletak di pegunungan kars yang tandus. Kondisi geografisnya yang berbukit-bukit dan berbatu membuat masyarakat di desa ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan cadangan air bersih dan kemakmuran.

Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Giriasih dalam melawan keterbatasan ini adalah dengan membangun terasering di lahan-lahan pertanian, membuat danau-danau buatan, dan bak penampung hujan. Sistem terasering ini dilakukan dengan mengumpulkan batu-batu karang yang kemudian disusun rapi sejajar dengan kontur tanah. Harapannya adalah tanah yang terdapat di permukaan batuan kars pada waktu musim hujan tidak tergerus oleh aliran air, akan tetapi tanah tersebut dapat tertahan oleh bangunan-bangunan terasering.

Pada tahun 1985, secaraswadaya masyarakat Giriasih melibatkan diri dalam pembuatan Danau Pampon nan penuh harapan untuk menampung air di saat musim penghujan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan danau-danau berikutnya seperti Danau Dukuh, Bembem, dan Telaga Karang.Namun usaha yang tidak diimbangi dengan pengetahuan konservasi lahan kritis dan teknik biopori membuat danau-danau itu kerapkali mengering di musim kemarau. Dan satu-satunya cadangan air yang bisa digunakan adalah sumber mata air yang berada di dasar Gua Pego di tepian hutan Dusun Ngoro-oro.

Danau-danau yang dibuat secara swadaya oleh measyarakat dugunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan menyiram tanaman.

Di Giriasih, air tidak hanya sebagai penunjang kehidupan, tetapi lebih dari itu, air sudah dianggap sebagai sumber kemakmuran. Di ranah yang lebih spiritual air dianggap sebagai benda yang disucikan dan telah dipercaya oleh ribuan warga desa sebagai media komunikasi antara alam nyata dengan alam mistis.

Pada bulan-bulan tertentu dan seusai panen, warga biasa mengadakan syukuran di Gua Sigolo-golo yang bermata air keramat sebagai tanda terima kasih atas berkah selama musim tanam. Selain itu berlimpahnya air di musim penghujan menandakan waduk-waduk yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat akan terisi penuh dan kemungkinan terbesarnya adalah panen akan berhasil. “Kalau hujan ya, kami untung, tapi kalau nggak hujan kami nggak punya apa-apa,” kata Sis Rersodongso, salah seorang petani berusia 70 tahun.

Berlimpahnya air hujan juga menandakan bahwa warga Giriasih tidak perlu lagi bersusah payah mengambil air di Gua Pego, sebab air bersih telah tersedia di bak-bak penampungan. Namun bila hujan tak kunjung datang dan kemarau mengerontangkan waduk-waduk serta bak penampungan, air kembali menjadi sesuatu yang amat berharga di tempat ini laksana sebuah permata.

Berbeda dengan kota-kota besar yang telah dilengkapi dengan jaringan infrastruktur memadai. Di kota besar, orang hanya cukup membuka kran dan air pun langsung mengucur. Di Giriasih untuk mendapatkan sejeriken air bersih warga harus membayarnya dengan kerja keras. Dan itu telah menjadi tugas bagi sebagian wanita di desa ini. Satu di antaranya adalah Pajiem. Perempuan berusia lanjut bertubuh gemuk ini rutin mengambil air sebanyak beberapa kali sehari di Gua Pego yang jaraknya 1 kilo meter dari tempat tinggalnya. Namun bila kondisi tubuhnya sedang tidak sehat, tugas ini digantikan oleh suaminya Sis Rersodongso.

Pajiem yang sepanjang hidupnya bekerja sebagai petani dan pengumpul kayu bakar bersama suaminya tidak pernah mengeluhkan nasib dan masa depannya. Satu-satunya harapan yang ia miliki adalah masuknya jaringan pipa air bersih hingga ke rumahnya.

Melihat pentingnya prasarana penyaluran air bersih maka Departemen Pekerjaan Umum (DPU) lantas mengusahakan pemasangan pompa dan pipa dari Gua Pego menuju rumah-rumah warga. Kendati demikian usaha ini tetap tidak mampu menjangkau dan mencukupi seluruh kepala keluarga yang berada di Desa Giriasih. Pajiem masih saja memikul berjeriken-jeriken air dari Gua Pego menuju rumahnya– krisis air bersih dan ekonomi tetap menjadi permasalahan di desa ini.

Perubahan Iklim Mengeringkan Kolam Kecil Rersodongso

Rumah Sis Rersodongso berada di bawah jalan menanjak menuju arah bukit. Rumah sederhana bergaya Jawa Tengah itu, terlindung oleh rindangan beberapa pohon besar. Asri dengan teras yang berlumut hijau dan terpencil sebagaimana rumah-rumah di desa. Menjelang pukul 7 pagi, saya sudah tiba di muka halaman rumahnya. Melihat teras rumah yang begitu hening, maka saya putuskan untuk memasuki rumahnya melalui pintu belakang. Setiba di sana, saya terkesiap melihat Rersodongso sedang asyik bercengkerama dan tertawa terpingkal-pingkal bersama seorang laki-laki dan tiga orang perempuan yang juga seusianya – lanjut usia. Suasananya mirip seperti reuni di komunitas pertemanan, saling berkisah dan bersenda gurau. Hanya saja di komunitas ini anggotanya para petani yang berusia lanjut.

Kondisi geografis Gunung Kidul yang berbatu dan kekurangan air, membuat para petani di desa ini terus berkutat dengan kemiskinan dan kekalutan. Keadaan inilah yangmendorong banyak di antara kaum mudanya mencari pekerjaan di kota sebagai buruh, seniman bangunan atau pedagang makanan sehingga tinggal menyisakan orang-orang tua di desa.

Saat mengetahui kehadiran saya, Rersodongso segera mengenakan kemeja batik lusuh berwarna hijau. Tubuhnya yang kurus dan legam bagaikan kulit kayu, menjadi gambaran kerasnya perjuangan hidup yang ia hadapi sebagai petani tadah hujan. Setelah berpamitan kepada istrinya Pajiem, Rersodongso langsung mengajak saya menuju sawahnya yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat tinggalnya.

Sawah Rersodongso luasnya sekitar 1 hektar, namun tidak semua lahannya bisa ditanami dengan baik. Sebagiannya lagi berada di area perbukitan kars sehingga hanya memungkinkan untuk ditanami jagung atau pohon produksi. Sambil berjalan melintasi gundukan batu cadas, Rersodongso menerangkan bahwa masyarakat Giriasih masih mempertahankan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan itu tergambar dari pemanfaatan hasil panen. Padi dan jagung kebanyakan hanya digunakan untuk makan sendiri. Bila lebih, masyarakat Giriasih biasa menyimpannya di lumbung dan dijual bila ada keperluan keluarga, seperti membeli pakaian di hari raya atau mengadakan pesta keluarga. “Di sini untuk makan tidak beli. Semua hasil panen baik jagung atau padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari,” katanya.

Setelah sampai di area pesawahan, Rersodongso menunjukkan sebuah kolam kecil bermata air, di bawah pohon beringin di tepian sawah. Bagi Rersodongso kolam yang disebut Banyu Leng ini adalah berkah di tengah bukit berkarang. Alasannya saat para petani yang lain bersusah payah memikul air dari waduk untuk menyirami tanamannya, Rersodongso justru merasa ringan karena adanya Banyu Leng di tepian sawahnya. Namun sayang berkah ini tidak bisa ia nikmati sepanjang usianya. Perubahan musim yang tidak menentu membuat Banyu Leng kerap kali mengering karena musim kemarau yang berkepanjangan. “Meskipun terlihat kecil, Banyu Leng bisa digunakan selama musim panas. Tetapi ya itu. Saat puncak kemarau Banyu Leng bisa asat (kering),” jelas Rersodongso.

Sejak dahulu krisis air memang telah menjadi permasalahan serius di Kabupaten Gunung Kidul. Namun perubahan iklim yang ekstrem akibat pemanasan global, membuat wilayah ini semakin terperosok dalam bencana kekeringan. Satu-satunya harapan, adalah adanya bantuan dari pihak luar untuk membangun jaringan pipa air bersih. Dan pemodalan untuk menanam puluhan ribu pohon sebagai alternatif usaha selain menjadi petani tadah hujan.

Membuka Harapan Baru

Mendekati pukul 9 pagi, cahaya matahari telah meninggi dengan sinarnya yang terasa menyengat di kulit. Rersodongso mengajak saya untuk kembali ke rumahnya. Menurutnya hari itu, Minggu 31 Januari 2010 adalah hari yang istimewa bagi warga Giriasih. Pasalnya di hari itu akan diadakan pesta meriah di Balai Desa Giriasih. Yayasan Tzu Chi melalui Kantor Penghubung Yogyakarta akan menyerahkan bantuan pemasangan pipa jaringan air bersih sepanjang 3.151 meter dan pohon Sengon sebanyak 15.000 batang. Karena itu, Rersodongso yang sudah lama mengharapkan program ini, merasa harus hadir bersama sang istri diacara itu.

Menjelang tengah hari, kantor kepala desa semakin ramai dipadati warga dan beberapa tamu undangan. Alunan merdu gending Jawa yang dilantunkan oleh para sinden berusia lanjut semakin memperkental suasana formal di hari itu. Dan ketika gending itu berhenti mengalun, dentuman genderang kulit mulai bertabuhan di halaman muka. Tiba-tiba sebuah replika singa yang dikenal dengan sebutan Barongsai muncul di tengah-tengah kerumunan warga. Barongsai yang biasa tampil di perkotaan untuk mengisi acara-acara besar kini muncul di Giriasih sebagai simbol harapan kemakmuran bagi warga desa.

Dengan terpasangnya jaringan air bersih, Tzu Chi berharap kelak warga tidak lagi bersusah payah untuk mengambil air ke Gua Pego. Karena itu setelah acara seremoni penyerahan bantuan selesai, keesokan harinya beberapa warga langsung berbondong-bondong melibatkan diri dalam pemasangan pipa dari terminal-terminal air yang sudah ada menuju rumah-rumah penduduk. Sis Rersodongso juga ikut hadir dalam kegiatan itu. Ia terlihat begitu bersemangat hingga tak henti-hentinya memancarkan senyum di wajahnya. Selama puluhan tahun bersusah payah mengangkut air akhirnya semua itu impas dengan terpasangnya jaringan air bersih.

Selain jaringan air bersih, masyarakat Giriasih juga digembirakan dengan pemberian bibit pohon sengon sebanyak 15.000 batang dan setiap kepala keluarga berhak mendapatkan 25 batang bibit Sengon. Bantuan yang diberikan oleh Tzu Chi kepada masyarakat Giriasi bukanlah semata-mata sebuah kebetulan belaka. Tetapi di balik itu tersimpan makna perjuangan dan keuletan masyarakatnya dalam mengatasi keterbatasan alam hingga jodoh mempertemukannya dengan Tzu Chi.

Semua jodoh ini berawal dari kunjungan tim jurnalis DAAI TV pada pertengahan tahun 2009 saat meliput kehidupan warga Desa Giriasih. Dari perjumpaan itulah, akhirnya Pardiyana, selaku Lurah Giriasih mengenal Tzu Chi sebagai yayasan kemanusiaan lintas suku, agama, dan ras. Maka ia pun memberanikan diri melayangkan surat permohonan bantuan pemasangan pipa jaringan air bersih kepada Tzu Chi di Jakarta. Dari surat yang diterima itu, Tzu Chi lantas menanggapinya dengan melakukan survei ke Desa Giriasih pada akhir tahun 2009.

Setelah dirapatkan, akhirnya Tzu Chi bersedia membangun jaringan air bersih untuk dua dusun yang belum terjangkau, yaitu Klepu dan Trasih. Di samping itu kehidupan masyarakat Giriasih sebagai petani tadah hujan yang minus mendorong Frananto Hidayat, relawan Tzu Chi Yogyakarta berinisiatif memberikan bibit pohon sengon yang dianggap memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat. Ide sederhananya adalahbila dalam 5 tahun setiap pohon bisa dijual sedikitnya seharga Rp 1 juta per batang, maka setiap kepala keluarga akan mempunyai investasi sebesar Rp 25 juta dari hasil panen pohon sengon.

Secara hipotesis setidaknya, program ini akan mampu memakmurkan masyarakat Giriasih yang hidup bergantung dari bercocok tanam dan menjual kayu. "Harapannya semoga warga akan lebih sejahtera sehingga tujuan Tzu Chi mensejahterahkan masyarakat bisa tercapai," harap Frananto. Oleh sebab itu, 1 bulan berikutnya Frananto kembali memberikan bibit pohon sengon sebanyak 65.000 batang untuk 4 desa lainnya: Giri Purwo, Giri Cahyo, Giri Jati, dan Giri Tirto.

Sepuluh bulan berikutnya 20 November 2010, ketika redaksi Majalah Dunia Tzu Chi dan beberapa relawan berkunjung ke Giriasih, pohon-pohon sengon telah tumbuh subur di lereng-lereng bukit. Batang-batangnya telah menjulang setinggi 3 meter dengan ranting yang salling bertautan. Masyarakat pun tidak lagi direpotkan untuk mengambil air di Gua Pego, karena cukup membuka kran air pun mengucur deras. “Terakhir kita berkunjung ke Giriasih, bantuan pipa air bersih itu terlihat sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sedangkan pohon-pohonnya tinggal menunggu besar untuk di panen,” ungkap Frananto Hidayat.

Kini pipa-pipa itu telah menjadi harapan baru untuk mencukupi penyediaan air minum warga di Giriasih. Meski tidak semua warga memiliki kran air – atas dasar keterbatasan biaya, namun setidaknya para warga telah diuntungkan dengan adanya terminal-terminal air di beberapa titik desa yang letaknya tidak terlalu jauh dari dari rumah warga. Melalui terminal air inilah warga yang sebelumnya harus berjalan kaki mengambil air di Gua Pegoh, sekarang hanya cukup berjalan beberapa langkah dari tempat tinggalnya. “Sekarang kalau mengambil air cukup ke terminal saja, tidak jauh-jauh lagi,” kata salah satu nenek yang juga warga di desa itu.

Tertatih-tatih atau tergopoh-gopoh menimba air di Gua Pego, telah menjadi romantisme masa lalu untuk mengingat kegigihan penduduk Giriasih. Krisis air bersih kini sudah teratasi. Ketabahan mereka telah mengundang simpati banyak orang hingga jodoh mempertemukannya dengan Tzu Chi. Sekarang setelah semua bantuan itu diterima penduduk Giriasih terus giat memupuk benih yang mereka miliki untuk panen di masa mendatang dan merengkuh secercah harapan bersama.

Tamat

Foto: Anand Yahya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun