Kelak, kudengar suara. Gemuruh lumbung langit yang menyimpan sejuta cerita renjana. Adalah karsa, semara, dan segala yang kau bilang maha nirmala. Mendekam dalam sukma, kelopak-kelopak aksara pancawarna. Kau tunggu rama-rama sebarkan nektar bagi indera yang haus asa.
Pada luruh, kau menjuntai hias rima. Menyusunnya dengan hati, berhati-hati. Agar koma tak perlu ada. Tak perlu jeda, untuk lukisan rasa yang berputar bak bianglala dalam atma. Kasih, di detik terakhir swastamita, tercipta rupa-rupa pesona asmaraloka. Silau kau dibuatnya.
Bukan jingga, kali ini kau tatap lazuardi penuh tanda tanya. Persimpangan mana lagi kau harus bertekuk lutut dan menerka. Mengurai takwil takdir yang sudah tertulis sejak purba. Tanpa aba-aba, gegas kau ambil arah. Memunggungi ia yang berbeda ranah.
Dersik angin pada dedaunan yang mengalum dibabat nelangsa. Kau hirup dalam-dalam silir hingga rongga dada. Diam-diam menghabisi rasa yang tak boleh ada.
Engkau tiba. Di akhir perjalanan sebuah dosa.
- Jakarta, 28 Juni 2020 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H