Masai sebuah pinta mengalir dari ranum bibirmu. Tentang pendar bintang, saat kau menerka arti mimpi di celah malam. Mengharap kerlipnya kembali menghiasi lembar-lembar impian. Yang jarang kau sentuh, sesaat setelah pedapa tumbuh di pekarangan nan laksmi...
Bulir jatuh, kau masih menyapih ayat malam yang gaduh.
Di jalur lengang kenang, kau tabur kelopak mawar. Tak perlu selamat tinggal. Cerita sudah lama usang. Lembap basah tanah menusuk tajam indera, satu per satu madah mulai sibuk memakamkan daksa. Tapi kau tahu, jauh sebelum ini, mereka sudah sekarat. Dikerat erat, hingga tercabik tanpa sempat mengumpat.
Dusta kian menjamah, Ar... Selepas gerimis, kau berpura-pura tabah. Senyawa rindu kau susun sempurna di pura aksara. Hidupkan sesalku, matikan atmamu.
Sebermula perjalanan kita, nasib menjelma dalam rupa yang lain. Bukan engkau untukku, Ar.. Bukan pula aku, untukmu...Â
- Jakarta, 17 Juni 2020 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H