Masih kuingat sepasang netra di bawah lengkungan pegam. Binar-binar tak pernah temaram. Cerlang terang, seolah baskara bermukim sepanjang warsa tanpa padam. Arkian kau gemerlapkan malam-malam penuh gemintang. Yang dulu singgah pun selalu hadirkan gundah... Hei, malam ini aku mengundangmu datang. Kembali duduk di bianglala sunyi, berputar ikuti mimpi yang lalu-lalang pada rua bercabang. Mengetuk kamar pikir yang kuncinya 'tlah kubuang dalam diam..... Malam ini aku ingin mengulang. Dengan segala yang sudah kita buang di tubir kenangan tak berdasar. Malam ini hanya kita dan hamparan bumantara nan legam...
***
Letup rutup kecil terdengar di tengah-tengah permainan. Antara seorang Puan dan Tuan, Sang Begawan. Saling menduga apa yang tersembunyi di tiap rumpang. Apakah sebuah sungkawa atau dikara? Mereka buramkan netra. Menolak loka agar tak kecewa. Terus bermain meski tabir takdir tak tersingkap, segala lelungit masih mengumpat. Sementara Puan dan Sang  Begawan silih tergelak, perlahan semara tualang pada masing-masing atma. Ah, janabijana sang renjana...
***
Setelah itu, pada malam-malam tak berkesudahan, mereka bercermin satu sama lain. Silih menelanjangi rumpang imaji masing-masing. Bergelinjang, melahirkan anak-anak aksara lepas menuju tawang. Menuju moksa. "Sebuah nirmala," katamu. Malam itu, Puan berkalam rincu sedang Tuan, Sang Begawan, menyesap nektar semanis madu. Meninggalkan jejak pada tiap lekuk, Puan meraung tak tentu... Di ruang samsara, dua fontam terbentuk menjadi satu.
Wahai,.....
Sudikah Tuan, Sang Begawan, dengar dan baca seloka?
Seorang narpati yang kehilangan takhta, tatkala Sang Ratu tiada.....
- Bandung, 3 Agustus 2019 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H