Carnation merah masih segar. Tepat di beranda tempat kita pernah berkelakar. Siapa yang akan bertahan menghadapi debar-debar tak bertuan, atau binar-binar cerlang kembang api di dada? aku atau kau? Atau bahkan takdir pun memilih pergi, melewati selaksa yang tak sudi mendampingi.
Kau tahu, Tuan? Debar-debar tak bertuan 'tlah kembali pada sang puan. Saat Tuan sajikan setatap kedamaian seiring tatap silih bertandang. Yang dulu telah sembuh, kini bersiap kembali menganga. Sayang, kali ini Puan tak sigap. Ia tertumus pada bentala. Coba padamkan letup rutup amerta di dada.
***
Tuan, tentang kita masih menjadi sesuatu yang belum berakhir di jemala. Sesuatu yang masih ingin aku wujudkan sebagai sebuah urna nirmala, yang amerta, yang tak akan pernah padam. Walau kau dan aku tak mengerti, mengapa kita terbakar oleh sesuatu yang tidak kita paham. Hingga sampai pada sebuah masa, di sebuah ruang sunyi dan gulita, Tuan, aksara merajut dirinya sendiri sebagai sebuah ode. Untuk seonggok tubuh yang mendamba kebebasan. Untuk sepotong hati yang ingin lapang. Dari segala cita dan sungkawa, dari santau buana. Semoga menyembuhkan seluruh luka. Semoga meluruhkan segala duka.
***
Di kedalaman matamu, Tuan, cinta hilang bentuk. Bahkan nyaris remuk. Hingga takdir hanya dianggap sebagai nubuat. Dan aku tak pernah selesai, sebagai prasangka yang tak dianggap.
- Jakarta, 3 Maret 2019 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H