Rasa tanpa rumah.
Hadir dari gelak tawa yang membuncah.
Diperhatikan banyak pasang mata bungah.
Ada satu yang berbinar. Debar kasat mata gegas sembunyi di balik kata kata.
Seperti apa rumah?
Sudahkah lelah?
Mungkin yang tak bernama memang tak seharusnya ada.
Mungkin yang ada seharusnya tak diberi makna.
Mungkin ia sebaiknya tetap tersesat di rekahan jingga aksara.
***
Agar yang aku kenang hanya suara.
Semasa kau tertawa.
Bergemuruh riuh. Debar dalam dada.
Letupan ini biarkan saja mendegup pasrah.
Hingga rebah pada swastamita yang pertama.
***
Cukup sampai disitu.
Semasa kau tertawa.
Semasa kau tertawa.....
- Jakarta, 4 Desember 2018 -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H