Mohon tunggu...
Mina Apratima Nour
Mina Apratima Nour Mohon Tunggu... Jurnalis - :: Pluviophile & Petrichor ::

IG @fragmen.rasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tuan, Rindu-kah pada Hujan?

7 September 2018   18:15 Diperbarui: 7 September 2018   18:24 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuan, rindu kah pada hujan?

Yang harumnya buatmu mengenang masa yang tlah hilang. Basahnya bawa angan berjalan jauh menapak jalan tak bertuan. Yang bertahun sudah kau hapus dalam ingatan. Sayang, malam itu tidak hujan. Hening langit segaris dengan bulan yang mengintip. Hanya ramai lalu lalang kendaraan. Bising knalpot khas perkotaan, -yang kau benci, tentu saja-. Isyarat tersirat semesta. Sebelum kau melangkah tanpa sepatah kata. Bertalu-talu tanya dalam diri. Ah, percuma! Semua menjadi basi ketika kau pergi.

--

Ingatanku melayang ke sudut jalan itu. Kedai kopi tempat biasa kita bertemu. Sekedar bertukar sapa. Basa basi yang seumpama. Padahal kita tahu. Bukan obrolan yang kita mau. Segalamu adalah inginku. Sedang seluruhku adalah pintamu. Tak perlu hingar bingar kata cinta. Cukup matamu yang bersuara. Dan aku berlindung di sapuan teduhnya. Sejak itu kita tercipta. Namun itu masa lalu.....

--

Entah kapan selesai, kau hilang tak berjejak. Aku berusaha lupakan dengan bijak. Yang dulu pernah bertubi-tubi menembakku dengan kecup aksara, kini bisu bagai sejuta rahasia. Ruang yang tercipta di antara hujan dan malam, tiba-tiba kau amini dengan lambaian. Sedang aku sibuk menyogok Tuhan dengan semangkuk doa..... Tetap tak mampu ku raih meski Tuhan sudah kurayu dengan gigih. Alih-alih berbalas, akhirnya cinta kandas.

--

Sebatang rokok hampir habis. Kulihat jam, tengah malam lewat sedikit. Secangkir kopi ku sudah tumpah penuhi kertas berisi kata-kata puitis. Coba membunuhmu dengan tulisan teramat manis. Sayangnya, namamu tetap kapital dalam tiap ucap penuh harap saat aku masih berusaha menggelitik Tuhan. Memaksa agar ku bisa rasakan bahagia sebelum tanda titik. Semoga Tuhan tidak pelit. Tanpa perdebatan sengit, kenyataan harus ditelan pahit. Aku kalah telak! Tuhan sedang tak berpihak.

.

.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun