Mohon tunggu...
a. pram
a. pram Mohon Tunggu... -

uniq, punya idealisme, bersikap dan ga bodoh-bodoh amat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sayap-sayap yang Tak dapat Terbang

14 Mei 2011   07:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:42 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada hal yang cukup memiriskan hati dalam perjalanan lintas  Kalimantan kali ini. Namun bukan masalah kondisi jalan yang rusak berat, kesenjangan pembangunan, minimnya berbagai infrastruktur, ataupun tingkat kesejahteraan social masyarakat pedalaman yang memprihatinkan. karena hal-hal tersebut memang sudah merupakan suatu hal yang biasa. Disamping itu, hal-hal tersebut bahkan sejak dulu telah dibahas dibanyak tulisan-tulisan dan menjadi berita di banyak media massa, artikel sampai buku-buku sosial. Tetapi toh kondisinya tetap sama, tidak banyak berubah. Sungguh menyesakkan hati, melihat mereka terkurung dalam ruang-ruang tersebut. Tanpa henti mereka meloncat dan melompat di dalam suatu ruangan berdinding jeruji dari bambu dan kawat yang biasa disebut sangkar. Seolah-olah hal tersebut dapat melepaskan mereka kembali keangkasa. Atau memang hanya hal itu saja yang dapat mereka perbuat sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap keadaan. Ratusan burung liar dijual bebas ditempat itu. Disebuah bangunan kayu yang dipenuhi sangkar-sangkar berisi burung. Makhluk bersayap yang biasanya terbang diangkasa dan bermain dirindangnya dahan-dahan pepohonan. Namun kini dipaksa hidup pada ruang sempit terbatas. Bahkan untuk burung-burung dengan harga yang murah, mereka harus menerima nasib harus berbagi sangkar sempit itu dengan banyak teman sejenisnya. Lalu bagaimana caranya mereka bisa sampai ‘begitu’ ? Banyak caranya, tapi yang pasti “demand” dari para “Pe-hobby-s burung”  sebagai pendorong utamanya timbul bisnis ini.. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Ternyata penderitaan panjang penjajah Belanda selama 350 tahun, penderitaan pedih penjajahan Jepang selama 3.5 tahun, bahkan masa penjajahan orde baru selama 32 tahun, (dan mungkin juga masih ada yang terjajah dijaman 'yang katanya' reformasi ini) tidak serta merta membuat kita mengerti arti pentingnya sebuah ‘KEMERDEKAAN’. Hanya untuk kesenangan pribadi kita korbankan kebahagian makhluk lain. Dengan mengatasnamakan hobby kita melegalisasi 'penjajahan'. Apa bedanya seorang penjajah manusia dengan penjajah makhluk Tuhan lainnya? --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Aku hanya bisa berandai-andai pada saat itu. Andai aku pejabat tinggi, pasti akan aku tegakkan peraturan tentang perlindungan satwa. Andai aku pengusaha sukses, maka akan aku beli seluruh burung-burung tersebut kemudian melepaskannya --- tapi ini tidak akan menyelesaikan masalah karena besok dia pasti akan membeli lagi burung-burung tangkapan para pemburu. Andai aku pencabut maut, aku akan ambil nyawa para penjual dan peminat burung didunia ini. Andai aku, bla… bla… bla….. Tapi aku saat ini hanyalah manusia dan masyarakat biasa. Saat ini hanya bisa berlalu dan mendoakan yang terbaik untuk mereka semua. Sambil tancap gas, kemudian mobil kupacu berlalu melewati tempat itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun