Mohon tunggu...
Sutrisno
Sutrisno Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker Public Health

Entrepreneur media promkes dan tata graha akreditasi, sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Tentang Cerita Panjang Perjalanan Saya Belajar Menulis

14 Januari 2025   23:00 Diperbarui: 14 Januari 2025   23:00 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat pada akhir tahun 2006, suatu petang di hari keakraban mahasiswa Angkatan 8 Profesi Apoteker UII. Ketika ditanya tentang cita-cita mau jadi apa, hanya satu manusia unik yang menjawab ingin menjadi penulis. Itu saya!. Sebuah jawaban tak lazim yang normalnya tentu seseorang mengikuti pendidikan apoteker ya tentu ingin menjadi apoteker, entah itu di apotek, di RS, jadi dosen, atau jadi entrepreneur farmasi dan cita-cita yang selayaknya sefrekwensi dengan dunia kefarmasian.

Saya memang waktu itu sudah cukup aktif sebagai penulis amatir pemula, (bahkan sampai sekarang masih amatir). Saya berkali-kali menulis untuk koran lokal Merapi, anak dari Koran Kedaulatan Rakyat, salah satu media cetak yang legendaris di Jogja dan masih eksis sampai sekarang. Hampir semua artikel saya ditayangkan. Saya juga pernah beberapa kali menulis di Kedaulatan Rakyat, juga sebagian kecil diantaranya bisa lolos dan ditayangkan. Di Kompas, saya juga sudah berkali-kali mengirim naskah, semuanya tidak ada yang layak. Tidak ada yang ditayangkan, sampai saya jera dan merasa minder.

Di tahun sebelum saya masuk kuliah di UII, saya sebenarnya juga sudah mencoba peruntungan dengan menulis sebuah buku. Temanya tidak jauh-jauh dari profesi saya. Yakni tentang obat bahan alam atau mungkin lebih dikenal dengan obat tradisional. Saking pede-nya saya. Naskah langsung saya kirim ke penerbit Kanisius. Waktu itu entah sudah ada atau belum, yang jelas penerbit indie tidak semarak di jaman sekarang. Di jaman itu saya tahu-nya penerbit ya penerbit mayor. Dimana naskah kita jika diterima akan diterbitkan, dan penulis mendapat royalti, (belum berpikir popularitas). Beberapa waktu setelah lamanya menunggu jawaban dari Kanisius, saya dipertemukan oleh sahabat saya dengan seorang guru di Seminari Mertoyudan Magelang. Saya sempat sowan ke rumahnya. Meskipun saya lupa namanya, saya tahu waktu itu beliau sangat baik, dan beliau sangat expert dalam bidang penulisan di media massa entah itu di KR (Kedaulatan Rakyat), di Kompas bahkan beliau juga kenal dengan beberapa editor yang menerima naskah yang saya kirimkan ke Penerbit Kanisius. Pada titik ini naskah saya beliau terima dan beliau janjikan untuk bantu revisi dan koreksi sehingga layak untuk diterbitkan.

Sampai pada suatu waktu yang tidak panjang, aktifitas menulis saya harus berhenti karena dua hal. Yang pertama, karena saya dituntut fokus untuk segera menyelesaikan skripsi saya, dan yang kedua, saya diterima menjadi ASN di salah satu kabupaten di Yogyakarta. Kok bisa, masih mengerjakan sekripsi kok bisa diterima ASN? Ya tentu saja bisa karena saya menggunakan jenjang ijazah sebelumnya yang kebetulan formasinya ada. Pada periode ini aktivitas menulis saya sangat minimal. Saya harus menyelesaikan skripsi berkejaran dengan turunnya SK ASN. Dan alhamdulillah, benar saja, saya diterima ASN sekitar bulan Januari, Bulan April mulai penempatan dan Alhamdulillah Ijazah S1 saya keluar bulan Mei 2005. Pada beberapa tahun kemudian, situasi ini justru menyulitkan karir saya.

Di waktu saya mulai rehat menulis, kenyataan pahit pun datang saat. Naskah saya di Penerbit Kanisius dikembalikan dan dengan demikian tidak ada lagi harapan untuk saya menerbitkan buku. Saat itu berbarengan dengan saya melanjutkan studi di Profesi Apoteker UII. Saya masih sesekali menulis di KR dan Merapi waktu itu, sampai saya lulus menjadi apoteker.

Dalam perjalanan saya menulis, dari beberapa quotes yang pernah saya temukan, ternyata saya belum pernah menemukan quotes yang menyatakan menulislah, maka kamu akan menjadi kaya. Dan seiring dengan waktu, tuntutan kebutuhan dapur setelah saya menikah di tahun 2010, aktivitas menulis pun meredup perlahan. Meskipun saya masih suka, tapi sepertinya ide menulis itu tidak akan pernah muncul pada situasi-situasi dimana ada tekanan kebutuhan, waktu dan tenaga yang habis untuk bekerja dan berbagai tuntutan yang mengharuskan saya survive.

Sekitar tahun 2015, saya seperti mendapatkan track untuk menulis ketika waktu itu pemerintah menggulirkan program akreditasi untuk puskesmas. Qodarullah pada waktu itu saya lebih termotivasi untuk belajar, dan saya kembali mendapat saluran menulis dengan membuat blog pribadi, sampai akhirnya saya merintis website yang saya isi dengan tulisan-tulisan saya seputar ilmu kefarmasian dan kesehatan. Dari situ saya bisa kembali produktif, saya mengembangkan kegemaran saya menulis di Kompasiana, dan cukup produktif. Saya menulis beberapa artikel yang beberapa diantaranya bisa headline dengan jumlah pembaca yang cukup membuat semangat menulis saya meningkat.

Sampai pada tahun 2019 saya memutuskan untuk resign dari ASN oleh suatu sebab yang terlalu panjang untuk dijelaskan. Pada waktu itu saya masih ingat ada seorang pejabat yang menyebut masalah ada rumput yang lebih hijau. Suatu pernyataan yang menurut saya amat dangkal dari seorang pejabat yang tidak semestinya dilontarkan. Yang jelas ada ketidakrelaan ketika saya dipaksa untuk men-downgrade kompetensi saya dari S1+Apoteker menuju D3 RPL. Saya yakin teman-teman yang nakes bisa cukup memahami dengan hal tersebut.

Pada tahun yang sama saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke S2 Kesehatan Masyarakat. Pikir saya waktu itu, "ngapain sekolah D3, mending saya sekolah S2. Nggak jadi ASN ya nggak patek-en". Tentu banyak pihak yang menyayangkan, menganggap konyol, bodoh, atas keputusan saya. Bahkan saya langsung disidang oleh bapak mertua saya sampai beliau sempat masuk RS salah satunya ya karena anak menantunya yang kurang ajar ini.

Dalam perjalanannya, saya merasakan vibes yang berbeda saat sekolah S2. Amat banyak  hal yang saya dapatkan yang tidak saya temukan sebelumnya. Meskipun saya juga masih tetap merasa aneh dengan rentetan hal yang terjadi pada saya. Bayangkan, saya mungkin satu-satunya kategori "orang tua" yang sekolah S2 dalam kondisi yang tidak jelas, dosen bukan, pejabat bukan, pengangguran iya pastinya. Di warmindo langganan saya di dekat kampus, A'a warmindonya selalu memanggil saya dengan sebutan pak Tua. Bahkan saya masih ingat ada saudara yang mengatakan bahwa sekolah ini adalah keputusan terburuk saya yang pernah saya buat. Tidak mengapa-lah. Yang penting saya tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Toh saya juga tidak pernah merepotkan mereka dalam berbagai problematika hidup saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun