Mohon tunggu...
Apni Jaya Putra
Apni Jaya Putra Mohon Tunggu... -

Konsultan Media, tinggal di Kuala Lumpur

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Siaran Digital, Lalu Apa?

6 Oktober 2016   20:48 Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:32 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Kalau sering bolak-balik melihat kanal televisi sekarang, Anda pasti disajikan beberapa stasiun televisi baru dari layar televisi Anda. Iya betul, mereka ini stasiun televisi yang oleh pemerintah diizinkan untuk melakukan uji coba siaran digital. Tidak semua ikut, tapi sebagian memanfaatkan momen ini untuk mengenalkan stasiun televisi baru mereka. Siaran uji coba juga dimanfaatkan oleh beberapa stasiun televisi lama untuk memancarluaskan konten siaran digital mereka.

Seperti diketahui, para pemilik stasiun televisi sebagian juga pemilik penyelenggara multiplexing (mux) siaran digital. Mereka sudah memenangkan lelang beberapa zona atau wilayah siaran digital. Sebagai penyelenggara mux, selain membawa siaran dari stasiun mereka sendiri, ada kewajiban bahwa mereka harus membawa stasiun stasiun yang bukan penyelenggara mux ke sistem multiplexing mereka. Tentu dengan membayar kepada penyelenggara mux sebagai kompensasi investasi.

Ini berbeda dengan Malaysia. Di Malaysia penyelenggara mux televisi digital adalah bukan penyelenggara siaran yang dikenal selama ini. TV3, RTM, Bernama televisi dan stasiun televisi lain harus masuk ke konsorsium MyTV (penyelenggara mux siaran digital teresterial) di Malaysia.

Saya tak hendak membahas regulasi penyelenggaraan siaran digital di Indonesia. Selain sarat kepentingan. Sampai sekarang juga tidak jelas arah regulasi dan pilihan tekhnologinya.

Yang menarik buat saya sekarang adalah pemahaman pengelola stasiun baru itu pada hakikat digital sendiri. Dalam sebuah diskusi di forum asosiasi penyelenggara siaran digital saya mengatakan bahwa jangan-jangan kita masih berpikir analog ketika kita memasuki era digital.

Hal yang sederhana saja adalah pada pilihan teknologi. Desain tekhnologi stasiun televisi di Indonesia masih berbasis perangkat keras, bukan berbasis pada perangkat lunak  (IT Base).  Apa yang terjadi, desain tekhnologi masih mengelompok dalam beberapa cluster. Satu sistem ke satu sistem masih berdiri sendiri dan tidak terientegrasi satu dengan yang lainnya. Padahal, kata kunci dari sistem digital adalah “integrasi”. Mereka stasiun televisi ini “dipaksa” oleh para penjual perangkat keras untuk menggunakan work flow mereka. Penjual perangkat keras tidak menjual solusi. Akibatnya stasiun televisi mengeluarkan angka investasi yang lebih besar tapi solusi menghadapi perubahan dunia digital tidak pernah ada. Seharusnya para pemilik atau pengurus stasiun televisi membuat desain berdasarkan  work flow mereka sendiri dengan menghitung ke arah mana kelak dunia digital akan bergerak.

Adalah kesalahan ketika memasuki era digital ini broadcast cost masih mahal. Work flow yang benar, sistem perangkat lunak yang benar dengan bantuan perangkat keras yang comply satu dengan lainnya, mestinya bisa mengurangi banyak broadcast cost sehingga stasiun televisi dalam jangka panjang akan banyak menghemat biaya operasional dan efisien. Ini di ranah pemilik stasiun televisi.

Di ranah pemerintah, apakah kajian pilihan digital teresterial ini sudah paling benar untuk Indonesia? Jaringan darat atau teresterial adalah warisan desain stasiun televisi di zaman Soeharto (baca TVRI), yang kemudian di-copy cut oleh stasiun televisi swasta hingga saat ini. Pemeliharaan jaringan darat dikenal mahal. Sebab ada dua kombinasi teknologi di situ, untuk mengantarkan siaran, stasiun televisi harus menyewa transponder satelit untuk mengantarkan ke pemancar-pemancar relay di beberapa zona, lalu pemancar teresterial inilah yang mengantarkan siaran ke rumah-rumah pemirsa. Kita setuju migrasi ke digital, tapi apakah teresterial adalah satu satunya pilihan migrasi ke digital?

Kerja Sama Konten

Ketika melihat konten peserta uji coba siaran digital saya hanya berkomentar singkat, “Berapa lama mereka akan bertahan”. Pesimis. Iya karena ongkos produksi konten televisi mahal sekali, jika tidak dilakukan dengan manajemen produksi yang benar. Ongkos konten akan memakan 40 sampai 50 persen dari biaya operasional stasiun televisi. Stasiun televisi di Indonesia, mereka menyelenggarakan dua operasional sekeligus, yakni sebagai penyelenggara siaran, juga sebagai penyelenggara konten. Di banyak negara maju, kedua pekerjaan ini sudah dipisah melalui undang-undang. Konten harusnya milik content creator.

Artinya kesempatan pihak ketiga melalui program commissioning haruslah dibuka lebar. Di stasiun televisi mereka tak usah repot menyiapkan semua perangkat produksi dari hulu ke hilir. Mereka hanya memerlukan production designer.  Anda bayangkan, sudah harus membayar ongkos mux kelak kepada penyelenggara multiplexing, mereka masih diberatkan dengan urusan ongkos produksi konten yang tak manageable lagi.

Stasiun televisi digital, tak usah malu mulai menyiapkan konten dengan konsep sindikasi produksi. Ini sebenarnya sama dengan prinsip economy sharing yang sedang jadi tren sekarang. Satu program premium televisi, pendanaannya dilakukan secara bersama oleh anggota asosiasi. Juga dijual bersama-sama. Ongkos produksi ditanggung bersama, salesnya pun didapat sama-sama. Ini terjadi di Amerika, istilah “network syndication” di Amerika lebih mengacu pada konsep pre-selling program-program yang ditanggung dan dijual bersama. Nilai investasi siapa yang terbesar lah yang akan menikmati “first run” tayangan atau tayang perdana. Sisanya akan menikmati “off net” atau rerun dari program yang dibuat secara sindikasi produksi ini.

Terakhir, afiliasi. Kenapa mesti banyak stasiun televisi tapi seragam dalam konten. Pilihan ke arah stasiun televisi digital sebenarnya tujuannya adalah pada segmentasi penonton yang bermuara pada keragaman kanal dan isi siaran yang kita saksikan. Penambahan spektrum frekuensi pada siaran digital harus memberi banyak keragaman informasi yang diterima khalayak. Jika memiliki kesamaan konsep berafiliasilah. Yang perlu dipahami teresterial digital hanya satu platform saja dari dunia digital yang tanpa batas. Perkembangan ke arah platform OTT (over the top) di layer distribusi juga akan membuat apakah spektrum frekuensi masih relevan atau tidak kelak. Jangan jadikan teresterial digital ini sebagai target bisnis satu satunya. 

Perilaku konsumen media sudah berubah, televisi bukan satu satunya lagi platform di ranah audia visual. Ingat jumlah penonton YouTube sudah melibihi jumlah penonton televisi di primetime. Perilaku pengiklan pun sudah berubah. Media-media digital non teresterial menawarkan lebih banyak pilihan cara beriklan yang lebih atraktif dan mengena. Perilaku pengelola media pun harus berubah. Uji coba siaran digital ini menurut saya sekadar pelepas dahaga di tengah ketidakjelasan regulasi dan arah siaran televisi digital ini dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Jadi jangan senang dulu. (Ajp)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun