Mohon tunggu...
APLONIA POPO
APLONIA POPO Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UMK

Mahasiswi Universitas Muhammadyah Kupang Angkatan Tahun 2018

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perbedaan Proses Penguburan Raja di Sumba Timur dengan Masyarakat Biasa

22 Mei 2019   22:49 Diperbarui: 22 Mei 2019   23:19 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dians999.wordpress.com

"Tanpa manusia, budaya tidak ada. Namun lebih penting dari itu, tanpa budaya manusia tidak ada". Sebuah kalimat yang sederhana namun memiliki makna yang mengingatkan kepada kita bahwa bukan hanya otak dan kecerdasan manusia yang menghasilkan sebuah budaya yang lebih penting, melainkan dengan adanya budaya yang beragam manusia mampu saling menghargai satu sama lain dan mengutamakan pentingnya sebuah kebersamaan. 

Nostrand (1989:51) "Budaya adalah sikap dan kepercayaan, cara berpikir, dan mengingat bersama oleh anggota komunitas tertentu", artinya sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang diamalkan bersama oleh orang-orang yang berada di lingkupnya dan diwariskan secara turun-temurun.

Suatu kebudayaan perlu dilestarikan agar tetap hidup dan tidak luntur nilai-nilai budayanya pada komunitas masyarakat tertentu. Masyarakat pulau Sumba, khususnya Sumba timur, Nusa Tenggara Timur memiliki berbagai macam kebudayaan baik dalam keyakinan, hukum seni, sosial, dan kesenian. 

Di desa saya, kebudayaan yang paling menonjol adalah ketika seseorang bertamu ke sebuah rumah, hal yang dilakukan pertama oleh pemilik rumah adalah melayani tamu dengan siri pinang, seorang pria wajib memberikan belis kepada orang tua wanita yang akan dijadikan pendamping hidupnya. 

Hal ini sudah mejadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Sumba timur secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga saat ini. Bahkan seringkali terdengar di telinga anak perempuan yang sudah remaja "kamu sekolah cepat-cepat sudah, biar cepat jadi bapak punya anak mantu, bapak sudah siap belis memang dari sekarang", dan juga tidak asing lagi didengar oleh telinga saya yang kuliah di UMK kampus multicultural sebuah tanggapan "orang sumba itu belis harus banyak atau belis mahal" oleh teman-teman dari daerah lain.

Di Sumba timur tidak hanya memiliki kebudayaan yang beragam, tetapi dari segi martabat atau derajat mereka menganut pandangan adanya perbedaan antara kelas atas dan kelas bawah atau lebih tepat disebut raja dan hamba. Dalam kehidupan seorang bangsawan, yaitu raja dengan bawahannya tentu memiliki kesan-kesan yang berbeda dengan masyarakat biasa.

Dimana suatu kehormatan lebih diprioritaskan dan harus dilakukan apabila derajat lebih rendah dari seseorang, perintah yang harus dilakukan entah dilakukan secara tulus ataupun secara terpaksa, larangan yang harus dituruti, kerasnya kemauan tanpa melibatkan hati nurani, pandangan bahwa ada yang diperintah dan ada yang harus didengarkan, rasa kepuasan dan ketidakpuasan akan sebuah tindakan atau keputusan, keseganan akan tercipta jika sebuah kenyataan menyatakan tidak ada perbedaan, kebebasan dalam bertindak, ketidakberdayaan dalam suatu tindakan atau mengutarakan sesuatu dan kepasrahan yang tidak diinginkan.

Namun semuanya tidak akan terasa lengkap atau sempurna tanpa adanya adat istiadat. Menurut Jalaludin Tunsam (1660) "Adat merupakan suatu kebudayaan, norma, kebiasaan, serta hukum yang sudah lazim dilakukan oleh suatu daerah. Kehidupan keluarga bangsawan lebih diidentikan dengan adat istiadat yang pastinya diprioritaskan dalam sebuah tindakan atau keputusan dalam berbagai aspek kehidupan bangsawan atau raja, dan berlaku wajib bagi siapapun baik dari keluarga raja maupun bawahan atau hamba.

Kematian adalah bagian dari kehidupan seseorang tanpa terkecuali kematian seorang raja di Sumba timur atau keluarga bangsawan tentu sangat berbeda dengan masyarakat biasa maupun kaum bawahan, dimana dari awal kematian hingga pemakaman segala prosesnya tidak terlepas dari adat istiadat. Perbedaan yang dimaksudkan adalah dimana segala proses yang dilakukan baik bahan material maupun tindakan-tindakan yang dijalankan tidak sama dengan rakyat biasa dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Ketika seorang raja telah wafat, akan dilakukan ritual dengan memotong seekor kuda sebagai kurban ritual. Hal ini dilakukan karena kepercayaan para bangsawan yang beranggapan bahwa ketika seorang bangsawan sudah wafat berarti ia kembali ke negeri leluhur dan dibangunkan secara adat agar rohnya berada dalam tubuh jenazah sehingga dapat berisi sirih pinang dan makanan dan bunyian gong dan tambur sebagai tanda berduka.

Kemudian setelah itu, keluarga pun membuat kuburan. Batu yang digunakan untuk membuat kuburan raja bukanlah batu biasa pada umumnya, melainkan batu yang diambil dari gunung, dengan cara penarikan batu tentunya sangat memakan biaya yang cukup besar atau mahal. Setelah batu gunungnya ditarik dengan proses adat,, batu tersebut akan di ukir dengan gambar atau motif seperti  mamuli, manusia (dewa), ayam, bebek, buaya, kepala kerbau, kepala kuda dan kepala rusa, yang masing-masing memiliki arti dan makna tersendiri. 

Setelah pembuatan batu kubur selesai, keluarga jenazah pun memberikan undangan kepada keluarga bangsawan lainnya untuk melakukan musyawarah, apakah pemakaman akan dilaksanakan dalam waktu dekat atau waktu yang lama sampai bertahun-tahun. Jika pemakaman masih lama, maka jenazah akan disimpan di salah satu kamar dalam rumah adat dengan istilah dikuburkan sementara dengan belum diupacarakan.

Dalam kematian seorang raja di Sumba timur, hamba yang sangat dekat dengan raja tersebut yang melayaninya setiap saat akan menjadi pengikut tuannya ketika meninggal, yakni dibunuh dengan menggunakan proses adat. 

Hal ini sudah menjadi adat-istiadat bagi keluarga bangsawan dengan rajanya, sehingga tidak ada yang dapat menghindari atau melanggar terlebih bagi kaum bawahan. Oleh karena itu, pada hari mendekati penguburan diadakan musyawarah oleh keluarga bangsawan untuk menentukan hamba yang akan mengikuti jejak sang tuan/rajanya.

Tentu saja, perbuatan ini adalah hal yang sangat tidak manusiawi` Tindakan yang tidak melibatkan hati nurani seseorang, kekerasan hati untuk menolak, menghindar, bahkan berlari jauh, sejauh mungkin pasti ingin dilakukan oleh hamba yang bersangkutan. Namun keadaan apapun dan siapapun tentu tidak ada yang mendukungnya, melainkan ia wajib melakukan nya karena bagaimanapun melanggar adat dan aturan ia tetap mendapatkan karma atau hukuman.

Ketika saat hari penguburan sudah dekat, hamba yang sudah ditentukan dibunuh dengan proses adat kemudian jenazahnya diletakkan di samping raja tiga hari sebelum pemakaman. Keluarga pun mengutus kepala adat untuk mengundang tamu yang akan mengikuti upacara pemakaman yang tentunya akan dihadiri oleh berbagai macam marga dari keluarga bangsawan. 

Tamu yang datang disambut dengan membunyikan gong dan tambur dan dengan pelayanan pertama adalah sirih pinang. Para tamu undangan membawa mamuli, lulu amahu, kuda dan kain tenun ikat sebagai barang bawaan mereka ke rumah duka. 

Setelah semua tamu atau undangan talah hadir, dilakukan ritual dengan memotong anak kerbau lalu diambil hanya untuk dimasak dan diberikan sebagai makan persiapan bagi jenazah. Kemudian setelah itu jenazah diturunkan baik sang raja maupun hambanya dari rumah adat dengan pemotongan seekor kuda besar sebagai kurban. Pada saat jenazah diturunkan gong dan tambur dibunyikan tanda penguburan segera dilakukan. 

Setelah itu jenazah diturunkan di lubang kubur kemudian ditutup dengan batu besar, sementara itu dipotong lagi beberapa ekor kuda dan kerbau. Hal bersamaan dilakukan kepada jenazah hamba pengikutnya, di kuburkan di samping raja atau tuannya.

Suatu kebudayaan dan adat istiadat perlu dilestarikan agar tidak luntur oleh generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai aspek kehidupan dengan mengutamakan kebersamaan, kodrat manusia dan melibatkan hati nurani. 

Artinya bahwa lestarikan apa yang pantas dilestarikan dengan mengutamakan persamaan tanpa adanya perbedaan baik derajat, agama, sosial dan suku dan tinggalkan serta musnahkan hal-hal yang tidak manusiawi karena manusia tahu yang memberikan kehidupan kepada setiap orang adalah Tuhan, sang Maha Kuasa dan yang pantas mengambil kembali nafas kehidupan seseorang tentu hanyalah Dia, Tuhan, bukanlah sesama manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun