Dari uraian singkat di atas maka dapat kami jelaskan bahwa PNS wajib bekerja sebanyak 37 jam 30 menit setiap pekannya tanpa terkecuali dan wajib dibuktikan dengan bukti kerja.
Bukti kerja PNS bukan bermakna bukti kehadiran di tempat kerja berupa presensi atau absensi yang alatnya tertempel di dinding kantor. Bukti kehadiran dengan alat presensi finger print di tempat kerja tidak ada korelasi apapun juga dengan "kerja" atau "bekerja" nya PNS. Karena aktivitas kerja PNS terdapat dalam "TUPOKSI"nya dan harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen kerja/hasil kerja yang telah disetujui oleh atasannya langsung. Dokumen-dokumen kerja/hasil kerja inilah yang dapat dinilai seberapa besar beban kerja-nya berdasarkan "waktu" ; "energi" ; "karakteristik kerja" dan parameter lainnya yang ada dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri dan lembaga negara lainnya.
Aktivitas fingerprint di pagi hari saat PNS datang ke kantor dan sore hari saat pulang dari kantor tidak ada makna apapun juga selain hanya penetapan waktu datangnya seorang PNS ke "alat fingerprint" baik di pagi hari yang dianggap waktu kedatangan dan waktu sore hari yang dianggap waktu pulang/keluar dari kantor. Karena faktanya alat fingerprint tidak dapat melihat bagaimanakah seorang PNS tersebut bekerja dan apa saja hasil kerjanya selama 7 jam 30 menit. Dan adapun "waktu yang telah ditetapkan" oleh PNS dengan sidik jarinya di pagi dan sore hari, tidak dapat mengukur dan tidak dapat pula menjelaskan bahwa PNS tersebut telah bekerja selama 7 jam 30 menit dalam 1 (satu) hari kerja.
Alat ukur waktu berdasarkan ilmu kerja adalah metode pengukuran langsung menggunakan "stopwatch" dan "work sampling" , Sehingga jelas fingerprint atau absensi elektronik bukan merupakan alat ukur kerja dan bekerja PNS, sehingga bila hanya data fingerprint saja yang digunakan sebagai parameter kinerja (kerja dan bekerja) PNS maka negara Indonesia sedang dalam masalah besar berkaitan dengan produktivitas kerja dalam pemerintahan.
Bagian selanjutnya akan menceritakan bagaimana awal mula sengketa kami dengan BAPEK (BPASN - sekarang) yang diawali adanya Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri (PDHTAPS) oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (tahun 2020 nomenklatur-nya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan - pen) yang ditandatangani oleh Menteri-nya adalah Nadiem AM. Dengan tuduhan melanggar PP 53 tahun 2010 pasal 3 ayat 11.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H