Siapa yang tak mengenal sosok Ajip Rosidi. Sastrawan dan budayawan kelahiran Jatiwangi-Majalengka, tidak hanya dikenal sebagai penulis paling produktif yang telah menghasilkan ratusan judul buku dalam dua bahasa _Sunda dan Indonesia, melainkan juga tokoh yang menginspirasi banyak orang.Â
Bayangkan saja, beliau yang tidak tamat SMA, selama 22 tahun lebih menjadi guru besar luar biasa di salah satu universitas ternama di Jepang. Inilah yang mungkin menjadi alasan Universitas Padjajaran beberapa tahun yang lalu menganugerahinya gelar kehormatan 'Doktor Honoris Causa'.
Dalam otobiografinya yang termashur, 'Hidup Tanpa Ijazah', keputusan keluar dari Taman Siswa (setingkat SMA), karena beliau merasa sekolah atau ijazah bukan sesuatu yang terlalu penting. Menurutnya, yang utama dalam hidup ialah keinginan untuk mau terus-menerus belajar.
Cara pandang Ajip Rosidi ini, tentu berbanding terbalik dengan cara pandang masyarakat pada umumnya. Dewasa ini, sekolah bukan saja penting, melainkan segala-galanya. Seseorang yang tidak 'mengecap' bangku sekolah kerap dipandang sebelah mata karena dianggap tidak memiliki masa depan yang jelas.
Sayangnya, penekanan akan pentingnya sekolah kadang tidak diimbangi dengan penekanan akan pentingnya belajar. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa sekolah identik dengan belajar. Atau sebaliknya, belajar identik dengan sekolah.Â
Padahal, di sekolah sendiri, kata 'belajar' kerap direduksi maknanya menjadi sekadar mempelajari materi-materi pelajaran sebagaimana tercantum dalam kurikulum yang telah digariskan oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan lain  di luar itu, seringkali diartikan bukan kegiatan belajar sehingga dianggap tidak penting untuk dilakukan.
Oleh karena itu, tak heran apabila pendidikan kita banyak menghasilkan anak-anak didik yang hanya pintar berteori, tetapi miskin pengalaman. Dalam pelajaran bahasa, misalnya, siswa paham betul tentang bentuk-bentuk dan jenis-jenis karangan, tetapi tak satu pun tulisan dihasilkan. Apalagi sampai berhasil dimuat di media masa, seperti majalah atau koran.
Belajar tentu saja sangat berbeda dengan sekolah. Belajar ialah proses pergulatan yang terus-menerus dengan objek yang dipelajari sehingga tidak hanya menghasilkan pemahaman, melainkan pengalaman.Â
Belajar tidak mengenal ruang dan waktu. Seseorang yang bersekolah belum tentu belajar. Sebaliknya, seseorang dapat belajar tidak hanya sebatas di sekolah.
Dengan demikian, sudah sepatutnya kita belajar dari sosok Ajip Rosidi. Belajar dari Ajip Rosidi bukan berarti menyuruh anak-anak didik ramai-ramai keluar-meninggalkan sekolah (karena menganggap tidak sekolah pun orang dapat sukses), melainkan mendorong agar sekolah sebagai lembaga pendidikan mau bersungguh-sungguh menciptakan 'iklim' belajar di lingkungannya. Dengan adanya iklim tersebut, anak-anak didik diharapkan mengalami semacam kecanduan atau keranjingan belajar.
Menciptakan iklim belajar di sekolah, setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, mengembalikan fungsi sekolah sebagaimana mestinya, yakni sebagai 'taman' belajar.Â