Mohon tunggu...
Apip Haris Arifin
Apip Haris Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dua Horor Global: Senjata Nuklir versus Pemanasan Global

17 Agustus 2022   22:11 Diperbarui: 17 Agustus 2022   22:17 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bom nuklir pertama yang dijatuhkan dari pesawat Amerika di kota Hiroshima, Jepang tanggal 6 Agustus 1945. Foto: Hiroshima Peace Memorial Museum/AP

Di Hiroshima, tanggal 6 Agustus 2022, untuk memperingati 77 tahun tragedi bom atom di kota tersebut, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan bahwa kita tidak boleh melupakan tragedi bom atom di Hiroshima.

"Kita harus menghapus senjata nuklir dari muka bumi ini untuk selamanya," kata Guterres dalam pidatonya di Hiroshima Peace Memorial Museum.

Faktanya,narasi panjang tentang bahaya radiasi nuklir yang dipropagandakan oleh aktivis anti-nuklir serta penderitaan pahit yang selalu diteriakkan oleh Hibakusha belum mampu membujuk negara-negara pemilik senjata nuklir untuk melucuti senjata pemusnah massal tersebut.

Gelombang demo dan protes ramai bermunculan pasca bom nuklir Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Nama-nama komunitas sipil populer seperti Greenpeace, Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Bulan Sabit Merah Internasional dan Koalisi Masyarakat Sipil Internasional untuk Penghapusan Senjata Nuklir (ICAN) merupakan komunitas yang getol menyuarakan kampanye anti nuklir.

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sejak pembentukannya berjanji melucuti senjata nuklir belum bisa mengawal kesepakatan sampai titik perlucutan senjata mematikan tersebut. Resolusi pertama yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946 adalah membentuk komisi untuk tujuan pengendalian energi nuklir dan memastikan penggunaannya sebatas untuk tujuan damai.

Sejak saat itu, sejumlah perjanjian multilateral (Traktat) telah dibuat untuk memantau perkembangan senjata nuklir dan mencegah uji coba senjata nuklir yang dibarengi dengan kampanye penghapusan senjata mengerikan tersebut. Termasuk di dalamnya ada Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapon (NPT), the Treaty Banning Nuclear Weapon Tests In The Atmosphere, In Outer Space And Under Water, yang populer sebagai the Partial Test Ban Treaty (PTBT), dan the Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT).

ICAN, sebagai koalisi dari ratusan LSM dari berbagai negara,  berupaya menggandeng para aktivis anti nuklir dari seluruh dunia untuk membujuk pemerintah masing-masing dalam mendukung perjanjian pelarangan nuklir. Tanggal 6 Oktober 2017 ICAN dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2017 yang diterima langsung oleh Direktur Eksekutif ICAN, Beatrice Fihn.

"Kami belum selesai... Pekerjaan belum selesai sampai senjata nuklir hilang," kata Beatrice Fihn.

Yang menggembirakan, konsep perjanjian pemusnahan senjata nuklir yang diajukan oleh ICAN ke PBB diadopsi oleh PBB pada tanggal 7 Juli 2017, didukung oleh 122 dari 193 negara anggota PBB. Maka lahir traktat terbaru yang dinamai Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) atau Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dan mulai berlaku sebagai hukum internasional sejak 22 Januari 2021.

Ironisnya, 5 negara anggota tetap di Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan China, yang juga sebagai negara pemilik senjata nuklir, menyatakan memboikot traktat tersebut. Kemudian, Israel, Korea Utara dan Pakistan yang  memendam senjata nuklir juga menolak menandatangani traktat tersebut.

Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) adalah perjanjian multilateral pertama yang berlaku secara global. Traktat ini menekankan sifat tabu terhadap senjata nuklir dan meningkatkan tekanan pada negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mengurangi dan menghapuskan amunisi nuklir mereka.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, pernah mengatakan bahwa hingga saat ini senjata nuklir belum bisa dihilangkan, justru sebaliknya, malah semakin canggih.

Ketidakberhasilan beberapa traktat sebelum TPNW bisa melahirkan keraguan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir akan  mematuhi hukum humaniter internasional. Pendapat publik akan cenderung setuju bahwa senjata nuklir tetap sebagai horor selama belum dilucuti secara total.

Ilustrasi kondisi suhu udara panas. Foto: akun twitter resmi WMO
Ilustrasi kondisi suhu udara panas. Foto: akun twitter resmi WMO
Berbeda dengan upaya perlucutan senjata nuklir yang selalu kandas terkendala oleh kecenderungan negara-negara pengembang senjata nuklir yang enggan memusnahkan senjata miliknya, isu emisi karbon, sebagai salah satu ancaman kerusakan bumi, justru mendapat respon menggembirakan dari banyak negara.

Isu emisi karbon mengemuka kembali pada pertemuan G20 di Indonesia yang puncaknya akan digelar di Bali, November mendatang. Salah satu agenda prioritas G20 adalah pembahasan terkait bahaya emisi karbon sebagai penyebab pemanasan global. Dengan penekanan kembali pada Perjanjian Paris yang ditandatangani tahun 2016 oleh negara-negara pihak, dalam rangkaian kegiatan G20 tengah diupayakan sebuah platform sebagai solusi tepat untuk mengatasi kenaikan suhu bumi dengan pengurangan emisi karbon dioksida.

Dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) 195 negara menyepakati untuk mengurangi laju emisi dari business as usual (BaU) di tahun 2030, untuk menahan laju temperatur global di bawah 2C dari sebelum Revolusi Industri. Dalam pertemuan tingkat menteri G20, negara-negara peserta memiliki komitmen untuk menurunkan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius dan penurunan gas rumah kaca sebesar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030. Kerangka ekonomi hijau (green economy) adalah salah satu jalan keluarnya. Sejauh mana bahaya emisi karbon hingga harus ditangani dalam platform multilateral ?

Berdasarkan teori yang ada, karbon dioksida (CO2) memegang peran penting dalam lapisan atmosfer (efek rumah kaca) sebagai pengikat panas matahari untuk menghangatkan bumi. Tanpa karbon dioksida diatmosfer, bumi akan terlalu dingin, bahkan beku. Efek rumah kaca yang alami akan menjaga planet ini pada suhu rata-rata 15-18 C, sangat nyaman untuk dihuni manusia dan aman sebagai habitat hewan serta tumbuhan.

Di sisi lain, kemajuan industri telah memperburuk kondisi atmosfer bumi. Gas yang dikeluarkan dari aktivitas industri dan transportasi, terutama CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, terlalu banyak menumpuk di lapisan atmosfer dan menyebabkan panas matahari yang terperangkap oleh CO2 intensitasnya terlalu besar sehingga mengakibatkan terjadinya pemanasan global.

Pemanasan global mengakibatkan cuaca menjadi tidak stabil, hujan lebat dan badai lebih sering terjadi, potensi banjir akan lebih tinggi. Gelombang panas juga akan lebih sering terjadi dan menyulut terjadinya kebakaran hutan. Dampak lain adalah munculnya berbagai penyakit baru yang berevolusi.

Suhu panas yang ekstrim mengakibatkan salju di daerah kutub perlahan mencair, begitu juga volume gletser di pegunungan-pegunungan lambat laun berkurang. Akibatnya permukaan air laut meningkat sehingga mengakibatkan abrasi terus menggerus tepian pantai. Beberapa pulau kecil akan tenggelam.

Dalam konferensi pers pada 18 Juli, Sekretaris Jenderal WMO Prof. Petteri Taalas, dikutip dari laman resmi WMO, mengatakan bahwa gelombang panas di Eropa akan menjadi lebih sering, lebih intens dan akan bertahan lebih lama. Pada tahun 2050, sekitar setengah dari populasi Eropa mungkin terkena risiko stres panas yang tinggi atau sangat tinggi selama musim panas, berdasar pada hasil pengamatan the Intergovernmental Panel on Climate Change.

Sementara itu di Portugal, Spanyol, Prancis dan Inggris, dikabarkan suhu udara mencapai 40 C untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.

Selain memperkuat perjanjian kerjasama multilateral dalam mengurangi emisi karbon, masing-masing negara perlu mempersiapkan diri untuk percepatan transisi energi menuju energi bersih yang ramah lingkungan seperti pemanfaatan biomassa untuk substitusi batubara, menyiapkan ekosistem kendaraan listrik, dan pemanfaatan energi matahari dan angin untuk menghasilkan energi listrik.   

Dahsyatnya kerusakan bumi sebagai konsekuensi dari perang nuklir dan pemanasan global bisa dihindari dengan kesadaran bersama seluruh negara. Lagi-lagi, publik condong menyepakati bahwa perang nuklir dan bencana pemanasan global hanya ada dalam film-film fiksi.  

Referensi:

Akun Twitter: @antonioguterres

https://www.un.org/disarmament/wmd/nuclear/

https://guardian.ng/news/anti-nuclear-campaign-ican-wins-nobel-peace-prize/

https://pengabdian.ugm.ac.id/?s=Nobel+Perdamaian+2017

https://blogs.icrc.org/indonesia/wp-content/uploads/sites/97/2021/03/FINAL-TPNW-Info-Package-IDN.pdf

https://public.wmo.int/en/media/news/world-had-%E2%80%9Cone-of-three-warmest-julys-record

https://climate.nasa.gov/faq/19/what-is-the-greenhouse-effect/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun