Sekjen PBB, Antonio Guterres, pernah mengatakan bahwa hingga saat ini senjata nuklir belum bisa dihilangkan, justru sebaliknya, malah semakin canggih.
Ketidakberhasilan beberapa traktat sebelum TPNW bisa melahirkan keraguan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir akan  mematuhi hukum humaniter internasional. Pendapat publik akan cenderung setuju bahwa senjata nuklir tetap sebagai horor selama belum dilucuti secara total.
Berbeda dengan upaya perlucutan senjata nuklir yang selalu kandas terkendala oleh kecenderungan negara-negara pengembang senjata nuklir yang enggan memusnahkan senjata miliknya, isu emisi karbon, sebagai salah satu ancaman kerusakan bumi, justru mendapat respon menggembirakan dari banyak negara.
Isu emisi karbon mengemuka kembali pada pertemuan G20 di Indonesia yang puncaknya akan digelar di Bali, November mendatang. Salah satu agenda prioritas G20 adalah pembahasan terkait bahaya emisi karbon sebagai penyebab pemanasan global. Dengan penekanan kembali pada Perjanjian Paris yang ditandatangani tahun 2016 oleh negara-negara pihak, dalam rangkaian kegiatan G20 tengah diupayakan sebuah platform sebagai solusi tepat untuk mengatasi kenaikan suhu bumi dengan pengurangan emisi karbon dioksida.
Dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) 195 negara menyepakati untuk mengurangi laju emisi dari business as usual (BaU) di tahun 2030, untuk menahan laju temperatur global di bawah 2C dari sebelum Revolusi Industri. Dalam pertemuan tingkat menteri G20, negara-negara peserta memiliki komitmen untuk menurunkan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius dan penurunan gas rumah kaca sebesar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030. Kerangka ekonomi hijau (green economy) adalah salah satu jalan keluarnya. Sejauh mana bahaya emisi karbon hingga harus ditangani dalam platform multilateral ?
Berdasarkan teori yang ada, karbon dioksida (CO2) memegang peran penting dalam lapisan atmosfer (efek rumah kaca) sebagai pengikat panas matahari untuk menghangatkan bumi. Tanpa karbon dioksida diatmosfer, bumi akan terlalu dingin, bahkan beku. Efek rumah kaca yang alami akan menjaga planet ini pada suhu rata-rata 15-18 C, sangat nyaman untuk dihuni manusia dan aman sebagai habitat hewan serta tumbuhan.
Di sisi lain, kemajuan industri telah memperburuk kondisi atmosfer bumi. Gas yang dikeluarkan dari aktivitas industri dan transportasi, terutama CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, terlalu banyak menumpuk di lapisan atmosfer dan menyebabkan panas matahari yang terperangkap oleh CO2 intensitasnya terlalu besar sehingga mengakibatkan terjadinya pemanasan global.
Pemanasan global mengakibatkan cuaca menjadi tidak stabil, hujan lebat dan badai lebih sering terjadi, potensi banjir akan lebih tinggi. Gelombang panas juga akan lebih sering terjadi dan menyulut terjadinya kebakaran hutan. Dampak lain adalah munculnya berbagai penyakit baru yang berevolusi.
Suhu panas yang ekstrim mengakibatkan salju di daerah kutub perlahan mencair, begitu juga volume gletser di pegunungan-pegunungan lambat laun berkurang. Akibatnya permukaan air laut meningkat sehingga mengakibatkan abrasi terus menggerus tepian pantai. Beberapa pulau kecil akan tenggelam.
Dalam konferensi pers pada 18 Juli, Sekretaris Jenderal WMO Prof. Petteri Taalas, dikutip dari laman resmi WMO, mengatakan bahwa gelombang panas di Eropa akan menjadi lebih sering, lebih intens dan akan bertahan lebih lama. Pada tahun 2050, sekitar setengah dari populasi Eropa mungkin terkena risiko stres panas yang tinggi atau sangat tinggi selama musim panas, berdasar pada hasil pengamatan the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Sementara itu di Portugal, Spanyol, Prancis dan Inggris, dikabarkan suhu udara mencapai 40 C untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.