Selama ini yang saya lihat, hubungan keduanya hanya sebatas niaga saja. Anda jual, saya beli. Cukupkah hanya sekedar itu? Apakah harga yang diberikan perusahaan mampu mencukupi kesejahteraan hidup, pendidikan dan kesehatan mereka? Apakah harus terputus pada masalah niaga saja. Bila merugi bagaimana? Meskipun pada dasarnya perusahaan yang bermitra dengan petani tentu ada cost tersendiri untuk masalah pupuk dan bibit. Tapi idealnya, para ujung tombak ini dipersenjatai dengan kelayakan yang cukup. Tidak bisa kan mereka mencangkul dalam keadaan perut lapar, sakit dan anak-anak yang tak sekolah? Ini masih di ranah petani saja. Belum merambah ke buruh tani. Semoga ke depan hal-hal ini bisa dipertimbangkan dengan baik.Â
Di wilayah Nusa Tenggara Barat memang sudah ada perda tentang tembakau --Perda No. 4 Tahun 2006, Usaha Budidaya dan Kemitraan Perkebunan Tembakau Virginia di Nusa Tenggara Barat--. Namun masih banyak yang belum diterapkan secara maksimal. Pemerintah Daerah sendiri masih kurang tanggap dan memahami apa yang menjadi sumber penghasilan rakyatnya sendiri.Â
Topografi antara Lombok dan Jember tak jauh berbeda. Di Lombok ada gunung berapi dan juga bebukitan berjajar. Jember punya gumuk. Keduanya merupakan dua hal yang berbeda namun menghasilkan suhu yang bagus untuk tembakau. Angin gunung yang turun di daratan bisa dinetralisir oleh jajaran bukit. Sayang sekali di beberapa daerahnya, banyak beberapa bukitnya yang sudah ditambang dan dikeruk isinya. Salah satu yang saya kunjungi secara pribadi adalah tambang emas prabu di wilayah Lombok Tengah. Ini tentu jauh berbeda dengan yang ada di Sekotong. Pertambangan di Prabu dikerjakan 'masih' secara tradisional meskipun beberapa penambangnya banyak yang bukan dari tanah Lombok sendiri.Â
Selang beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Lombok, Indonesia digemparkan oleh kasus pembunuhan Salim Kancil. Petani Lumajang yang dibunuh karena menolak tambang pasir di tanahnya sendiri. Tepat pada hari kedua kami berada di Lombok --2 Oktober 2015-- harian Lombok Post yang tergeletak begitu saja di Lobi hotel Arianz --tempat rombongan kami menginap-- mengabarkan tentang penolakan pengerukan pasir di Lombok.Â
"Lombok tidak untuk dikeruk, Bali tidak untuk ditimbun." Demikian pesan Faisal Kaler, Ketua Pemuda Sasak Lotim. Seusai yang tertulis dalam berita tersebut. Mereka menyatakan menolak rencana pengambilan pasir laut Lombok. Di luar uang berlimpah yang akan diperoleh, dikhawatirkan ada dampak negatif yang lebih besar jika penyedotan pasir jadi dilakukan.
Pada hari ketiga sebelum keberangkatan rombongan menuju Desa Adat Bayan, saya menerima kedatangan keluarga Sedja Khairani di lobi hotel. Mereka adalah sahabat blogger yang sudah saya kenal sejak lama. Itu pertemuan kami secara langsung yang pertama. Kami berbincang banyak hal. Mulai dari tembakau sampai isu tentang penolakan tambang pasir di beberapa tempat. Papa Sedja mengaku iri melihat semangat dan kekompakan kawan-kawan di Jawa. Pandai sekali menyuguhkan isu lingkungan menjadi sesuatu yang besar. Ia mengaku terus mengikuti perkembangan pemberitaan pembunuhan Salim Kancil di Lumajang. Lombok sendiri memiliki masalah tambang pasir yang besar. Namun untuk mengaktualkannya, banyak pihak yang masih belum satu suara.
Saat pembicaraan itu berlangsung, di Jember teman-teman aktivis lingkungan sedang giat mempersiapkan malam penggalangan dana untuk Salim Kancil. Hal tersebut tak luput juga dari pembicaraan. Kami sepakat bahwa yang dibutuhkan bukan hanya aksi-aksi populer semacam itu, tapi juga perlu ada yang mengetuk pemerintah daerah untuk mebuat regulasi khusus tentang pertambangan. Kami berpisah dengan janji untuk tetap saling berkabar tentang isu-isu lingkungan terkait pertambangan.Â
Lombok tak hanya identik dengan pantai, kain tenun, mutiara dan gunung rinjani saja. Ada juga tembakau di sana. Ada desa adat yang masih lestari dengan tradisinya. Tapi, ada pula beberapa hal yang bisa mengancam keberlangsungan semuanya. Ada permasalahan lingkungan yang tak pernah usai untuk terus diperjuangkan. Semoga kita bisa menikmati, menjaga dan memperjuangkannya dengan adil.Â
Salam lestari,
Zuhana AZ