Mohon tunggu...
Zuhanna A.Z
Zuhanna A.Z Mohon Tunggu... Penulis - Tinggal di Kalisat, Jember, Jawa Timur. Penulis lepas khususnya terkait bidang sosial, budaya, sejarah dan juga lingkungan.

Rakyat biasa yang merangkap penulis lepas. Tinggal di desa, memilih jauh dari kota.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dua Tokoh Penolak Tambang Dibunuh dan Dianiaya

29 September 2015   06:19 Diperbarui: 29 September 2015   13:59 6151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: Twitter Zen RS. @zenrs"][/caption]Media digemparkan oleh berita mengejutkan yang datang dari Lumajang, Jawa Timur. Daerah yang selama ini terlihat ayem ternyata menyimpan gejolak. Beberapa berita mulai bermunculan, tentang seorang pria --Salim 'Kancil'-- yang dibunuh dan Tosan --yang dianiaya hingga kritis-- karena menolak tambang pasir di Selok Awar-Awar Lumajang. Foto dan gambar dukungan mulai beredar luas di dunia maya. Salah satunya adalah milik komunal stensil. Banyak yang mengganti foto profilnya dengan desaign milik komunal stensil sebagai perlambang turut berduka cita. Saya sendiri juga mengupload gambar tersebut, repost dari akun instagram Arman Dhani. 

Apa yang Sebenarnya Terjadi di Selok Awar-Awar?
Gejolak pertambangan pasir di Selok Awar-Awar sudah berlangsung selama dua tahun ini. Sebelumnya tak banyak yang mengungkapnya, sampai akhirnya terjadi pertumpahan darah. Berawal dari upaya pembuatan kawasan wisata oleh kepala desa Selok Awar-Awar --Hariyono-- di Pantai Watu Pecak. Ia mempertemukan semua warga, kemudian menyampaikan bahwa Watu Pecak akan diratakan untuk daerah wisata. Usulan tersebut ditolak beberapa petani. Mereka menganggap bahwa itu hanya trik untuk mengelabui warga. Kepala desa ingkar janji, penambangan pasir yang katanya hanya untuk meratakan gundukan pasir membentuk lubang besar dan terjadi sampai sekarang. Di sepanjang pantai Watu Pecak terdapat puluhan hektar sawah milik warga. Akibat dari penambangan tersebut sangat merugikan mereka. Lahan pertanian terkena air laut dan rusak, kondisinya semakin terkikis oleh area tambang pasir. 

Safari, petani pertama yang melakukan protes terhadap kepala desa mengaku tidak pernah mendapat tanggapan sama sekali. Kemudian Ia meminta bantuan kepada salah satu tokoh masyarakat bernama Hamid. Akhir tahun 2014, puluhan petani  Selok Awar-Awar melakukan aksi penolakan penambangan pasir di daerahnya. Mereka mendatangi DPR. Disana, Hamid dan beberapa perwakilan petani hanya diminta untuk membuat surat laporan. Hal tersebut membuat kecewa, apalagi mendengar tanggapan pihak DPR yang mangatakan bahwa mereka (para petani) toh tidak akan memilihnya. 

Merasa tak punya kekuatan lagi untuk memperjuangkan lahannya, awal tahun 2015 Safari beserta Hamid sebagai perwakilan dari para warga --yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar Awar Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang-- pergi ke Jakarta untuk mengadu ke pemerintah pusat. Rencana tak sesuai dengan kenyataan, mereka hanya bertemu dengan ICW dan Walhi Jakarta. Walhi meminta Hamid untuk menyelesaikannya dari lingkup terbawah dulu. Dalam pertemuan tersebut, Walhi menjanjikan akan memberikan dukungan sepenuhnya. Hamid pulang dan dibekali kartu anggota serta surat dari Walhi.  

Sepulang dari Jakarta, Hamid mengirimkan surat ke ke Presiden, DPR RI, Menteri Lingkungan Hidup, Perhutani, Menteri Pertanian, DPR Surabaya, dan ke Gubernur Jawa Timur. Ternyata surat yang turun lebih dahulu berasal dari Gubernur. Namun, hal tersebut semakin membuat kelompok pro tambang geram. Tekanan dan intimidasi seringkali dilakukan pada para petani yang menolak tambang. Safari mengaku didatangi 12 orang ketika sedang di sawah. Ia didudukkan di pantai Watu Pecak. Karena menunjukkan kartu Walhi, ia terselamatkan dari penganiayaan. Amarah semakin memanas, Hamid dicari. Ia mengaku juga mendapatkan intimidasi dari pihak pro tambang. Hari-harinya selalu diintai. Entah kabar apa yang menyebar luas di masyarakat, toko yang ia buka sampai tidak laku selama 7 bulan dan akhirnya tutup. Hamid menggantinya dengan selepan tepung untuk tetap menyambung hidup.  

Selama berbulan-bulan sampai sekitar bulan Juni masyarakat yang menolak tambang seringkali mendapat intimidasi dan tekanan dari kelompok pro tambang. Beberapa di antaranya bahkan mengaku sudah putus asa dengan keadaan tersebut. Hamid akhirnya menyusun kekuatan kembali. Ia membuat surat pemberitahuan untuk audiensi pada Bupati. Sekitar 200 warga Selok Awar-Awar siap untuk ikut. Surat itu ditarik oleh Camat karena merasa bahwa yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan itu adalah pihaknya. Abdul Basar selaku Camat, meminta agar kasus tersebut diselesaikan di tataran kecamatan terlebih dahulu sebelum disampaikan ke Bupati.

Seminggu menunggu, tidak ada respon. Hamid mengambil inisiatif untuk langsung menghubungi Bupati lewat pesan singkat. Ia kecewa karena Bupati juga tidak mengambil tindakan tegas tentang hal tersebut. Bupati menyarankan kalau masalah tersebut harus diselesaikan dulu di tingkat kecamatan.

Hamid kecewa, begitu juga dengan beberapa warga yang turut berjuang bersamanya.

Pada Hari Senin tanggal 7 September 2015, Bupati menelepon Camat Abdul Basar untuk segera menyelesaikan pergolakan tambang pasir di Selok Awar-Awar. Esoknya, 8 September 2015, dua kelompok yang bermasalah dipanggil di kantor kecamatan. Di sana tidak ada pertemuan antara kedua belah pihak. Kedua belah kelompok dipanggil satu-satu untuk menemui camat. Tidak ada kesepakatan pasti. Camat hanya menyampaikan bahwa tuntutan untuk menghentikan tambang pasti dikabulkan. 

Sembilan September 2015, warga melakukan aksi damai dengan menyetop truk pasir yang lewat di jalan Desa Selok Awar-Awar. Belasan truk berhenti tepat di tengah rumah Tosan. Tidak ada tindakan anarkis yang dilakukan. Beberapa polisi pun datang untuk ikut mengamankan. Tidak lama kemudian Camat datang ke rumah Tosan. Dia membawa surat pernyataan penghentian penambangan pasir di Pantai Watu Pecak. Kepala desa menyanggupi untuk menghentikan truk pasir yang melewati jalan Desa Selok Awar-Awar.

Surat pernyataan itu membuat lega para warga. Namun hal tersebut tak berlangsung lama. Delapan hari kemudian, aktivitas tambang kembali lagi. Truk-truk pasir pun kembali beroperasi. Hamid dan beberapa warga bingung, lantaran sudah ada surat pernyataan resmi yang ditandatangani oleh kepala desa. Hal tersebut membuat suasana panas. Warga penolak tambang mengancam akan melakukan demo. Pemberitahuan ke kepolisian dan beberapa lembaga terkait sudah dilayangan. Demo tersebut sedianya akan dilakukan pada tanggal 26 September 2015. 

Sepuluh September 2015, Tosan mendapatkan ancaman pembunuhan dari Tim 12 yang diketuai oleh Desir. Beberapa warga yang menolak tambang juga mengaku pernah diancam oleh tim ini. Esoknya hal tersebut dilaporkan ke Polres Lumajang. Laporan saat itu diterima langsung oleh Kasat Reskrim Lumajang, Heri Sugiono, SH. MH. Ia menjamin dan akan segera merespon pengaduan yang juga telah dikoordinasikan dengan Kapolsek Pasirian. Delapan hari kemudian, datang surat pemberitahuan dari Polres Lumajang terkait nama-nama penyidik yang akan menangani kasus ancaman pembunuhan tersebut.

Pada 25 September 2015, warga yang tergabung dalam Forum mengadakan kordinasi dan konsolidasi. Mereka akan melakukan aksi terkait penolakan tambang pasir dikarenakan aktivitas penambangan tetap berlangsung. Tidak sesuai dengan janji dan surat penyataan yang telah disepakati. Rencana Aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015 Pukul 07.30 WIB.

Sebelum aksi demo berlangsung terjadi kasus penculikan dan penganiayaan oleh oknum pro tambang. Salim alias Kancil tewas mengenaskan, dan Tosan kritis akibat penganiayaan berat. Menurut Hamid hal ini sebenarnya bisa dicegah karena sudah ada pemberitahuan sejak dua hari sebelumnya. Ia sangat menyayangkan hal tersebut. Kecewa dengan gerak para pejabat dan aparatur daerah Lumajang.

[caption caption="Gambar yang dibuat oleh Komunal Stensil ini beredar dengan cepat di beberapa media sosial. Ia merupakan perlambang duka cita mendalam atas terbunuhnya seorang Salim 'Kancil' yang menolak tambang pasir di tanah kelahirannya sendiri. Sumber gambar: Twitter Walhi. Gambar asli dibuat oleh Komunitas Stensil komunalstensil.tumblr.com"]

[/caption]

Penganiayaan dan Pembunuhan Tokoh Penolak Tambang
Pukul tujuh pagi, Tosan menyebar selebaran di depan rumahnya bersama Imam. Tak lama, ada seorang yang melintas dan marah-marah kemudian pergi begitu saja. Pukul 07.30 WIB, tanpa disangka datang massa sekitar 40 orang mengendarai sepeda motor mendatangi Tosan. Ia dikeroyok. Imam mencoba melerai, namun hal itu malah membuat massa berbalik menyerangnya. Mereka membawa kayu, batu dan celurit. Tosan meminta Imam untuk lari, menjauh dari lokasi. Tosan sendiri berusaha melarikan diri mengenakan sepeda angin. Massa tak mau tinggal diam, terus mengejar Tosan. Sampai di lapangan persil ia jatuh. Kesempatan tersebut digunakan massa untuk menganiaya Tosan.

Ia dihantam dengan pentungan kayu, dipukul dengan batu, disambit menggunakan celurit dan pacul. Setelah ambruk, ia dilindas sepeda motor. 

Tak berapa lama datang Ridwan, teman Tosan, yang telah menerima kabar tentang penganiayaan itu. Sama halnya seperti Imam, Ridwan berupaya untuk melerai agar massa mau melepaskan Tosan. Namun massa yang sudah terlanjur mengamuk itu berbalik hendak menyerangnya. Ia menantang pimpinan massa, Desir, mendengar itu massa kemudian berbalik dan meninggalkan Tosan yang sudah terluka parah. Ridwan segera membawanya ke Puskesmas Pasirian. Tak bisa menangani kondisi kritis Tosan, mereka kemudan merujuknya ke RSUD Lumajang dan RS. Bhayangkara Lumajang. 

Setelah menganiaya Tosan, massa menuju rumah Salim 'Kancil'. Saat itu, Salim sedang menggendong cucunya yang berusia 5 tahun. Ia melihat banyak orang menuju rumahnya. Kakek ini kemudian meletakkan cucunya di lantai. Massa datang secara tiba-tiba dan mengikat kedua tangannya. Ia dipukuli dengan kayu dan batu. Kemudian, ia diseret paksa menuju balai desa Selok Awar Awar yang berjarak 2KM dari rumahnya. Sampai di balai desa, ia disiksa. Lehernya dipukul gergaji dan tubuhnya disetrum. Hal ini berlangsung selama setengah jam. Suasana gaduh, Salim mengerang kesakitan. Sementara itu, aktifitas belajar mengajar PAUD yang ditempatkan di balai desa tersebut dihentikan dan dipulangkan paksa karena kejadian yang tak manusiawi tersebut.

Tak berhenti sampai di sana, massa menyeret Salim keluar balai desa menuju makam desa. Di sana Ia diminta berdiri dengan tangan terikat dan diangkat ke atas. Massa membacok perutnya tiga kali, tapi tak menimbulkan luka sama sekali. Hal ini membuat mereka geram. Kepala Salim kemudian dihantam batu sampai meninggal dan jatuh menelungkup. Tangannya masih diikat tali tambang. Tubuh dan kepalanya penuh luka akibat pukulan benda tumpul. Banyak batu dan kayu yang berserakan di sekitar korban.

Salim, petani Selok Awar-Awar itu mati mengenaskan. 

Pihak kepolisian dalam menindaklanjuti kasus ini relatif cepat. Tak sampai satu hari, ada 12 orang yang diamankan. Proses identifikasinya cepat. Berawal dari dua nama, dilacak lewat nomor telepon genggam dan tertangkap di Desa Jugosari Kecamatan Candipuro. Menurut AKBP Fadly Mundzir selaku Kapolres Lumajang, dua orang tersebut akan melarikan diri. 

Polisi terus mengembangkan proses investigasinya melalui dua orang tersebut. Hingga dua belas orang ditangkap dan ditahan di Mapolres Lumajang. Tak menunggu waktu lama, pada Hari Minggu polisi kembali menangkap 24 orang. Mereka memang masih menjadi saksi, namun polisi akan menetapkannya sebagai tersangka. Kepolisian Lumajang akan terus mempelajari kasus ini terkait adanya dugaan pembunuhan yang terencana. 

Kondisi Selok Awar-Awar belum kondusif dan masih mencekam. Beberapa pasukan gabungan diterjunkan khusus untuk menjaga keamanan di sana. AKP Eko Suprapto SH, selaku Kapolsek Pasirian mendatangi setiap tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh utamanya mereka yang tergabung dalam forum. Mereka diminta untuk menjaga keamanan bersama-sama karena ditakutkan akan adanya serangan balasan. Dalam kesempatan ini warga benar-benar mengharapkan keadilan, mereka ingin kasus ini diselesaikan secara tuntas. 

Siapa Sebenarnya Tim 12? Benarkah Kepala Desa Selok Awar Awar ada di Belakang Mereka?
Nama tim duabelas santer disebut sebagai dalang pembunuhan dan penganiayaan dua tokoh penolak tambang di Selok Awar-Awar. Seluruh warga memahami betul siapa mereka. Menurut salah seorang warga, Tim 12 adalah orang-orang T2. 

Pada awal pemilihan kepala desa Selok Awar-Awar, Hariyono selaku calon kepala desa menjadikan Tim 12 sebagai tim sukses. Pada masa pemilihan kepala desa tersebut, suasana desa sangat mencekam karena ada mereka. Tim 12 selalu dipersenjatai dengan senjata tajam. Kondisi yang sedang terjadi saat ini sama halnya dengan masa pemilihan kepala desa saat itu. Waspada dan mencekam. Hal ini dituturkan oleh warga yang tidak mau disebutkan namanya.

Program yang diunggulkan oleh Kepala Desa Hariyono waktu itu adalah membebaskan semua pajak bumi dan bangunan (PBB). Semua beranggapan bahwa pembayaran PBB itu hasil dari tambang pasir. Tim 12 adalah orang-orang yang menjadi pekerja kepala desa. Hal ini diperjelas dengan adanya portal pasir di depan balai desa. Setiap harinya, salah satu dari Tim 12 itu yang menjaganya. Satu truk membayar Rp350.000,- setiap melewatinya. 

Kaitan Tim 12 dan pertambangan pasir di Selok Awar-Awar tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah pekerja yang menangani khusus tambang pasir di sana. Beberapa diantaranya dimasukkan kedalam pemerintahan desa. Salah satunya menjadi LMDH, ia juga perancang bangun wisata Watu Pecak. Tim 12selalu mengintimidasi warga penolak tambang. Intimidasi itu berupa banyak hal, ada teror, sampai dengan bentuk kekerasan secara fisik.

Salah satu yang terekam oleh Dian --jurnalis Jawa Pos Radar Semeru-- tentang aksi Tim Duabelas ketika ada intimidasi kepada Tosan. Intimidasi itu dilakukan setelah aksi pencegatan truk pasir. Pada tanggal 9 September, warga penolak tambang mecegat truk pasir yang melewati jalan desa. Sehari kemudian, Tosan didatangi duapuluh orang dengan membawa senjata tajam. Tosan mengaku jika itu adalah Tim Duabelas. Mereka mendatangi rumah Tosan pada pukul 05.30 pagi. Saat itu Ia masih bisa melarikan diri ke polsek untuk mencari perlindungan. Menurut Slamet --salah seorang warga yang mengaku melihat kasus penganiayaan Tosan-- Tim Duabelas adalah pelaku penganiayaan pada Tosan.

Kedekatan antara Tim 12 dan kepala desa memang sudah diketahui oleh seluruh warga. Apalagi menyangkut kasus penganiayaan dan pembunuhan Salim Kancil yang lokasinya ditempatkan di balai desa. Tentu ada alasan khusus kenapa penganiayaan Salim dilakukan di balai desa, sebuah ruang publik tempat di mana setiap harinya kepala desa beraktifitas. Benarkah Hariyono dalang di balik semua ini? 

Tosan Dianiaya. Salim Dibunuh. Siapa Sebenarnya Mereka? 
Bagi warga Selok Awar-Awar, Salim Kancil kini adalah pahlawan. Ia adalah petani biasa. Setiap harinya mengelola lahan yang bersebelahan dengan pantai Watu Pecak. Perjuangannya menolak tambang menjadikannya korban pertama atas gejolak tambang pasir di Lumajang. Pria sederhana ini terlahir di Lumajang pada tanggal 22 April 1969. Pada tahun itu, Gaylord Nelson, Senator Amerika Srikat dari Wisconsin, sedang menggagas peringatan hari bumi. Tepat pada setahun usia Salim, 22 April 1970, majalah TIME pernah mencatat ada sekitar 20 juta manusia turun ke jalan. Berdemonstrasi dan memadati Fifth Avenue di New York untuk mengecam mereka yang merusak bumi. Tepat pada saat satu tahun usia Salim dunia memperingatinya sebagai Hari Bumi. Apakah ini sebuah kebetulan? 

Tosan pun demikian, bukan petani dan juga bukan orang asli Selok Awar-Awar. Namun Ia berani tampil di depan dalam penolakan tambang. Banyak warga yang salut dengan upaya dan perjuangan dua pria tersebut. 

Kasus Selok Awar-Awar ini menjadi tugu peringatan bagi Indonesia. Menjadi pengingat bahwa ada pertumpahan darah demi mempertahankan kelestarian tanahnya sendiri, tepat 24 hari menjelang satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Banyak yang menyayangkan adanya korban nyawa mengingat para pelaku juga warga sendiri.

Kesedihan menyelimuti Lumajang. Tak terkecuali kami yang ada di Jember. Apakah ini merupakan sebuah peringatan keras bagi para pegiat lingkungan untuk terus waspada? Semua di tangan Tuhan. Mari kita berusaha sekuat tenaga untuk tetap di jalan-Nya memperjuangkan apa yang seharusnya layak untuk kita perjuangkan. Semoga Salim mendapatkan tempat yang terang di sisi-Nya. Amin.

 

Salam Lestari,

Zuhana A.Z

---

Sore kemarin, 28 September 2015, pihak kompasiana tv menghubungi saya melalui kontak suami. Mereka meminta agar saya menjadi salah satu narasumber untuk talkshow via google hangout. Untuk kelancaran acara, kami melakukan tes jaringan sekitar pukul 16.30 WIB.

Di antara waktu itu, saya menghubungi seorang kawan, Dian Teguh Wahyu Hidayat, yang meliput untuk harian Radar Semeru. Saya tidak ada di lokasi kejadian, jadi saya berupaya mendapatkan banyak data dan gambaran detail kejadian lewat Dian. Sayang sekali, jaringan internet di rumah sedang tidak stabil. Video call tidak berjalan lancar. Akhirnya wawancara di-cancel, dan saya berjanji untuk membuat sebuah tulisan di Kompasiana. Semoga tulisan ini bisa membantu banyak. Mohon maaf apabila ada yang kurang.

Seluruh data mengenai kasus Selok Awar-Awar dalam tulisan ini saya dapatkan dari Dian Teguh Wahyu Hidayat, jurnalis Jawa Pos Radar Semeru. Terima kasih banyak. 

Untuk data sejarah hari bumi saya dapatkan dari Kang Alamendah : http://alamendah.org/2011/04/08/sejarah-hari-bumi-atau-earth-day/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun