Tahun Baru 2020, banyak PR baru menanti Indonesia agar bisa maju di era disrupsi digital, revolusi Industri 4.0. Salah satunya adalah persaingan di pasar bebas ASEAN yang kini tumbuh sebagai raksasa baru ekonomi dunia.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan mantan direktur pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani "Pada 2030, ASEAN diproyeksi akan menjadi ekonomi keempat terbesar di dunia". Hal itu diungkapkannya saat bicara di hadapan para akuntan se-ASEAN di The 1st ASEAN CPA Conference, Bali, Rabu (16/10/2019).
Asean sendiri adalah masyarakat yang mendiami wilayah tenggara Benua Asia. Dimana terdapat beberapa negara didalamnya yang telah bersepakat membangun suatu organisasi antara negara-negara di kawasan Asia tenggara.
Sementara Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau disebut juga Asean Economy Community (AEC) merupakan salah satu produk kebijakan yang dihasilkan oleh Organisasi ASEAN dalam bidang Ekonomi yang telah resmi berlaku sejak Desember 2015.
Secara umum MEA bertujuan untuk membentuk komunitas ekonomi tingkat regional ASEAN sebagai suatau integrasi ekonomi kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki tingkat daya saing yang tinggi. Selain itu juga untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan khususnya di wilayah ASEAN.[1]
Antara Peluang dan Tantangan
Indonesia bangsa yang besar dengan segala kekayaannya mulai dari 17.504 Pulau, 1.340 Suku bangsa, dan 546 bahasa telah menjadikan bangsa ini bangsa yang multy cultural. Hal yang biasa jikalau bangsa ini mudah bergejolak.
Namun falsafah hidup nasional dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” telah mempersatukan keberanekaan bangsa ini sehingga mampu bersaing ditengah-tengah himpitan perkembangan global yang kian kemari memberi dampak terhadap perkembangan bangsa ini.
Ditengah era revolusi industry 4.0, Indonesia malah tampil dengan berjuta masalah yang seakan dibuat pelik. Peluang besar dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi terabaikan.
Bukan tidak mungkin kalau bangsa ini nantinya hanya akan menjadi pasar empuk negara tetangga, melihat kesiapan mereka yang lebih mantap dalam menyambut ASEAN Community.
Thailand misalnya, sejak 2008 telah mempersiapkan diri menyambut MEA ini dengan mengajarkan Bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berbanding terbalik dengan Indonesia, kian kemari bukan berbenah diri ataupun mempersiapkan diri, malah sibuk sendiri-sendiri mengurusi persoalan politiknya yang tak jelas arahnya.
Kini AFTA (Asean Free Trade Area) atau MEA sudah resmi diberlakukan mulai tanggal 31 Desember 2015 kemarin. Catatan merah lapor Indonesia masih terpampang dimana-mana.
Perguruan Tinggi yang menghasilkan 600 ribuan pengangguran terdidik pertahunnya belum mampu terserap oleh lapangan kerja yang ada. Belum lagi masuknya tenaga kerja dari Negara-negara anggota ASEAN lainnya menambah padat persaingan yang ada.
Indonesia dengan berbagai kekayaan alamnya seakan terlihat berbangga, padalah ini bisa saja menjadi petaka begi kelangsungan dan kedaulatan bangsa. Berkaca dari sejarah, para penjajah nekat mengobarkan perang untuk suatu bangsa demi menguasai sumber daya yang ada. Kalau bangsa kita tidak segera berbenah, maka kedaulatan bangsa dan negara yang jadi taruhannya.
Penduduk ASEAN berjumlah 600 juta lebih, dan 43 persen ada di Indonesia. Dengan begitu bangsa kita kemungkinan besar menjadi target pasar utama bagi negara-negara yang terhimpun dalam ASEAN Community.
Sehingga, hemat penulis, Pemerintah dengan berbagai macam kesibukannya harus menyisihkan waktu khusus untuk membahas masalah ini. Dari dalam negeri misalnya, pemerintah harus memperkokoh regulasi tentang produksi dalam negeri, agar tidak kalah saing dengan produksi asing yang datang bak tsunami disiang hari. Pemerintah juga harus melakukan pelbagai macam pelatihan dan pembimbingan terhadap pelaku-pelaku usaha dalam negeri.
Dari segi Sumber Daya Manusia (SDM), pemerintah boleh membuat suatu kurikulum pendidikan yang mensyaratkan kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh dunia industri baik dalam maupun luar negeri di bidang manufaktur maupun jasa, yang ada dalam konteks kekinian.
Selain itu slogan “SDM Unggul, Indonesia Maju” oleh pemerintah saat ini harus sesegera diaktualisasikan. Agar kesenjangan yang terjadi dapat cepat teratasi sehingga pemerataan pembangunan dapat terwujud.
Dari sisi tenaga kerja, Indonesia tengah menikmati bonus demografi. Sebanyak 60 persen penduduk berusia dibawah 30 tahun dan puncaknya, tahun 2028-2030, 70 persen penduduk berada pada usia kerja 15-64 tahun.
Dengan bonus demografi ini, Indonesia mampu menjadi negara kaya jika jumlah tenaga kerja usia produktif yang lebih besar dibanding yang tidak produktif memiliki produktivitas tinggi.
Dan pemerintah harus mampu menghubungkan mereka dengan sistem perbankan agar meningkatkan kapital sebagai modal pengembangan usaha mereka. Tidak hanya itu, banyak Pekerjaan Rumah yang mesti terselesaikan.
Mulai dari kegaduhan para elit politik, korupsi yang masi meraja lela, hingga masalah kesenjangan pembagunan. Itu semua mesti dahulu diselesaikan sebelum bangsa ini bergerak maju kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H