Siapa yang sudah merasa lelah dengan di rumah saja?Â
Siapa yang sudah bosan belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan beribadah dari rumah?
Kalau pertanyaan itu ditanyakan pada saya, maka, saya akan mengacungkan jari tangan dan kaki dan apapun yang bisa diacungkan.Â
Walaupun saya bukan termasuk orang yang suka bepergian, tetap saja ini sudah berjalan 7 bulan belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan beribadah dari rumah. Saya teringat waktu awal awal Pandemi, di Bulan Maret. Seorang kawan saya bertutur, "kalau rumah kita hanya seukuran petak 3, 2 minggu di rumah saja itu sungguh sesuatu." Nah, itu baru 2 minggu lho. Apalagi sekarang?
Semakin hari, semakin terganggu, karena sebagai guru saya merasakan bahwa belajar dari rumah ini tidak efektif. Secara online, berbenturan dengan ketersediaan gadget, kuota/internet dan anak anak pun sudah ada pada titik jenuh menurut saya. Saat disurvey, nyata bahwa hanya 25% anak yang benar benar tinggal di rumah, selama masa sekolah di rumah ini. Apakah saat keluar rumah mereka menerapkan protokol kesehatan? itu sungguh tidak jelas.Â
Di sisi lain, berulang kabar berita terdengar tentang kerumunan orang di berbagai tempat, transportasi umum, pembagian bansos, bahkan ada konser yang diselenggarakan kontestan pilkada (kalau tidak keliru) tanpa masker atau dengan masker. Ini kapan akan berakhir pandemi, kalau kita tidak mulai melakukan anjuran pemerintah?
Sebagai kompasianer/ blogger yang nulis seingat dan sesenang hati, saya adalah bagian dari warga masyarakat yang sudah rindu event offline. Menyebalkan sekali, sedang seru-serunya mendengarkan paparan narasumber, mendadak sinyal turun dan suara hilang. Belum lagi keseruan berjumpa secara langsung yang tidak tergantikan oleh segala pertemuan virtual.Â
Akhir September kemarin, di antara kesibukan mempersiapkan pekerjaan baru, saya mengikuti Seminar Online Bareng Blogger, "Yuuuk Disiplin... Covid-19 Ambyar". Seminar ini dimulai pukul 13.00. Seminar yang diselenggarakan Ditpromkes Kemenkes dengan tiga nara sumber ini, (Bapak dr. Riskiyana. S. Putra, M. Kes, Ibu Dr. Rose Mini Agoes Salim, M. Psi, dan Ibu Wardah Fajri S. I. Kom) membuka wawasan dan memberi semangat saya untuk ambil bagian melawan covid-19.
Penjelasan dari dr. Riski memotivasi masyarakat yang mengikuti seminar untuk membangun norma baru yaitu Adaptasi Kebiasaan Baru, dengan tujuan bahwa bersama kita bisa mengatasi Covid-19. Paparan dr. Riski diawali dengan penjelasan ringkas mengenai virus covid 19. Gejala yang dialami penderita yang terserang virus serta bagaimana upaya untuk mengatasi penularan virus. Transmisi virus ini, terjadi bukan hanya interaksi antar manusia, namun juga terjadi karena menempelnya virus saat melakukan perjalanan, dan menyentuh benda benda yang terkontaminasi. Menggunakan masker, menjaga jarak dan menjauhi kerumunan, dan mencuci tangan pakai sabun mengurangi risiko penularan hingga 77%. Selain hal ini, maka perlu juga dilakukan meningkatkan imunitas tubuh. Caranya adalah dengan menjaga gizi seimbang dan melakukan pola hidup sehat (mengurangi stress, cukup istirahat)Â
Adaptasi kebiasaan baru ini, akan disebut berhasil, saat orang yang pakai masker, rajin cuci tangan dan menjaga jarak dianggap wajar, sementara yang tidak melakukan (tidak pakai masker, tidak jaga jarak dan tidak memperhatikan protokol kesehatan) sebagai orang yang ANEH
Bapak dr. Riski juga memaparkan update isu/kondisi Covid-19 dan menekankan pentingnya peran blogger dalam membantu menyebarkan informasi kesehatan terkait pencegahan dan pengendalian Covid-19 melalui lini/channel masing-masing dengan sebelumnya meng-update informasi dari sumber-sumber resmi/official, media sosial Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, serta sumber resmi lainnya.
Dr. Rose Mini. M.Psi (biasa dipanggil Bunda Romi), sebagai narasumber kedua memaparkan keprihatinannya dengan tidak adanya disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan.Â
Mengapa tidak melaksanakan protokol kesehatan?Â
1. kurangnya moral virtue.Â
Protokol kesehatan yang dilakukan dengan kesadaran pribadi ini merupakan kesadaran moral. Tidak ingin melukai orang lain (menulari penyakit), peduli pada orang lain. Ada 7 hal yang dibahas mengenai moral virtue ini oleh Bunda Romi. Â
- Empati (Empathy), kemampuan memahami perasaan orang lain. Bisakah kita membayangkan dan merasakan perasaan orang lain saat kita batuk/bersin tanpa masker di dekatnya? Tidak usah di era pandemic seperti saat ini, pada masa tidak sedang pandemipun orang mungkin merasa tidak nyaman dan terganggu. Lalu bagaimana perilaku kita mengondisikan empati ini?
- Hati Nurani (Conscience), suara hati yang menyuarakan mana yang benar & salah. Jika sudah tahu, apa? Kita perlu melakukan yang benar, tanpa harus disuruh/ dipaksa lagi.
- Kontrol Diri (Self-control), kemampuan mengendalikan dorongan dan berpikir sebelum bertindak.
- Menghargai (Respect), kemauan memperlakukan dan menganggap orang lain berharga.
- Kebaikan (Kindness), perhatian terhadap kesejahteraan orang lain.
- Tenggang Rasa (Tolerance), penghargaan terhadap perbedaan kualitas tiap individu.
- Keadilan (Fairness), kemauan memperlakukan orang lain secara layak, adil, dan tidak memihak
2. kesalahan dalam proses belajar.Â
Proses belajar membutuhkan pemahaman, dalam hal ini terkait usia budaya dan tingkat pendidikan mempengaruhi. Dalam proses belajar ini afektifnya perlu juga melihat, dan merasakan konsekuensi dari belajar itu, dan psikomotorik nya yaitu tingkah laku memerlukan pembiasaan. Pembiasaan ini memerlukan waktu dan konsistensi tentunya.Â
Menerapkan kebiasaan baru ini secara eksternal dipengaruhi oleh, aturan yang tidak baku (disuruh menjauhi kerumunan kok pilkada? Ada pimpinan daerah membuat konser musik), ketiadaan contoh (pemimpin yang melaksanaan protokol kesehatan secara ketat) dan konsekuensi yang tidak tepat/ketat (denda, membersihkan tempat umum jadi malah untuk konten instagram, dst).
Secara ringkas beliau menyatakan ada beberapa cara untuk meningkatkan kesadaran diri dalam adaptasi kebiasaan baru.Â
Pertama, perkuat moral virtue, kenali manfaat 3 M (Menggunakan masker, Menjaga Jarak, Mencuci tangan dengan sabun), terapkan kebiasaan konsisten, dengan mempermudah, bukan mempersulit contohnya, siapkan masker lebih dari satu, letakkan di tempat yang mudah dijangkau, dan mulailah dari diri sendiri, (karena dirilah yang bisa Anda kendalikan) lalu bawa pengaruh ke lingkungan Anda agar menjadi contoh untuk lingkungan. Mbak Wardah Fajri (Founder Komunitas Blogger Crony) sebagai narasumber ketiga menceritakan bagaimana komunitas menjadi support sistem dalam masa pandemi ini. BloggerCrony sebagai salah satu komunitas pun menjadi fasilitator blogger anggota komunitas untuk menyebarkan pesan positif pro-kesehatan gerakan nasional #SelaluPakaiMasker di media sosial. Komunitas dapat menjadi pembawa semangat empati seperti penuturan Bunda Romi.Â
Pemaparan ketiga narasumber dalam diskusi ini mengingatkan saya, bahwa, jangankan di luar sana, saya saja masih harus terus berupaya membangun kebiasaan baru ini. Menggunakan masker dengan konsisten, mencuci tangan dan juga menjaga jarak. Bagaimana dengan kamu? Sudahkah kamu punya kesadaran moral melaksanakan 3 M, untuk melawan Covid-19?Â
Salam sehat, Salam Edukasi
Maria Margaretha
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H