"Ganti Menteri Ganti Kebijakan"
Pernyataan ini bukan hal yang baru didengar. Dalam dunia pendidikan, ganti menteri pendidikan ganti kurikulum. Benarkah? Pertanyaan inilah yang saya bawa dalam pikiran saya saat hadir di acara Perspektif Kompasiana, hari Senin, 6 Agustus 2018, di kantor Kemendikbud.
Dalam acara yang disebutkan akan dihadiri langsung oleh Pak Muhadjir Effendy ternyata sebagian Kompasianer harus menelan kekecewaan karena Pak Menteri dipanggil oleh Presiden. Penggantinya, Pak Ari Santoso, Ka Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat, menyampaikan presentasinya seputar kebijakan zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dan dinamika pendidikan nasional.
Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter masyarakat, generasi muda Indonesia. Untuk mewujudkan pendidikan nasional yang merata, Kemendikbud terus berupaya meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan nasional. Upaya terbaru diimplementasikan dalam Permendikbud no 14 tahun 2018, perihal Sistem Zonasi PPDB.
Saya sempat membaca sejumlah timeline media sosial teman teman membahas perihal sistem zonasi ini. Beberapa yang sudah mengikuti sosialisasi dari sekolah sebelumnya, dan rajin memantau aturan-aturan kependidikan, sudah menyiapkan anak-anak mereka. Beberapa lainnya tentu tidak terlalu memikirkan karena telah menyiapkan dana untuk mengirimkan anaknya melanjutkan di sekolah swasta.
Ya. Dalam hal Sistem Zonasi PPDB, yang terdampak langsung kebijakan ini adalah peserta didik yang ingin belajar di sekolah negeri. Baik SD, SMP, dan juga SMA. Jadi pertemuan perspektif Kompasiana ini merupakan sosialisasi lebih jauh, serta usaha Kemendikbud untuk mendengar dari masyarakat lewat Kompasianer.
Ada 3 sudut pandang utama yang saya rangkum dalam pertemuan ini.
1. Sudut pandang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan Zonasi ini.
Tujuan kebijakan Zonasi ini baik. Bahwa Permendikbud No 14 tahun 2018 ini, bertujuan melakukan pemerataan pendidikan di mana setiap sekolah negeri wajib menerima 90% siswa berdomisili terdekat dari total daya tampungnya. 5 % dari pindahan, dan 5% dari jalur prestasi. Tanpa membedakan kemampuan materi (keuangan) dan juga akademik (nilai). Alasan yang disebutkan pak Ari adalah,
A. Menjamin pemerataan akses pendidikan, di mana anak anak pasti bisa sekolah dengan jumlah nilai berapapun dan lebih dekat dengan sekolahnya. Sistem Zonasi ini tidak dipaksakan untuk daerah 3 T (terluar, terdepan dan tertinggal) yang jumlah sekolahnya saja sudah terbatas.Â
B. Mendorong kreativitas pendidik dalam kelas yang heterogen. Ini adalah hal yang sempat muncul di lini masa media sosial seorang teman, yang berbicara bahwa dengan beragamnya peserta didik maka kebutuhan juga beragam, bagaimana pemenuhan dalam kegiatan belajar di kelas? Enak, kalau muridnya sudah pintar semua, pendidik tinggal memoles potensi. Tetapi perbedaan kemampuan menuntut pendidik berbenah dan menjadi kreatif.
C. Mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik. Tidak ada lagi peserta didik yang mengejar sekolah favorit sampai harus melakukan perjalanan berjam-jam untuk ke sekolah.
D. Menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri. Selama ini di masyarakat dikenal sekolah sekolah negeri tertentu yang ekslusif karena sering memenangkan kompetisi, maupun meraih prestasi.
E. Membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru. Distribusi guru yang seimbang sesuai rasio murid penting, agar anak anak yang sekolah ini mendapat guru guru yang baik.
F. Meningkatkan akses layanan pendidikan bagi kelompok rentan. Anak anak dengan kebutuhan khusus dapat diterima dan belajar tanpa melihat tingkat intelektual semata, namun juga lebih mendahulukan kesempatan belajar yang samaÂ
G. Membantu pemerintah memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran
H. mencegah penumpukan SDM berkualitas di suatu wilayah.
I. Mendorong Pemda setempat dalam pemerataan kualitas pendidikan.
J. Meningkatkan keragaman peserta didik di sekolah. Â
Adalah mudah bagi sekolah yang menerima anak anak pandai mendapatkan prestasi dalam kompetisi antar sekolah. Bagaimana dengan sekolah yang kebanyakan siswanya memang berkemampuan biasa?Â
Adalah menyenangkan mendapat siswa yang orang tuanya peduli pendidikan akan anak mereka daripada mendapat siswa dari latar belakang broken home misalnya. Tantangan pendidik lebih terklarifikasi. Dengan sistem zonasi, pendidik perlu kecakapan mengembangkan yang kurang serta meningkatkan yang lebih. Kreatif dan inovatif.Â
2. Sudut pandang guru.
Dalam nangkring/acara Perspektif Kompasiana ini, saya dan beberapa guru lainnya menyatakan juga sejumlah keprihatinan.Â
A. Kiprah sekolah swasta.Â
Kebijakan zonasi ini membuat sekolah swasta tak dapat bersaing seperti pada masa lalu.Â
Sudahlah sekolah swasta membayar, tentu masih ada kebutuhan lainnya. Seperti biaya pakaian seragam, transportasi, buku dan sebagainya. Tidakkah pemerintah akan melihat nasib sekolah swasta ini?
B. Kesiapan guru
Apakah guru siap dengan kewajiban menjadi kreatif ini? Jangankan di sekolah negeri, guru sekolah swasta pun menjerit jika kelasnya heterogen.Â
Masalah lain dari kesiapan guru adalah tanggung jawab profesionalitas.Â
Dalam salah satu tulisan lini masa seorang kawan di media sosial, ia menyampaikan keluhan anaknya yang dari sekolah swasta masuk ke sekolah negeri di mana, walaupun boleh dibilang bermutu baik di sekolah negeri tersebut guru sering tidak muncul di kelas. Anaknya menilai kualitas sekolah negeri di bawah sekolah swasta tempatnya belajar sebelumnya.Â
3. Sudut pandang orang tua murid.Â
Kecurangan yang terjadi setelah pemberlakuan sistem zonasi ini. Seperti praktek penggunaan SKTM yang tidak benar untuk memaksakan anaknya masuk di sekolah sekolah yang diharapkan.Â
Pada dasarnya, kebijakan yang disiapkan ini baik, namun perlu evaluasi berkelanjutan, dan janganlah seperti disebutkan pada awal. Ganti menteri ganti kebijakan. Terutama di wilayah pendidikan.Â
PR besar dari kebijakan ini adalah,Â
1. Kementerian pendidikan dan kebudayaan harus terintegrasi dengan dinas provinsi dan kota untuk distribusi guru, serta siswa dengan kasus seperti, rumah perbatasan, antar kabupaten/kota jadi harus pergi ke sekolah jauh karena ternyata beda kota/kabupaten. Padahal hanya berseberangan atau bersebelahan.Â
2. Membangun mental masyarakat jujur. Tidak berlaku curang dengan SKTM, atau hal lain. Memang, dalam hal ini kementerian memberikan saluran pelaporan. Namun alangkah baiknya jika kita sendiri sebagai warga masyarakat memilih untuk tidak menggunakan cara cara curang dan berbuat sesuai aturan yang diharapkan.Â
Dalam hal evaluasi ini,
Perlu transparansi dalam detailnya. Karena anggaran pendidikan dan kebudayaan yang besar seharusnya bisa menghasilkan kualitas yang sesuai.Â
Salam Edukasi,
Maria Margaretha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H