Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sakit Bergotong Royong dengan Iuran Bulanan, Jangan Meninggal Tak Digotong Orang-orang yang Dikenal

19 September 2016   20:51 Diperbarui: 19 September 2016   21:08 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Beban JKN, Banyak Pasien Sakit Parah” adalah sebuah judul berita di KOMPAS, Jumat (16/9) yang kian menunjukkan perlu adanya uluran tangan kita, bersama. Ya, bersama secara gotong-royong.

[caption caption="Sumber: Materi Nangkring BPjS "][/caption]

Tegakah kita melihat orang sakit, dan sampai tak tertangani dengan baik di Rumah Sakit? Rata-rata jawabannya: tidak. Niscaya. Karena, lebih-lebih jika ia meninggal, dengan “disebabkan” penanganan yang minim. Padahal, ia saudara kita juga, warga dari negeri ini. Oleh karenanya, dibutuhkan pertolongan, perawatan dari kita juga. Biarkan Pemerintah yang sedang mengupayakan warganya sehat hingga bisa produktif mengelolanya. Kita bahu-membahu sebisa yang dapat dilakukan. Dan ketika meninggal, digotong warga, tetangga dan kerabat.

[caption caption="Sumbe: materi Nangkring"]

[/caption]

“Beban JKN, Banyak Pasien Sakit Parah” adalah sebuah judul di KOMPAS, Jumat (16/9) yang kian menunjukkan perlu adanya uluran tangan kita, bersama. Ya, bersama secara gotong-royong. Tersebab, tanpa aksi nyata peningkatan derajat kesehatan warga, defisit dana pengobatan penyakit akan membengkak. “Apalagi, kepersertaan JKN baru sekitar 60 persen dari jumlah total penduduk,” catat KOMPAS, lebih lanjut. JKN, Jaminan Kesehatan Nasional.

Puskesmas Menjadi Andalan

Bila kita tengok kondisi seperti tersebut di atas, maka menjadi cukup gamblang perihal kesehatan warga negeri ini. Bisa dibayangkan, jika sekitar 80 persen peserta JKN harus ditangani di rumah sakit, hanya 20 persen di antaranya yang dapat ditangani di Puskesmas. “Mereka menderita penyakit katastropik, penyakit berbiaya tinggi, dan secara komplikasi bisa membahayakan nyawa pasien,” tandas Menteri Kesehatan Nila A. Moeloek.

Dengan indikasi terkini tersebut, tak pelak dibutuhkan kebersamaan di tengah kondisi keuangan Negara yang belum membaik. Sebab, bagaimanapun juga program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) punya keterbatasan-keterbatasan yang nyata. Di mana pembangunan Kesehatan lebih mengutamakan aspek pengobatan dibandingkan dengan aspek promosi dan aspek pencegahan penyakit bagi warga negeri ini pada umumnya, utamanya saudara-saudara kita di daerah yang sulit mengakses ke Rumah Sakit dan sebutlah Puskesmas. Kata lain, Puskesmas masih menjadi andalan penanganan kesehatan warga.

Program BPJS Kesehatan menjadi niscaya untuk digotong bersama, bersama-sama. Antara yang mampu dan yang kurang mampu. Ini, kalau tak ingin menjadi abai seperti pada masa-masa lalu, ketika kita digempur keluhan warga dan berita-berita warga yang sakit dan tak tertangani secara baik.Meski kita ketahui, program ini bagai sebuah oase perihal kesehatan warga. Dan fakta-fakta yang ada, di mana bisa dinikmati oleh siapa pun yang kemudian menjadi “anggota” program ini.

Pertanyaan selanjutnya, seperti apakah kiranya agar dalam soal yang tak diinginkan siapa pun sebagai si sakit, menjadi terwadahi sebagaimana negeri ini dibangun oleh warganya: bergotong-royong. Sebab, cerita orang-orang yang “tertangani” dalam pengobatan meski mereka baru menjadi anggota atau pemegang Kartu BPJS Kesehatan kelas apa pun, akan menjadi lain ceritanya apabila ada warga yang kebetulan tak tertangani secara baik. Mengingat, ini masalah kesehatan, dan bahkan masalah nyawa.

Gotong Royong, kok Jalan Sendiri-sendiri

Apabila soalnya adalah kebersamaan atau gotongroyong, sesungguhnya ini bukan hal baru, walau ini soal kesehatan orang per orang. Karena kita, sudah selayaknya, sesama orang (warga) yang tak bisa mengelak untuk masalah sehat dan tidak sehat, pada kata-kata bertenaga ini: “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotongroyong. Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” seru Bung Karno.

Artinya, sungguh jelas. Bahwa dalam soal ini, kita adalah satu! Bersatu. Dan ini, “tulen” atau asli milik kita sendiri. Lebih-lebih, ketika ada satu di antara kita yang sakit, maka yang sehat ikut merasakan si sakit. Namun mengingat masalah kesehatan adalah tubuh seseorang, dan perlu penanganan secara bijak dan benar. Persisnya: perlu berobat ketika sakit. Dan tempatnya, secara umum adalah Rumah Sakit atau Puskesmas.

Jika merujuk pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, Pemerintah (baca: BPJS) cukup jelas dalam perannya. Bahwa, termasuk di antaranya: Memberikan informasi tentang penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat, mengumpulkan dan mengelola data peserta; membayar manfaat dan/atau membiayai pelaksanaan kesehatan sesuai ketentuan program Jaminan Sosial.

Bayu Wahyudi, Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga berulangkali – dalam acara-acara nangkring di Kompasiana – bisa kita pahami ucapannya perihal bagaimana BPJS Kesehatan agar bisa sehat, dan tetap berlangsung. Sebab, kegotong royongan menjadi niscaya agar warga negara ini bisa menikmati “layanan” dari Rumah-RumahSakit – baik yang Negeri atau Swasta – dan Puskesmas secara baik. Kegembiraan lain, ada kesadaran dari RS Swasta tentang “kewajibannya” melayani peserta BJPS Kesehatan. Dan meningkat dari tahun ke tahun.

Dan masyarakat, pun menyadari. Bahwa perihal kesehatan, bisa datang sewaktu-waktu. Yang artinya, bila celengan atau tabungan tak ada saat “penyakit” tiba, bisa digantungkan pada iuran selama ini – di kelas apa pun sesuai dengan kemampuannya. Selazimnya, hitung-hitungannya, iuran bulan itu sebagai sebuah tabungan yang mestinya tidak pakai ribet lagi. Sedangkan kita tahu, ini masalah nyata, dan bukan sebuah penyesalan di kemudian hari.

Mestinya, pemeo bahwa: orang meninggal tidak bisa jalan sendiri kecuali ditandu atau digotong tetangga dan orang lain, menjadi sebuah peringatan faktual. Artinya, semasa sehat sekarang, beriuran dan untuk kepentingan pribadi-pribadi di sebuah negeri bernama Indonesia, mengingat apa yang dicetuskan Bapak Pendiri Bangsa: Bung Karno. Ada silang dan saling membantu di antara peserta dalam program kesehatan masyarakat ini.

Pemerintah – dalam hal ini penyelenggara BPJS – menyadari perlu mengelola secara bijak dan ketat semisal adanya Kartu Palsu perihal kesehatan ini yang pernah beredar terjadi. Tak bisa ditolerir bagi yang melakukan tindak penipuan ini. Karena ini semacam bentuk “pembunuhan” juga bagi warga yang punya hak untuk sehat.

FB: Maria cinta margaretha

Twitter: @mariamargareth20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun