“Beban JKN, Banyak Pasien Sakit Parah” adalah sebuah judul berita di KOMPAS, Jumat (16/9) yang kian menunjukkan perlu adanya uluran tangan kita, bersama. Ya, bersama secara gotong-royong.
[caption caption="Sumber: Materi Nangkring BPjS "][/caption]
Tegakah kita melihat orang sakit, dan sampai tak tertangani dengan baik di Rumah Sakit? Rata-rata jawabannya: tidak. Niscaya. Karena, lebih-lebih jika ia meninggal, dengan “disebabkan” penanganan yang minim. Padahal, ia saudara kita juga, warga dari negeri ini. Oleh karenanya, dibutuhkan pertolongan, perawatan dari kita juga. Biarkan Pemerintah yang sedang mengupayakan warganya sehat hingga bisa produktif mengelolanya. Kita bahu-membahu sebisa yang dapat dilakukan. Dan ketika meninggal, digotong warga, tetangga dan kerabat.
[caption caption="Sumbe: materi Nangkring"]
“Beban JKN, Banyak Pasien Sakit Parah” adalah sebuah judul di KOMPAS, Jumat (16/9) yang kian menunjukkan perlu adanya uluran tangan kita, bersama. Ya, bersama secara gotong-royong. Tersebab, tanpa aksi nyata peningkatan derajat kesehatan warga, defisit dana pengobatan penyakit akan membengkak. “Apalagi, kepersertaan JKN baru sekitar 60 persen dari jumlah total penduduk,” catat KOMPAS, lebih lanjut. JKN, Jaminan Kesehatan Nasional.
Puskesmas Menjadi Andalan
Bila kita tengok kondisi seperti tersebut di atas, maka menjadi cukup gamblang perihal kesehatan warga negeri ini. Bisa dibayangkan, jika sekitar 80 persen peserta JKN harus ditangani di rumah sakit, hanya 20 persen di antaranya yang dapat ditangani di Puskesmas. “Mereka menderita penyakit katastropik, penyakit berbiaya tinggi, dan secara komplikasi bisa membahayakan nyawa pasien,” tandas Menteri Kesehatan Nila A. Moeloek.
Dengan indikasi terkini tersebut, tak pelak dibutuhkan kebersamaan di tengah kondisi keuangan Negara yang belum membaik. Sebab, bagaimanapun juga program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) punya keterbatasan-keterbatasan yang nyata. Di mana pembangunan Kesehatan lebih mengutamakan aspek pengobatan dibandingkan dengan aspek promosi dan aspek pencegahan penyakit bagi warga negeri ini pada umumnya, utamanya saudara-saudara kita di daerah yang sulit mengakses ke Rumah Sakit dan sebutlah Puskesmas. Kata lain, Puskesmas masih menjadi andalan penanganan kesehatan warga.
Program BPJS Kesehatan menjadi niscaya untuk digotong bersama, bersama-sama. Antara yang mampu dan yang kurang mampu. Ini, kalau tak ingin menjadi abai seperti pada masa-masa lalu, ketika kita digempur keluhan warga dan berita-berita warga yang sakit dan tak tertangani secara baik.Meski kita ketahui, program ini bagai sebuah oase perihal kesehatan warga. Dan fakta-fakta yang ada, di mana bisa dinikmati oleh siapa pun yang kemudian menjadi “anggota” program ini.
Pertanyaan selanjutnya, seperti apakah kiranya agar dalam soal yang tak diinginkan siapa pun sebagai si sakit, menjadi terwadahi sebagaimana negeri ini dibangun oleh warganya: bergotong-royong. Sebab, cerita orang-orang yang “tertangani” dalam pengobatan meski mereka baru menjadi anggota atau pemegang Kartu BPJS Kesehatan kelas apa pun, akan menjadi lain ceritanya apabila ada warga yang kebetulan tak tertangani secara baik. Mengingat, ini masalah kesehatan, dan bahkan masalah nyawa.
Gotong Royong, kok Jalan Sendiri-sendiri