Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

(Lomba PK) Karena Potretan Karina

2 Juni 2016   21:10 Diperbarui: 2 Juni 2016   21:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Doc Planet Kenthir"][/caption]

Mama selalu kesal pada Papa. Setiap permintaan Karina untuk punya HP canggih selalu dipenuhi. Anehnya, anak itu tahu saja gadget terbaru itu. Entah dari mana ia tahu. Ah, anak sekarang, pikir wanita yang hanya menggunakan HP tiga tahun lalu. HP yang dianggap sudah lebih dari cukup bagus. Setidaknya, ada cameranya juga. Sehingga ia kalau ingin selfie, tinggal ceklik!
“Ini yang terakhir,” sahut Karina ketika melintas dan ditegur Mama.
“Kamu bilang yang terakhir?” Mama tak percaya.
“Ya. Karena ini yang tercanggih, Ma. Dalam setahun, model ini nggak ketinggalan. Pokoknya super, komplet!”
Mama hanya geleng-geleng kepala. Pussiiiing! Namun dalam hati, ia berdoa. Agar apa yang dikatakan anak yang baru lulus SD ini tak meleset. Karena ia perlu persiapan Karina masuk SMP. Sebuah sekolah yang telah lama diimpikannya. Dan beruntungnya, nilai SD Karina bagus semua. Sudah dipastikan ia akan sekolah di SD Lampu Ajaib.
Pagi itu, Karina sudah entah ke mana. Padahal, ini liburan hari terakhir dan segera pulang.
“Ada saja anak itu beralasan,” desis Mama sehabis membaca buku The Da Vinci Code. Di sampingnya, Papa masih asyik dengan dengan laptopnya. Cengar-cengir. Selalu kerja, di mana pun, gerutu wanita itu.
“Mbok biarkan saja, sih Ma. Toh, ia baik-baik saja. Belajar benar. Dan bisa membawa diri,” sahut Papa tanpa lepas dari layar laptop.
“Tapi, kalau kenapa-kenapa? Ini kan bukan daerah yang dikenalnya. Walaupun kita pernah ke sini.”
Papa tertawa.
“Nah. Mungkin ia ingin ke tempat yang pernah dikunjunginya lagi pada saat kita dulu kemari.”
Mama mendengus. Kesal. Selalu, membela Karina, katanya dalam hati.
“Halo ....!” sahut Mama ketika HP-nya berdering. Apalagi dari nomor lokal. “Ya, saya sendiri, mamanya.”
“Baik. Kalau begitu, ada anak buah saya ke situ....”
“Anak buah ...,” desis Mama. Bingung. Sangat.
Dan jantungnya berdegup keras. Karena dalam waktu sangat singkat, sudah muncul dua orang Polisi. Kali ini, Papa juga deg-degan juga.
“Karina ... anak Bapak-Ibu?” tanya Polisi yang lebih senior setelah mengucapkan selamat pagi.
“Ya, ada apa dengannya, dengan Karin?” Mama kian bingung.
Polisi itu menenangkan. Lalu dengan singkat, menyebutkan kejadian yang mengaitkan dengan Karina.
“Kita ke Kantor Polisi saja ....”
“Astaga...!” sebut Mama. Meski ia ditenang-tenangkan oleh Papa.
Papa dan Mama Karina pun naik mobil polisi. Sebuah pengalaman yang sebelumnya tak pernah. Berdua, naik mobil polisi. Walaupun mereka ditenang-tenangkan Polisi.
“Karina hebat ...!” kata Polisi yang lebih muda. “Ia cerdas dan cergas.”
“Apa itu cergas?” tanya Mama yang tampak gusar.
“Trengginas.”
“Apa itu trengginas?”
“Gesit.”
“O!”
Mereka pun tiba di Kantor Polisi yang bersih dan dikelilingi tanaman yang rapi. Mungkin seperti layaknya daerah wisata pegunungan itu yang dikenal dengan penjualan bibit tanaman hias. Termasuk pucuk merah dan palem.
“Kariiiin ...!” seru Mama.
“Mama!” seru Karina pula, dengan wajah sumringah. Tampak biasa tenang walau berada di Kantor Polisi. Ya, dan berurusan dengan Polisi pula.
“Karin baik-baik, saja, Ma, Pa ....”
Lalu dari mulutnya nerocos penjelasan yang membuat Mama lega. Papa senyum-senyum, dan mengacungkan jempolnya. Dan saat itu, klik! Karina memotret Papa.
“Kok Mama nggak dipotret?” potresnya.
Karina tertawa lebar.
“Tadi, jelek sekali sih ...hihihi.”
“Husssy!”
Karina tertawa lagi. Polisi yang ada di ruang itu pun sebagian senyum-senyum. Meski ada yang tertawa kecil. Sementara, tak jauh dari mereka ada seorang lelaki wajahnya ditekuk.
“Jadi, karena potret Karina puteri Bapak-Ibu, pencurian itu bisa digagalkan,” tutur Kepala Polisi di Pos Polisi yang nyaman itu. “Dialah pelakunya.”
Lalu Polisi itu memperlihatkan hasil pemotretan Karina yang sudah diprint. Ah, lumayan lengkap juga Kantor Kepolisian di daerah Guci itu. Lengkap pula adegan yanf diambil Karina. Dari mengintip, sampai masuk lewat jendela dan keluar dengan menggondol laptop.
“Kami mengucapkan terima kasih pada Karina atas keberaniannya,” pungkas Polisi itu, mantap.
“Itu karena HP saya canggih, Pak!” cetus Karina. “Ada zoom ...ada ....”
Polisi itu tertawa. Juga diiringi anak buahnya.
“Ya, ya. Mungkin model ini belum ada di sini. Atau, kami belum bisa membelinya.”
Mereka, Karina, Mama dan Papa pun diantar ke luar dari Kantor Polisi.
“Boleh saya memotret ... pencuri itu lagi, Pak?” celetuk Karina.
“Ah, untuk apa?” sahut Kepala Polisi itu.
“Bahan cerita kepada teman-teman. Kalau ini bukan hoax ....”
Mereka tertawa.
“Kamu berbakat jadi ditektif dan wartawan,” sebut Pak Polisi seraya menepuk pundak Karina sebelum berpisah.
 “Saya mau jadi wartawan saja,” jawab Karina. “Kalau bisa CNN ...!”
Mama kali ini tak bisa menyembunyikan kebanggaannya. Seperti saat ia jatuh cinta pada Papa, Pepih Nugraha.
***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun