Rasa Hormat
Oleh Maria Margaretha
Pekan ini, saya sedang terserang penyakit iseng yang akut. Sepekan penuh, setiap subuh saya posting puisi. (kalau ada yang memperhatikan). Di kelas tak kalah iseng. Saya berkisah tentang suatu idiom yang pernah saya dengar, entah di mana. Ini bunyinya, "1. Guru tak pernah salah. 2. Kalau guru salah, lihat no 1.
Bayangkan gondoknya murid-murid saya. Sementara pada awal tahun ajaran saya mengatakan bahwa, setiap orang bisa melakukan kesalahan. Saya juga menerangkan bahwa kelak saat mereka kuliah ada 2 aturan yang sama. 1. Senior tak pernah salah. 2. kalau senior salah, lihat no 1. atau, 1. dosen tak pernah salah. 2. Kalau dosen salah, lihat no 1. Anak didik saya yang kritis langsung cemberut bahkan ada yang mewek, siap menangis. Lalu saya melanjutkan lagi. Pada saat kerjapun, ada aturan bahwa, " 1. Boss/atasan tak pernah salah. 2. Kalau Boss/atasan salah, lihat no 1."
Riuhlah kelas, dengan ketidakpuasan. Kemudian, saya jelaskan, bahwa sebenarnya aturan itu belum tentu benar, karena, guru, senior, dosen, boss dan atasan itu manusia biasa. Tentunya mustahil tidak berbuat salah. Padahal, kalau berbuat salah harus dianggap benar juga?
Setelah itu saya melanjutkan bahwa esensi kata tidak pernah salah itu bukanlah, tidak membuat kesalahan. Tetapi, bahwa bagaimana mereka memperbaiki kesalahan dan melakukan yang benar.
[caption id="attachment_292161" align="aligncenter" width="300" caption="Well, Guru tak pernah salah. Biar ngga bisa berenang pegangan aja sama anak-anak... "][/caption] Tidak ada orang yang tidak pernah berbuat salah. Orang tua kita sendiri sekalipun, itu saya jelaskan pada anak-anak didik saya. Kita berhutang rasa hormat, untuk menyatakan pendapat kita pada mereka dengan cara yang baik.
[caption id="attachment_292163" align="aligncenter" width="300" caption="Cari Solusi, bukan yang salah."]
Salah satu anak saya sudah berkali-kali saya nasehati, untuk fokus saat pelajaran, main uang saku saat ada guru mengajar. Ketika uang saku dan kotak pensilnya diambil, anak tersebut menangis dan mengatai guru tersebut dengan kata-kata kasar, di depan anak lain.
Saya tidak bisa menyalahkan guru yang menyita uang itu. Saya juga tidak bisa meremehkan kekesalan anak itu. Dari kejadian ini, saya mengajak anak-anak di kelas saya mengambil suatu pemikiran.Bagi anak-anak, uang saku yang disita adalah hukuman yang terlalu berat. Bagi guru diabaikan saat mengajar juga tidak hormat. Kejadian sudah berlalu, apa yang bisa dipelajari?
Saya memberikan nasehat. Kalau kamu merasa salah, lawanlah rasa takutmu, mintalah maaf. Guru itu manusia biasa, pernah jadi anak-anak sepertimu. Ia juga punya hati. Pasti ia mau mengembalikan uangmu, kalau kamu bersikap hormat. Jangan ulangi lagi. (kebetulan, sitaannya diberikan pada saya, jadi mendengar laporan tangisannya belum makan, saya segera memulangkan uang tersebut kembali)
Malamnya saya jadi berpikir. Iseng lenyap, pikiran muncul. Berapa kali saya tersandung dengan hal semacam anak-anak saya ini. Merasa benar dan tak mau melihat pada sisi sebelah?
Bukan hanya saya. Mungkin kita semua. Kita sibuk mencela para pemimpin, menganggap mereka tidak melayani kita. Kita berteriak melalui media sosial, kenapa ini begini, kenapa itu begitu. Pemimpin ini begini dan pemimpin itu begitu. Sementara, apa sih yang sudah kita lakukan? Sudahkah kita mengambil bagian melakukan sesuatu? Kalau ada korupsi, apakah semata-mata salah mereka? Atau kita yang sebenarnya membuatnya demikian? Kalau ada banjir, apa memang salah mereka? Atau kita kurang menjaga kebersihan? Kita berhutang rasa hormat, dan kita perlu merefleksikan diri.
Refleksi diri dari pikiran yang sedang suntuk
Maria Margaretha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H