Sendiri, Suatu Kemewahan
Oleh: Maria Margaretha
"dengan kesendirianmu, kamu memiliki kendali penuh atas waktumu. Bukankah itu suatu kemewahan?"
Akhir pekan ini, setelah sepekan sibuk di sekolah yang menjelang penerimaan raport, saya ambruk lagi... bangun jam 7.15, hal yang biasanya tidak terjadi. Menuliskan ini, karena sedikit kaget, membaca suatu artikel, yang rupanya ditulis untuk/mengenai saya, tanpa sekalipun saya dicolek penulisnya, sampai setelah pertemuan Kamis kemarin, di Poem Kafe dalam perjalanan menuju blok M. (http://media.kompasiana.com/buku/2013/12/20/buku-komik-dalam-kesendirian-ra-kosasih-catatan-untuk-sahabat-620085.html)
Poem Kafe? Lagi? Iya Poem Kafe.
Tempat ini memang akhirnya menjadi tempat unik bertemu kompasianer penulis seperti Pak Thamrin Sonata, Pak Isson Khairul, Pak Suwartomo (tuan rumah yang juga pengelolanya), Mbak Ngesti dan mbak Rokhmah.
Pertemuan yang digagas kebetulan, dan sebenarnya cukup terencana, karena melalui SMS-an dengan mbak Rokhmah dan Pak Thamrin, sehari sebelumnya. Awalnya adalah tulisan saya di hari Minggu yang lalu mengenai kaitan spiritualitas dan kecerdasan, yang di komentari mbak Rokhmah, dan saya balas, kok lama tidak bertemu mbak Rokhmah, karena tidak ada acara di kompasiana ini. Mbak Rokhmah menjawab, ayo kalau mau ketemuan, di POEM Kafe apa?
Wah... POEM Kafe ini memang unik. Hidangan spesialnya adalah Singkong, dan kemarin saya mencicipi Green Tea Cammomilenya ya seger diracik sendiri oleh pengelola Pak Tomo. Kalau dalam edisi Poem Kafe ke 3 saya menikmati kopi(susah nama)-nya dan talas madu-nya yang mak nyusssss, kali ini hidangan spesialnya adalah singkong lagi dan green tea itu. Mbak Rokhmah juga menikmati hidangan yang sama. Trimakasih Pak Tomo. (serial Poem Kafenya akan lanjut setelah ini)
Jadi, kembali pada kalimat pertama saya tadi. Dalam pertemuan Poem Kafe pertama saya, memang sempat saya kesal sekali karena gagal mengikuti modis bareng Wiranto karena acara molor itu jadi tulisan. Waktu ke poem kafe yang ketiga, saat ngobrol ngalor ngidul itu, masjokomu sempat bilang mengenai resolusi 2014, dimana saya dengan gaya innocent dan cuek bilang, no more resolution sejak 2009. Mengapa? Ya. Saya menuliskan di 2009 ingin menikah tahun 2010. Dan sampai hari pertemuan, Desember 2013 itu, saya masih sendiri. Saya hanya ingin menikmati menjalani hidup dalam kesendirian.
Percakapan di POEM Kafe ini memang sempat mau saya tuangkan di tulisan. Apa daya, saya benar-benar kerepotan, mengolah nilai, keasyikan membaca buku selama di Ungaran, dan menikmati kuliner khas kota tempat saya dibesarkan beberapa waktu terakhir ini.
Ini rupanya menjadi tulisan menarik buat Pak Isson. Ha..Ha..Ha.
Tahun 2011 awal, saya mengikuti kuliah family therapy, sebagai prasyarat kelulusan master of art di STT Jaffray. Dalam perkuliahan ini, saya merasa sedikit tersinggung dengan dosennya, karena, saya merasa kehidupan melajang itu diremehkan. Ketersinggungan saya ini membuat saya berubah haluan. Tadinya mau menuliskan tugas akhir mengenai konseling pada anak-anak (saya bekerja di dunia anak-anak, di sekolah dasar dan melayani anak usia dini di gereja), jadinya menulis tentang tantangan hidup melajang di atas usia tigapuluh tahun. Kebetulan, ada beberapa kawan kuliah yang usianya sudah melebihi tiga puluh tahun dan masih sendiri. Saya tidak menulis tentang teman-teman saya yang ikut kuliah itu, tetapi mendapat narasumber sendiri. Ini, sekelumit kisahnya (ditulis 2011, catatan: Belum menikah hingga saat ini)
Rima adalah seorang wanita lajang berusia 37 tahun. Ia bekerja sebagai karyawan administrasi di suatu perusahaan lokal di Jakarta Barat. Ia telah bekerja selama kurang lebih 5 tahun. Ia adalah lulusan dari perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta. Ia lahir dan dibesarkan di Jakarta Barat. Ia mulai bekerja tidak lama setelah menyelesaikan studi sarjananya. Ia beragama Kristen dan aktif ke gereja.
Ia bersedia membagikan pergumulan masa lajangnya dengan pernyataan bahwa seandainya ia memiliki pasangan tentulah ada seseorang yang dapat diajaknya berbagi perasaan dan kegalauannya. Ia mengakui bahwa ia merasa terkadang sendirian dalam menghadapi pergumulan hidupnya
Rima menceritakan bahwa ia bersyukur orang tuanya tidak mendesaknya untuk menikah dan tidak banyak orang yang menanyakan status pernikahannya. Ia mengakui menikmati masa lajang, karena ia memandang bahwa pernikahan juga belum tentu membahagiakan. Ia mengisahkan saudaranya yang bercerai dan kemudian menikah kembali padahal telah memiliki anak. Ia sangat sedih saat hal itu terjadi, terutama karena perceraian adalah hal yang tidak diharapkan orang tuanya.
Rima sangat dekat dengan orang tuanya. Ia biasa berbagi cerita dengan ayah dan ibunya. Rima masih tinggal bersama ayah dan ibunya. Ia juga dekat dengan keponakan-keponakannya. Ia biasa menghabiskan waktu senggangnya bersama keluarganya.
Rima pergi ke gereja setiap minggu dan menikmati persahabatan dengan teman-teman di gerejanya.
Rima menyatakan ia mempunyai beberapa keuntungan dari status lajangnya. Ia dapat pergi dan melakukan perjalanan wisata yang diinginkannya bersama sahabatnya. Ia juga menikmati waktu-waktu bersama orang tuanya dan keponakan-keponakannya. Bahkan Rima bisa pergi bersama teman-temannya dengan bebas.
Rima mengatakan bahwa ia masih ingin menikah, karena ia merindukan seseorang yang dapat menjadi tempat berbagi dan menjalani hidup bersama. Ia hanya tidak ingin terburu-buru karena usia. Ia memutuskan menanti orang yang tepat. Rima memiliki beberapa teman dekat dari gereja, kelompok sel, dan bekan teman-teman kuliahnya. Rima merasa teman-temannya ini juga memberinya banyak dukungan pada saat ia membutuhkannya.
Bagi beberapa orang, sendiri adalah kemewahan. Kita dapat mengatur waktu kita sendiri dan mengelola-nya sesuai kesenangan kita. Seorang penulis, bebas menulis kapan saja, karena tidak ada keluarga yang harus diurusi. Seorang pembaca (seperti saya) bebas menggunakan waktu senggang untuk membaca. Seorang pekerja bebas bekerja tanpa dibatasi waktu kecuali kekuatan fisik tentunya. Seorang pembelajar bisa sekolah lagi dan belajar terus tanpa harus memusingkan kecukupan susu anak, biaya sekolah anak, listrik atau cicilan rumah.
Bandingkan dengan seorang ibu. Penulis ibu rumah tangga, tentu harus mengatur kapan bisa menuangkan pikirannya. Kalau menulis di Kompasiana yang sering error dan sekarang mobile-nya susah banget, boros pulsa, semakin menjengkelkan pula. Saya tidak bisa merasa kecewa, atau sedih kalau penulis kesayangan saya tidak muncul gara-gara errornya KOMPASIANA. (walaupun tidak menghalangi keisengan saya memprotes, Ha...ha..ha.) Tetapi, tentu saja ini karena adanya hal-hal lain selain menulis. Keluarga itu utama. Bukan kesenangan kita. Jangankan seorang ibu, wanita lain yang sudah berumahtangga tidak mudahpun mengeksplore kesenangannya. Teman saya yang suka jalan-jalan, setelah berumah tangga, sedikit-sedikit bilang, gimana ya, siapa nanti yang ngurusin keperluan suami saya? Nah, kan? Karena, keluarga harus jadi yang utama.
Saya hanya bisa menyetujui bahwa memang, "dengan kesendirianmu, kamu memiliki kendali penuh atas waktumu. Bukankah itu suatu kemewahan?"
Mewah, karena bisa bergaul tanpa cemas membuat pasangan cemburu. Mewah, karena waktu kita milik kita sendiri. Mewah karena bebas menentukan apa yang kita sukai.
Bayangkan, jika sudah berkeluarga, kita suka fotografi, pasangan kita merasa hobi itu mahal? Kan harus bisa membatasinya? Padahal, kalau sendiri, kita bisa eksplore kesenangan kita sampai batas terakhir. Walaupun, oke, saya mengakui bahwa saat kita tidak ada pasangan ngga ada yang bisa kita jadikan sandaran saat kita punya masalah. Iya, setuju. Tapi, bagaimana sih kalau memang belum menemukan yang tepat?
Saya misalnya. Bertemu yang seiman, mengaku single. Ternyata dia sudah punya anak tiga. Lebih sebal lagi, masih menikah, dan pacarnya bertaburan di mana-mana. Seseorang yang setaraf dari status pendidikan, ternyata duda, yang tidak mengaku duda, hanya menyebutkan dia single. Belum lagi soal keyakinannya yang tidak jelas, karena walaupun muslim, ngga jelas sholatnya.
Kalau pertama kenalan sudah ngga jujur, bagaimana setelah menikah? Kalau dalam hal ibadah saja tidak jelas, bagaimana bisa mendidik anak nantinya? Ini kualitas mental. Susahlah. Seseorang yang saya cocok, tidak pernah menikah, ibadahnya oke, punya tulang untuk mengatur saya (tegas, itu penting buat saya, karena yah saya memang kekanak-kanakan, dank eras kepala) beda-nya terlalu jauh. Tidak seiman dan hanya tamatan SMA. Sayang kalau nanti saya ngga nyambung, toh. Urusan seiman ini juga kalau masalah menjadi kawan seumur hidup di pernikahan sangat krusial buat saya.
Jadi, nikmati saja kesendirian sebagai karunia terbatas... karena saat kita menikah, belum tentu, kita bisa menikmati kesenangan kesenangan kita sekarang.
Buru-buru menikah sehingga menghalalkan poligami apalagi hanya karena usia, sebenarnya bukan pilihan. Perceraian itu hantu menakutkan. Apalagi seperti saya, sudah terlalu banyak melihat murid-murid kecil saya menjadi korban orang tua yang bercerai. Belum lagi melihat perceraian di antara teman-teman saya. Hmmmh. Sendiri? Dinikmati saja.
Selamat berakhir pekan.
Salam sendiri bukan kesepian
Maria Margaretha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H