[caption id="attachment_333516" align="aligncenter" width="498" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Sebenarnya, apa sih sekolah internasional itu? Saya mendasarkan tulisan ini dari pengalaman pribadi saya selama ini. Kalau ada yang ingin melengkapi mari silahkan.
Jadi, setamat S1 PGSD saya nyepi ke Kalimantan Barat, pelayanan di SD Swasta yang berasrama untuk SMP dan SMU-nya. SD-nya antar jemput dengan bus. Kisah ini nanti kapan-kapanlah ya saya cerita.
Sekeluar dari Kalbar, saya diterima mengajar di sekolah bertaraf internasional di Batam. Wawancaranya lewat telepon. Saya masih di Kalbar waktu diwawancara. Saya dikirimi konfirmasi penerimaan melalui email, dan diberi tiket ke Batam lewat email juga. Saya sudah tahu sedikit banyak tentang sekolah ini sebelum memutuskan menerima. Saya tahu, bahwa ada guru-guru asing di sekolah ini. Kepala sekolahnya memang orang Indonesia. Tapi ini … artinya beliau ini yang berurusan sama dinas kependidikan dan segala yang birokrasi dengan Indonesia. Soal kurikulum, yang ngurusin beda lagi. Dan kurikulum di sekolah internasional ini memang BEDA dengan nasional dan nasional+.
Kurikulum mereka menekankan kebebasan berpendapat, dan subject yang ditekankanpun hanya English Math dan Science. Porsi bahasa Indonesia hanya sedikit. 4 X 45 menit seminggu, Agama 1 X45 menit, sisanya sport, music, art hampir sama juga jatahnya antara 1-2 X 45 menit.Oh iya, ada Bahasa Mandarin yang porsinya sama dengan bahasa Indonesia. Â Jam belajarnya rata-rata jam 07.30-14.30. Bisa berhitung perbandingannya?
Di sekolah Internasional lain dimana saya mengajar Bandung, porsi bahasa Indonesia hanya 2X30 menit. Tapi ada jam IPS/PKN yang saya menjadi pengajarnya. Ini juga 2 X 30 menit seminggu. Porsi bahasa Mandarin malah lebih banyak. Tiap hari ada dan 2 jam pelajaran setiap hari. Tapi, siswa ekspat yang tidak mau belajar bahasa Mandarin boleh belajar Bahasa Indonesia. Jadi saya punya 3 siswa Bahasa Indonesia, kelas tambahan, pengganti bahasa Mandarin. Ketiga tiganya ekspat. 1 orang India dan 2 bule Ada pelajaran agama 1 jam sebulan sekali. Membaca adalah kegiatan wajib di 2 sekolah ini. Pagi, assembly itu ada 10 menit waktu membaca diam.
Di Jakarta, Sunter, sekolah internasional lainnya. Saya menjadi pendamping guru asing. Status sih sama walikelas, tapi, sebetulnya lebih tepat asisten, karena porsi saya memang hanya pendamping. Saya mengecek buku penghubung, mendampingi anak jika pindah kelas. Porsi kurikulum? Bahasa Indonesia hanya 4 X 30 menit, tanpa PKN dan Agama. Bahasa yang diberikan ada 4. Hindi, (india, kebetulan kebanyakan siswa mayoritas keturunan India), Mandarin, Inggris dan Indonesia. Lagi-lagi anak emasnya English, Math dan Science.
Jadi, pada dasarnya sekolah dasar internasional itu seperti ini,
1.Pelajaran utamanya hanya English Math dan Science. Pelajaran lain diintegrasikan pada pelajaran bahasa. Apakah itu pelajaran PKN, guru bahasa Indonesia punya kerjaan, atau agama juga kerjaan guru bahasa Indonesia. Paling sedikit membuat anak tahu agama diIndonesia itu apa aja. Kalau materi sosial, masuknya integrasi sama English. CATATAN: Sekolah Internasional itu menjunjung tinggi kemanusiaan. Nah, ini diintegrasikan menyeluruh ke pelajaran bahasa. Pelajaran bahasanya itu kontekstual. Dengan text yang menuntut anak membaca.
2.Ujian Nasional. Saya pernah bahas soal ini kapan hari bahwa kurikulum Intenasional itu biasanya menawarkan ujian Cambridge, atau IPSLE, atau apalah,… yang pasti bukan Ujiannya Indonesia. Jadi, kalau ingin ikut ujian nasional, sebaiknya jangan masuk sekolah Internasional. Kecuali yang seperti IPEKA atau BPK Penabur. Karena biasanya dititipkan atau sudah disiapkan untuk UN-nya.
3.Pelajaran bahasanya minimal ada 3. English, Indonesia dan Mandarin. Anak emasnya memang Inggris disusul anak kandung Mandarin dan baru anak tiri Indonesia. Kok? Itu istilah saya lho. Dilarang protes. Istilah itu saya buat, karena, kalau boleh jujur di sekolah Internasional, gaji guru mandarin itu lebih ++ dari guru bahasa Indonesia.
[caption id="attachment_304691" align="aligncenter" width="300" caption="Ini partnerku yang lain di kelas 2. Ia memang educator, asal Filipina."]
4.Tidak semua guru asing di sekolah internasional bersertifikat pendidik. Saya ingat di Batam,  ada mantan perawat. Guru asing tak mesti bule. Kebanyakan yang saya kenal justru dari Filipina. Lebih murah. Ada pula dari Malaysia, atau India. Yang bule sedikit. Di Sunter yang banyak bule-nya. Selain partner saya, yang dari Canada, ada guru kelas 1 dari UK, dan guru kelas 4 dari Canada juga. Principalnya dari Australia. Guru utama biasanya lulusan luar negeri kalaupun orang Indonesia.
5.Kebetulan di sekolah sekolah internasional guru SD sudah cukup banyak pria. Waktu di Batam, selain guru Agama, guru kelas 4 dan 5 juga pria. Saya tahu ada di antara mereka yang preferensi seksualnya sejenis, dan ada juga yang atheis. Bagi manajemen, itu bukan masalah selama tidak melakukan kejahatan seksual mungkin ya? Terus terang saya malah mengagumi guru tersebut, karena cara mengajarnya memang oke. Menarik. Jadi menurut saya seleksi guru itu lebih didasarkan skill mengajar, bukan preferensi agama atau seksual untuk sekolah internasional yang umum.
6.Sebaliknya, di sekolah internasional berbasis agama, tentu preferensi agama menjadi acuan tambahan dalam seleksi guru. Latar belakang pendidikan tidak selalu harus dari kependidikan. Hampir sebagian besar sekolah internasional yang pernah saya singgahi, yang berlatar belakang kependidikan mungkin tidak mencapai 40 %. Ada yang dari psikologi, (Ini lumayanlah masih nyangkut) ada yang dari hukum (ini temen saya SH, ngga mau jadi pengacara nunggu bisa ujian notaris, dia jadi guru dua tahun), ada dari ekonomi (paling banyak), bahkan ada yang pertanian.
7.Siswa di SD Internasional, tidak selalu ekspatriat atau asing. Ada juga siswa WNI, yang kuat membayar tentunya. Di Batam, mayoritas siswa saya WNI keturunan Tionghoa. Di Bandung juga. DI Sunter, itu WNI keturunan India. Murid les saya sekolah di Springfield, juga WNI keturunan Tionghoa.
[caption id="attachment_304690" align="aligncenter" width="300" caption="Jadwal pelajaran, di SD internasional tertentu"]
Beberapa waktu lalu dalam tanggapan pada komen saya, Pak Herry Nuryadi menulis demikian
"Bu Maria, menurut pendapat saya, walaupun mungkin JIS saat ini tidak punya anak didik WNI, seharusnya pemerintah tetap mewajibkan semua lembaga pendidikan di negeri ini (terlepas dari apapun statusnya) untuk mengajarkan mata pelajaran dengan konten Indonesia. Kalaupun ternyata peraturan/undang2 pendidikan tersebut tidak ada, alangkah bijaknya semua sekolah internasional tetap memberikan materi berkonten Indonesia sebagai bentuk niat baik dan kontribusi mereka terhadap negeri ini"
[caption id="attachment_304689" align="aligncenter" width="300" caption="Partner di kelas,.. Shane, asal Canada, olahragawan berprestasi pemilik S2 Science"]
Saya ingin menjawab ini dalam tulisan saya sendiri, bahwa, saya bukan pembuat aturan di sekolah internasional. Saya hanya membagikan pengalaman saya. Kalau konten Indonesia diwajibkan, perlu ditimbang berapa banyak dan berapa berat. Karena saya melihat bahwa pelajaran utama di sekolah internasional memang hanya English, Science dan Math saja. Sisanya hanyalah penyeimbang, seperti music, sport, art, dan TIK. Saya melihat di Batam, guru musiknya walaupun orang Filipina, mengajarkan anak lagu-lagu Indonesia. Sama seperti di Bandung dan Sunter, konten Indonesia tetap bisa masuk dalam pelajaran bahasa atau event-event keIndonesiaan yang digelar. Upacara hari kemerdekaan Indonesia, ADA di 3 sekolah internasional yang saya jejaki. Di sekolah murid les saya, mereka juga belajar pahlawan Indonesia (IPEKA) dan lagu-lagu nasional (Springfield).
Sayangnya saya tidak bisa membahas mengenai safety terlalu banyak pula. Namun saya ingat sekali bahwa 3 sekolah internasional yang saya singgahi, semuanya memiliki standar safety hampir serupa. Sekolah memang seharusnya tempat yang safe bagi anak, baik dari bully, kekerasan apalagi dari pelecehan seksual. Guru seyogyanya memberi perhatian pada safety anak. Orang tua juga mestinya aware jika anak "berbeda". Saya baru saja membaca di tribun news, bahwa anak TK itu, setelah jadi korban masih sekolah. Lha apa iya? Kok bisa? Mungkin ada "missing link" di sini. Murid saya saja dibentak guru, (sekolah nasional) sudah kelas 2 SD bisa mogok sekolah. Lha kalau disodomi masih sekolah???
Kita perlu belajar, bukan hanya menyalahkan namun juga mencegah dan memperbaiki, di mana MISSING LINK-nya.
Itulah sekelumit pengalaman saya. Selamat ber hari minggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H