Berdamai, Dibiasakan
Oleh: Maria Margaretha
Saya tidak tahu, apa penilaian murid saya pada saya. Saya membiasakan diri saya, memberikan mereka kasih, tanpa pilih pilih. Murid yang pintar, kalau salah saya tegur. Murid yang kurang-pun sama.
Saya juga cenderung keras, pada anak-anak di kelas saya.
Tak terasa, sekarang sudah tinggal 15 hari lagi, anak-anak itu berada bersama saya. Biasalah, saatnya saya mengevaluasi diri.
Kemarin, saya dilapori. Miss, si C kakinya berdarah. Diinjak dan ditendang si X. Saya mencoba melihat lebih jelas, namun tertutupi. Karena harus segera mulai pelajaran, saya menunggu saat yang lebih tepat untuk bicara dengan anak yang kakinya berdarah itu.
Pulang sekolah, saya menahan C. Kebetulan kelas saya terlambat pulang, karena setelah berenang ada yang kehilangan kacamata, saya kira ada yang iseng. Tapi belum ada yang mengaku. Saya ngga mau dikeroyok orang tua murid kalau saya tahan anak-anak itu sampai kacamatanya ketemu. Si C mulai duluan. Jadinya, saya tahan dia.
“Miss, kelas sebelah sudah pulang ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Saya mau kejar X. Tadi kaki saya diinjak, terus ditendang sampai berdarah nih miss.”
Wah. Saya tidak mau anak-anak saya belajar balas membalas. “ Barisannya C. C tinggal dulu. “ Anak anak di barisan C bersalaman dan bubar. Lalu 2 barisan lain saya bubarkan, sambil, saya pesan ke anak kelas sebelah, supaya dicarikan si X. “bilang, dipanggil ms. Maria.”
X muncul, tepat setelah anak-anak bubar. Tetapi kelas saya dikerumuni anak kelas sebelah, yang saya duga, ingin tahu. Saya segera membubarkan dan mengajak X dan C bicara. Pertama jelas, saya menanyakan benarkah X menginjak dan menendang kaki C, anak saya. X tidak kelihatan ragu-ragu saat menjawab dan mengakuinya. Saya kaget juga. Ini anak gentle ya? (Evaluasi pribadi: Saya berhasil menanamkan kejujuran dan berani mengakui kesalahan di kelas sebelah.{menurut saya}) Kemudian, kenapa? X diam, tidak menjawab kali ini. Lalu saya katakan. Begini, kamu membuat kaki temanmu luka. Sekarang, saya bilang sama orang tua kamu ya? Ambil agendamu. X keluar kelas dan mengambil agenda. (tanpa membantah) Kemudian saya bicara dengan C. Kenapa ya si X menginjak kakimu sampai menendang juga? Apakah dengan sengaja? Kamu melakukan apa pada X?
Mula-mula C diam. Lalu mengatakan tidak tahu. Waktu X kembali, saya mengulang bertanya. Apa penyebab dia membuat kaki temannya berdarah. X mengatakan, C mengganggunya. Kemudian saya mengatakan. “Jadi kalau diganggu diinjak saja? Ditendang? Begitu? Apa C tak bisa diajak bicara? Apakah begitu cara berteman? Saya atau gurumu mengajari injak tendang?”
Keduanya diam. Tubuh C memang lebih kecil dari X. C kemudian saya tanya. Mau menyelesaikan bagaimana? Mau tendang-tendangan?
C diam beberapa saat. Kentara bahwa dia merasa didengarkan, dengan saya memanggil X dan mau melaporkannya pada orang tua X.
X sendiri kelihatannya sadar bahwa ia sudah salah. Menyebabkan kaki C berdarah. Ketika keduanya memutuskan berdamai, C juga mengatakan tak perlu ditulis ke orang tua X, C juga merasa salah, menganggu teman, saya lega.
Anak-anak ini perlu belajar, menyelesaikan masalah dengan sikap yang benar. Bukan dengan kekerasan namun dengan saling mengakui kesalahan. LEGAAAAA… PUAS.
Berhasil. Berhasil. BERHASIL. Intinya? Ajaklah berpikir, doronglah menunjukkan kebaikan. BISA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H