Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan Si Guru

17 Mei 2014   15:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan Si Guru

Oleh Maria Margaretha

“Yakin, Tha?” TU sekolah itu memandangiku dengan rasa ingin tahu yang besar. Ia mungkin satu-satunya dari semua teman kerja yang tahu kondisiku. Yah, aku menderita autoimun, yang membutuhkan akses medis rutin dengan baik. Ia juga tahu sifatku yang emosional dan mudah kehilangan kendali. Sudah 1.5 tahun ini ia menjadi sahabatku.

“Lis, kalau semua guru yang baik ngumpulnya di Jawa, siapa yang akan memajukan daerah? Aku sudah janji kalau selesai S-1 PGSDku ini aku akan mengajar di pedalaman kok. Kalimantan Barat kelihatannya bisa jadi penjajakan sebelum Papua. Lagipula, belum tentu keterima. Aku masih di sini.”

TU sekolah, Lisa, sahabatku akhirnya terdiam. Ia tahu, aku memang menginginkannya. Mengajar, bukan sekedar mengajar, tapi mendidik, mengabdi. Ia tahu, aku meninggalkan salary yang bagus di sekolahku sekarang kalau aku benar-benar akan ke Kalimantan Barat. Ia menggelengkan kepalanya, sebelum mengatakan semoga beruntung dengan nada kesal.

Aku tahu kenapa dia kesal. Kehilangan teman seunik aku kan? Setengah geli dengan pemikiranku sendiri, aku merapikan meja dan kursiku di ruang guru. Aku harus membersihkan semua file dan menyelesaikan semua laporan sebelum bisa meninggalkan sekolah ini. Lamaranku ke yayasan pelayanan sekolah di Kalimantan Barat akan mengakhiri masakerjaku di sekolah ini. Sekolah yang berkembang baik, dengan kurikulum yang bagus, dan orang-orang berdedikasi. Kepala sekolah yang kadang eh sering kubilang gila, tapi membuat aku belajar sangat banyak. Teman-teman yang sayang dengan murid-murid, seperti aku juga. Aku sendiri berat. BERAT SEKALI.

Aku hanya tahu, aku harus melakukannya. Guru sepertiku banyak di Jawa. Bahkan lebih dariku. Tapi, mungkin aku bisa membuat perbedaan di Kalimantan Barat. Tak banyak guru mau ke daerah.

DAN…

Ya, aku diterima setelah proses panjang. Lisa marah dan mengatakan aku keterlaluan. Saudara-saudaraku juga. Aku berkata, aku ingin melakukannya. Aku guru dan aku seharusnya siap mendidik di manapun. Aku mungkin egois. Tak peduli pada rasa mereka. Tapi, lebih memikirkan anak-anak yang akan kutemui di Ngabang sana.

Ngabang, di dusun yang berada 4 jam perjalanan mobil dari Pontianak, ibu kota provinsi. Tempat yang aku malah tak pernah tahu ada rumah sakit atau tidak, ada listrik atau tidak, ada internet atau tidak, jalanannya bagaimana. Pelaksana harian yayasan di Jakarta memberitahuku, tidak ada mall kecuali di ibukota provinsi. Jadi, aku pasti ngga bisa jalan-jalan ke mall. Kayak aku butuh mall aja.

Perjalanan ke Ngabang Kalimantan Barat, tidak berat. Jalanannya sudah teraspal, dan cukup nyaman. Di salah satu pemberhentian mobil sewaan yayasan, aku sempat dibelikan kartu perdana simpati oleh salah satu pengurus yayasan yang semobil denganku. Aku beruntung kukira.

Aku juga sempat mencari beberapa obat-obatan untuk berjaga-jaga jika di asrama (sekolah ini mempunyai asrama untuk siswa SMP/SMA dan guru), aku tiba-tiba sakit. Sayangnya hiks ngga ada. Padahal di ibukota provinsi. Pengurus yayasan itu memintaku mencatatkan nama obat itu, agar kelak dikirimkannya melalui JNE.  Baik sekali dia. Aku yang kurang persiapan jadi merepotkan orang.

Kami tiba sudah sangat sore jam 5. Padahal berangkat pagi jam 7. Menurutku, jauh memang, namun jalannya sejauh ini tidak buruk, karena beraspal dan mobilnya nyaman. Hanya, kata pengurus yayasan itu, ke kota kecamatan terdekat 14 kilometer.

Hari-hari pertamaku di sekolah berasrama ini, berlalu lambat. Ini adalah kekeliruanku mau saja pergi pada saat jelang libur Natal dan sekolah sedang libur.Asrama sedemikian sunyi, karena tak ada siswa dan kebanyakan guru pulang ke Jawa. Namun demikian aku tidak kesepian. Ada saja yang aku lakukan dengan teman-teman lain yang baru datang. Kami bertiga dan seorang mahasiswa magang yang tak bisa pulang karena keterbatasan biaya. Yang muda. Sisanya sudah berkeluarga dan 40 tahun lebih. Mahasiswa itu yang termuda.

Aku tak menyukai mahasiswa itu. Pemalas menurutku. Herannya dia suka sekali menggangguku. Misalnya nih, aku sedang membaca, dia akan memanggilku dan tahu-tahu menjepretku dengan kamera di HP ku. Kesal kan? Bayangkan, dia bisa enak-enak makan ngga ikut masak, bahkan cuci piringpun ngga mau. Karena aku ngga suka dia, maka aku suka kabur segera menyelesaikan makanku. Kurang ajarnya pula, dia bilang bahwa aku ngga seperti orang-orang dari sukuku, yang kalau makan bersama ya selesai sama-sama. Hayaaaaah.

Tapi, dua temanku senang-senang aja. Mau aja nyuciin piring dia. Mau aja jalan sama dia. Terpaksalah aku terima pemuda itu dalam kelompok kami.

Kemudian siswa masuk sekolah kembali. Anak SD tidak di asrama. Jadi, praktis tanggung jawab di asrama lebih banyak mengawasi siswa SMP dan SMA. Tapi, menurutku, anak-anak ini penurut dan baik. Mereka datang dengan semangat belajar yang tinggi.

Seminggu setelah sekolah masuk kembali, ada perayaan ulang tahun sekolah. Ada pengurus yayasan yang datang dan membawa kiriman untukku.

Aku menyembunyikan diri di kamar, dan membongkar kiriman itu. Lisa mengirimkan surat-surat dari Tiara, dan juga beberapa buah keranjang cucian praktis yang bisa dilipat. Aku akan memberikan keranjang-keranjang itu untuk teman-teman baruku. Desy dan Ira, yang memang orangnya rapi. Aku memang minta tolong dibelikan buat dua teman baruku ini.

Aku baru akan membaca surat Tiara, saat pintu kamarku diketuk. “Ret, dipanggil di kantor”

Tergesa aku berdiri dan meninggalkan kamarku dengan surat Tiara di tangan yang segera pula kumasukkan ke saku celana jeansku.

Pemimpin yayasan mengangsurkan kotak kepadaku setelah aku duduk. Titipan lain rupanya. “Sudah betah, Retha?”

Aku tersenyum. “mudah-mudahan pak. Kan masih baru sebulan. Belum tahu. “

Itu jawaban yang diplomatis sebenarnya, karena aku merasa ingin pulang. Aku rindu teman-temanku. Aku merasa hawa kesukuan di tempat ini sungguh menyiksa. Hanya, aku baru sebulan, sulit bersikap negatif. Lagipula Desy dan Ira relatif bisa diajak berteman.

Pemimpin yayasan itu tersenyum. “Itu titipan Pak Hen. Kemarin kamu semobil dengan dia, katanya mencari obat. Ada vitamin juga katanya. Sepertinya kamu lupa menceritakan soal penyakitmu?”

Hmmmh. “Hanya buat jaga-jaga pak. 2 minggu lalu saya juga sempat ke Pontianak mencari obat itu tak ada.  Saya baik-baik saja kok pak. Saat ini.”

Diplomatis lainnya. Aku sudah mulai merasakan nyeri di sendi-sendiku sebenarnya waktu ke Pontianak mencari obat itu. Sayangnya, memang obat itu tak ada. Untung bapak pemimpin yayasan itu tidak mengejarku dengan pertanyaan lain. Ia mempersilahkan aku pergi, setelah memastikan aku tak kekurangan apa-apa.

Hmmm. Vitamin ini lebih baik untuk Desy. Ia sudah beberapa kali mengatakan tak sehat. Eh ada dua botol. Jadi kuberikan sebotol untuk Desy dan sebotol untuk berjaga-jaga. Obat itu yang jauh lebih penting.

Dalam kamar, aku segera membuka surat-surat Tiara.

Ada 3 surat. Kusadari sudah 6 minggu aku kehilangan kontak dengan Tiara sejak pengunduran diriku. Tiara akan masuk SMP Juni mendatang. Huft. Cepat sekali waktu berlalu.

Sebelumnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun