[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
“Saya sarankan rawat inap,” kata dokter itu. “observasi lanjutan supaya lebih baik.”
Saya hanya bisa diam waktu diberi saran demikian. Tetapi berhubung memang sudah lemas dan sebenarnya menang di tekad dan semangat saja yang membuat saya bisa beraktivitas, akhirnya saya hanya bisa menyetujui saran tersebut.
SMS saya pada agen asuransi saya, cepat sekali ditanggapi. “ngga usah kuatir, Mar. Sudah tercover kok, sudah lebih dari masa tunggu. Nanti aku urusin.”
Itu pengalaman saya 13 tahun yang lalu. Asuransi saya yang tadinya saya rencanakan hanya untuk tabungan, memaksa diri sendiri, sekarang sudah berulang kali bermanfaat buat saya. Bukan hanya premi tambahan yang sifatnya untuk rawat inap, nilai tunainya sudah berkali-kali membantu saya saat terdesak.
Jadi siang kemarin, 19 Mei 2014, saat terjebak hujan di gedung X, saya nangkring di stand perusahaan yang sama yang menawari saya investasi. Ha? Ngga salah? Investasinya hanya 100 rb setiap bulan bahkan tidak dipaksa. Artinya, kalau saya merasa ngga mau invest pada bulan saya ngga ada dana ya ngga papa. Wow.
Ditemani segelas kopi, saya mendengarkan penjelasan mbak Eni Tri Wahyuni, sekaligus membuat keputusan memaksakan diri, dan mencoba. Nominal paling kecil hanya 100 ribu, yang kalau dihitung adalah uang makan 4 hari saya. Kebetulan selama ujian sekolah SD, makan siang saya sudah ngga usah beli.
[caption id="attachment_310108" align="aligncenter" width="448" caption="Nangkring menunggu hujan reda, berbuah investasi bersama Mbak Eni"]
Sama seperti kalau sekolah memotong gaji saya untuk Jamsostek di masa lalu, yang kelihatannya tak seberapa, namun saat ini setiap melihat saldo di Jamsostek saya merasa, wah, lumayan juga ya bunganya, saya berpikir faedah untuk masa yang akan datang. Apalagi, dijelaskan bahwa investasi ini bersifat liquid setelah 1 tahun. Wow.
[caption id="attachment_310109" align="aligncenter" width="336" caption="Flyer investasi"]
Merencanakan keuangan memang tak mudah.
Saya membagi keuangan saya menjadi tiga bagian,
1.Ibadah. Setiap agama punya kewajiban ini. Ada yang 2.5% atau lebih. Saya biasa mendahulukan yang ini. Kadang bisa, kadang gagal, ini sih tergantung pada keakraban saya pada yang Maha Kuasa. Makin akrab saya, makin ingat dalam memberikan ini. Kalau lagi ngga akrab, alias males ibadah, yah bagian ini terlewat. (Hiks, jadi ingat sudah hampir 6 bulan tak kulaksanakan)
2.Kebutuhan DAN Tanggung jawab, seperti cicilan rumah, belanja ilmu pengetahuan (saya guru, kalau tidak belajar, nanti out of date payah kan?) makan, transport, tempat tinggal (kost), pakaian/utilities (seperti pantyliner, sabun pasta gigi, sikat gigi, dan lainnya) Kebetulan sekali, saya bukan penggemar merek dan tidak berdandan, sehingga dandan itu bukan kebutuhan. Tapi, bagi orang lain mungkin ya.
3.Diri sendiri. Seharusnya bagian ini adalah menabung. Di sinilah saya sering gagal. Nabung itu susah banget.
Jadi, demi poin no 3 itulah, kemarin saya memutuskan membuat investasi 100 ribu sebulan. Namanya juga usaha, memaksakan diri kadang perlu, karena kesempatan tak selalu ada.
Kalau dulu saya ngga memaksakan diri ikut asuransi, akan sulit sekarang kalau sakit. Untung, memaksakan diri. Kali ini, saya maksa investasi. Mudah mudahan sukses, bisa tahunan dan kemudian bisa juga bermanfaat.
Oleh Maria Margaretha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H