1. Seorang dengan passion mengajar misalnya, bisa menjadi guru yang mencintai anak didiknya, tanpa pamrih. sebagai contoh tentunya para pengajar muda. Yang saya temui saat itu mbak Aisy, dan kejutannya, ada pengajar muda yang berasal dari etnis saya. Mereka adalah Hendra (Ahen, alm.) dan Mbak Alin (PM Majene).
Ketemu alumni pengajar muda, Mbak Aisy yang membuat saya tertarik membaca blognya, yang kemudian membuat saya merinding teringat seorang siswa saya, Victor namanya yang sering digebuk-i koko-nya karena tak mau adiknya hanya seperti dirinya cuma tamat SMP.
Belum obrolan di kafe mengenai kurikulum 2013 yang tajam dan bukan main. Sebagai alumni PM mbak Aisy ini belajar menjadi problem solver handal, tetapi di tempatnya yang saat ini dia perlu menjadi sesorang dengan insting menemukan ketidak beresan dan mengungkapkannya. Mbak Aisy menyayangkan sekali pelaksanaan kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan tersebut.
2. Punya passion di pendidikan tak melulu mengajar, bisa saja terlibat dalam penyediaan buku-buku berkualitas. Dalam I U Run, saya ketemu sama dirut BUMN termuda, Mbak Tyas, yang ternyata adalah aktivis Indonesia Menyala. Sejak kuliah ia sudah terlibat menyediakan buku-buku untuk anak-anak di daerah pengajar muda. Sehari-hari jadi dirut BUMN, masih sempat membagi waktu dan memberi diri untuk membantu aktivitas charity semacam ini. Mbak Tyas tak segan duduk makan di emperan depan FX Senayan. Secara,... beliau ini dirut BUMN lhoooo. (foto beliau ini yang pakai jilbab biru, makan mie ayam) Punya keinginan besar menjadi pengajar muda yang akhirnya kandas karena keluarga keberatan dan ia menghargainya, tak membuatnya berhenti melakukan sesuatu untuk pendidikan. Buku adalah alternatif yang dipilih, melalui Indonesia Menyala sebagaimana halnya mbak Evi Yunianti.
[caption id="attachment_323449" align="aligncenter" width="448" caption="Mbak Tyas Dirut BUMN termuda, baru 28 tahun..."]
[caption id="attachment_323450" align="aligncenter" width="448" caption="Makan di emperan-pun tak canggung,... wow. Dirut gitu lho."]
3. Dana. Dalam buku saya guru plus, sempat saya menyinggung bahwa dana adalah faktor tak kalah penting dalam memajukan pendidikan. Guru perlu biaya transport, perlu dana untuk upgrading ilmu dan sebagainya. Sebuah sharing dari mbak Evi waktu itu, anak-anak Bawean salah satu daerah binaan pengajar muda tak sedikit yang memilih bekerja saja selulus SLTA, jadi TKI, Kenapa, faktor dana. Seorang siswi beruntung diterima di universitas Al Azhar misalnya, perlu biaya hidup di Jakarta. Kost dan beli buku, takkan bisa terhindar. Padahal ia memiliki beasiswa penuh. Dana, sekali lagi dana diperlukan.
Kita kadang tidak sayang mengeluarkan uang 100 rb-200 rb untuk makan di kafe atau restoran, apakah kerelaan yang sama bisa kita tunjukkan untuk pendidikan anak-anak kita? Di sekolah misalnya, tak sedikit orang tua yang meminta keringanan SPP padahal, tas-nya jenis mahal sekali. Kalau sudah seperti ini apa prioritas kita? Kalau mau pendidikan maju, ayo, ulurkan tangan. Kita perlu mendukung anak-anak bangsa. Membantu mereka bisa belajar lewat dana, kenapa tidak?
Kalau ada yang mau mendukung anak Bawean ini, silahkan saja inbok mbak Evi. Informasi lebih jelas pada mbak Evi.
5. Berbagi beban, share your dream to the better education in Indonesia, seperti Pak Anies Baswedan, penggagas Indonesia Mengajar. Setelah saya ketemu langsung sama orangnya, saya kagum bener-bener  tak berjarak pada anak-anak muda dan terlihat enerjik memberi dorongan. Tak segan melayani berfoto (mumpung belum jadi menteri, mudah-mudahan ngga susah ditemui setelah jadi menteri). Pak Anies, membagikan impiannya, didukung CSR lembaga-lembaga korporasi, dan telah berkembang sedemikian sehingga makin banyak orang menyadari, kita bisa berbuat sesuatu untuk pendidikan di Indonesia. Melalui Kelas Inspirasi juga kita dapat berbuat bagi pendidikan. Berbagi inspirasi, kenapa tidak.